PESANTREN IBARAT RUMAH SAKIT
4 mins read

PESANTREN IBARAT RUMAH SAKIT

Oleh: Abuya Dr. Fawaizul Umam, M.Ag*)

Pesantren itu ibarat rumah sakit. Sebagaimana rumah sakit, pesantren juga memiliki profil kelembagaan yang lengkap. Masing-masing memiliki tujuan yang hendak dicapai, juga visi dan misi sebagai haluan, ada pengurus dan stake holders, juga ada sistem dan aturan-aturan. Keduanya serupa, tapi tak sama.

Di rumah sakit, pimpinan tertinggi lazim disebut direktur utama (dirut), sedangkan pengasuh atau kiai adalah sebutan untuk pimpinan tertinggi di pesantren. Sang dirut membawahi jajaran direksi di rumah sakit sebagaimana sang kiai membawahi jajaran kepengurusan pesantren. Para dokter di rumah sakit tak ubahnya para ustadz atau guru di pesantren. Sementara para pengurus asrama kurang-lebih berperan serupa dengan para perawat di rumah sakit. Dan santri yang tinggal di pesantren laksana para pasien yang menginap opname di rumah sakit.

Para pasien yang memutuskan opname di rumah sakit tentu berharap dapat sembuh dari penyakit yang mereka idap. Melalui para dokter dan perawat, mereka berharap tersembuhkan. Dan sang dirut beserta para direksi, dengan dukungan sistem dan semua aturan yang ada, bertugas memastikan setiap proses penyembuhan berlangsung efektif dan optimal.

Demikian juga para santri yang nyantri di pesantren. Mereka juga berharap dengan masuk pesantren dapat sembuh dari “penyakit” yang mereka derita. Kepada para ustadz dan pengurus asrama, mereka berharap terbebas dari semua “penyakit” yang menyerimpung diri. Dan sang kiai beserta para pengurus pesantren, melalui seluruh sistem dan aturan yang ada, berikhtiar mengawal seluruh proses pembebasan santri dari kungkungan “penyakit” itu dapat berlangsung maksimal dan efektif.

Mengapa pengibaratan pesantren layaknya rumah sakit terasa relevan? Karena keduanya sama bertujuan menyembuhkan orang sakit. Aneka penyakit fisik yang diderita pasien menjadi area tugas rumah sakit untuk menyembuhkan. Sementara, tugas profetik pesantren ialah menyembuhkan berbagai sakit nonfisik seperti kebodohan, kemalasan, dan kenakalan yang diidap santri.

Sebagaimana rumah sakit yang bisa berhasil menyembuhkan pasien, pesantren juga bisa demikian terhadap para santri. Ada pasien sakit dibawa ke rumah sakit, dirawat dan diobati, lalu sembuh dan pulang dengan tubuh sehat bugar kembali. Demikian juga santri. Ia diantar ke pesantren karena menderita “sakit” nakal atau bodoh. Di pesantren, ia dididik diajari berbagai ilmu dan dimuliakan akhlaqnya, lalu pulang ke tengah masyarakat sebagai sosok yang alim dan shaleh.

Akan tetapi, pesantren juga bisa gagal menyembuhkan “penyakit” santri, sebagaimana halnya rumah sakit bisa pula tak berhasil menyembuhkan pasien. Banyak pasien masuk rumah sakit, alih-alih sembuh malah kian parah, bahkan berakhir dengan kematian. Demikian juga santri. Tak sedikit santri saat awal kali masuk pesantren tidak terlalu nakal, setelah lama nyantri justru semakin nakal.

Berhasil tidaknya proses penyembuhan sangatlah tergantung pada seberapa serius pasien atau santri mengikuti sistem dan menaati aturan yang ditetapkan rumah sakit atau pesantren. Tentu saja juga bergantung keseriusan dan kompetensi para pihak yang terlibat dalam proses penyembuhan, seperti dokter dan perawat di rumah sakit atau guru dan pengurus di pesantren.

Jika para pasien betul-betul menaati aturan, kemungkinan mereka untuk sembuh menjadi besar. Demikian juga, jika santri menaati aturan pesantren, mengikuti arahan kiai, ustadz, dan pengurus asrama, kemungkinan untuk berhasil terbebas dari segala jenis “penyakit” nonfisik tadi sangatlah besar pula.

Dalam hal itu, dukungan keluarga tak kalah penting bagi keberhasilan proses penyembuhan. Jika dokter sudah melarang pasien untuk, misalnya, mengkonsumsi makanan tertentu karena bisa memperparah penyakitnya, tapi keluarga penunggu tetap ngotot memberikannya, tentu semakin sulit bagi pasien untuk sembuh. Demikian juga dengan santri. Sulit untuk menjadi baik karakternya jika wali santri, misalnya, diam-diam tetap membawakan si anak handphone padahal para ustadz dan pengurus asrama sudah tegas-tegas melarangnya.

Intinya, kerja sama semua pihak dan kesadaran akan posisi serta peran masing-masing adalah kunci utama bagi keberhasilan pesantren dalam mencapai tujuan, yakni mencerdaskan santri dan memuliakan akhlaqnya. Dengan begitu, niscaya Allah menaikkan derajatnya.  *) Penulis adalah Ketua I YPP MU Bengkak Wongsorejo Banyuwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *