Penulis: M. Ismul Wilman Hadi*)
Sering kali di sekitar kita diperdebatkan tentang apa sikap moderat. Lantas, apa yang dimaksud moderat itu? Jika Anda ingin nimbrung dalam obrolan mereka, review bacaan ini akan sangat bermanfaat.
Saat ini terpampang nyata arus perubahan di era modern bagaikan luapan air bah yang memudahkan masuknya ideologi, peradaban dan budaya asing yang masuk ke Tanah Air yang lambat-laun menggeser kultur warisan yang diajarkan pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI). Sejarah membuktikan bahwa NKRI ini diperjuangkan oleh kalangan ulama, para kiai dan santri dari berbagai pondok pesantren di tanah air, maka pesantren memiliki saham besar dalam membentuk bangsa dan Negara Indonesia.
Mengacu pada sejarah tersebut, seyogyanya dalam mendidik penerus bangsa dapat dilakukan dengan kembali mengoptimalkan pesantren yang tidak hanya mengajarkan turats Islam, tetapi juga menanamkan beberapa nilai yang sangat mempengaruhi dalam membentuk karakter santri sebagai pribadi yang moderat.
Ketika membuka literature tafsir, banyak para ahli tafsir yang diantaranya Imam Al-Qurtubi dalam tafsir Jamiul Ahkamil Qurán menafsirkan wasathan dengan adil sebagaimana Rasulullah SAW juga menafsirkannya sebagai makna adil yang di riwayatkan oleh Imam Qoffal dari Said Al-Khudri bahwa ada kesinambungan antara adil dan moderat. Imam Ar-Rozi menyebutkan kesinambungan antara keduanya yaitu sama-sama di tengah, tidak condong ke poros kiri atau kanan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa islam moderat itu bukan pemahaman yang keras namun tegas yang bisa menggabungkan antara kehidupan beragama dan bernegara, maka dua unsur makna ini menolak pemahaman sekularisme, liberalisme dan akidah takfiri.
Hal ini selaras dengan usaha pesantren menanamkan sikap moderat. Tidak radikal ataupun liberal dalam memahami agama sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 134 yang telah di jelaskan sebelumnya. Maka isu yang mengatakan bahwa pondok pesantren sebagai wadah kaderisasi terorisme itu salah besar. Begitu juga menolak pemahaman liberalisme sebagaimana yang di gandrungkan oleh ahli filsafat dan teologi Barat seperti Ernest Troeltsch (1865-1923), karena dalam memahami agama islam dan menentukan sebuah hukum islam, syariat islam memiliki rambu-rambu tertentu . Oleh karenanya, sungguh heran jika ada mahasiswa yang mendalami bidang filsafat namun sudah berani mengeluarkan hukum islam sendiri yang bertentangan dengan syariat islam, seperti membolehkan ikut beribadah di gereja, membolehkan ikut natal dengan memakai kostum sinterklas dengan dalih toleransi.
Toleransi yang diajarkan pondok pesantren dalam setiap kesehariannya tentunya toleransi yang dirawat dengan pemahaman ulama bukan pemikiran ahli filsafat yang cenderung melakukan liberalisme akidah. Toleransi adalah salah satu pilar pendidikan islam di pesantren. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Kafirun yang artinya “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”. Oleh sebab itu, sikap toleran ini selalu menjaga agar tetap bergaul dengan baik bersama orang yang berbeda agama. Tidak saling menyakiti selagi mereka tidak mengusik dan menggangu umat islam. Dan sikap toleran dalam islam mampu mengayomi minoritas dikala menjadi mayoritas. Tidak memerangi dan membunuh minoritas sebagaimana yang dilakukan agama lain pada ummat islam seperti di Palestina, Myanmar, Amerika, bahkan seperti kejadian di Poso.
Disamping hal tersebut, pesantren juga menanamkan nilai nasionalisme pada jiwa setiap santrinya. Selalu ikut andil dalam memperingati masa-masa bersejarah Indonesia seperti HUT RI dengan megadakan upacara bersarung dan penghormatan pada bendera merah putih. Sebab, di pesantren diajarkan semboyan para hukama’, “Cinta tanah air (hubbul wathon) termasuk sebagian dari pada iman”.
Dengan demikian, para santri diajarkan untuk saling menghargai keberagaman budaya satu sama lain. Memaknai sebuah keragaman, baik dalam budaya, etnis, ras sebagai sebuah keniscayaan yang harus diterima, sehingga melahirkan sikap saling mengerti dan memahami, bukan malah menghina dan memusuhi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal”.
Diatas semua itu, pesantren mengajarkan sikap sabar dan teguh dalam diri setiap santri sehingga ia siap dan mampu menduduki semua jabatan apapun kelak ketika sudah keluar (boyong) dari pesantren, maka sudah waktunya alumni pondok pesantren berkecimpung dalam dunia politik dan menguasai posisi penting dalam pemerintahan agar kebijakan-kebijakan yang keluar dari pemerintahan lebih memihak kepada syariat islam. Dunia politik juga merupakan media dakwah yang sangat penting, jangan sampai alumni pesantren anti politik sehingga korsi kepemimpinan dalam politik diisi oleh mereka yang berpendirian bobrok dan berideologi sekuler. Dimana-mana ribut mempermasalahkan korupsi dan ketidakadilan. Perlu disadari, agama bukan sekedar ibadah di atas hamparan sajadah tetapi agama mencakup akidah syariáh dan hukumah. Sudah saatnya ulama sekaligus menjadi umarak sebagai bakti santri untuk negeri.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al-Ahgaff Yaman dan Alumni MA Miftahul Ulum Tahun 2015
Comments