Oleh: Ustd. Nur Hidayati, M.Pd*
Ada hal yang dari dulu hingga sekarang masihlah sangat meresahkan utamanya bagi masyarakat pedesaan, yakni santet. Ketika seseorang sakit mendadak, perut kembung, atau muntah darah, tapi anehnya pemeriksaan medis aman maka pasti ia akan meyakini kalau dirinya terkena santet. Ya, kekuatan magis santet selalu menjadi momok tak kasat mata bagi kami, masyarakat Banyuwangi.
Sejak dulu Banyuwangi memanglah terkenal beraura mistis. Ada yang percaya, konon kalau terkena santet Osing khas Banyuwangi maka akan sangat sulit untuk mencari obat penangkal atau penyembuhnya, bisa berakibat kematian. Bingungnya lagi, tukang santet tidak bisa dihadapi secara hukum pidana karena sangat sulit untuk mengungkapkan bukti konkritnya. Permainan mereka berada dalam lingkaran kekuatan gaib, abstrak, tidak kasat mata, dan karena itu tidak ada bukti faktual.
Kemudian ada yang berujar, hidup mati seseorang itu di tangan Tuhan. Sehebat apa pun ilmu seorang tukang santet tidaklah ada artinya jika Tuhan tidak menghendaki hamba-Nya mati. Betul sekali, usia manusia sudah menjadi kontrak pasti antara dirinya dan Tuhan pada usia empat bulan kandungan. Akan tetapi, siapa sih yang tidak sedih jika keluarganya meninggal lantaran terkena santet?
Mirisnya, pekan lalu PERDUNU (Persatuan Dukun Nusantara) berencana mengadakan Festival Santet di Banyuwangi dengan alasan untuk melestarikan budaya. Namun, sayangnya mereka lupa kalau kehadiran dan perkumpulan mereka justru menimbulkan keresahan dan kecemasan tingkat tinggi pada masyarakat. Jangan aneh-aneh ah! Mendeklarasikan diri bahwa itu persatuan tukang santet “baik” yang hanya mau menyantet orang jahat saja. Siapa yang akan percaya? Siapa pula yang mau mengaku dirinya jahat dan ikhlas disantet?
Islam tentang Santet atau Sihir
Santet itu nama lain dari sihir. Ilmu sihir pertama kali diturunkan ke bumi oleh Allah pada masa Nabi Sulaiman AS. Dikarenakan mudharat ilmu sihir yang sangat membahayakan di tangan orang yang tidak tepat maka oleh Nabi Sulaiman ilmu sihir dikuburkan di bawah singgasana kerajaannya. Saat itu, tidak ada satu pun yang tahu tentang sihir ini hingga datang syetan dan mengabarkan pada salah seorang untuk menggali singgasana Nabi Sulaiman. Maka ditemukanlah catatan kitab sihir kemudian dipelajari dan disebarluaskan turun temurun dan semakin menyebar hingga kinj.
Untuk melawan sihir, Nabi Musa AS pernah menggunakan mukjizat dalam menyiarkan agama tauhid. Suatu ketika, ada sekumpulan penyihir yang mampu mengubah tongkat menjadi ular. Mereka menantang kesaktian Nabi Musa AS yang ternyata mampu mengalahkan mereka dengan sangat mudah. Tanpa menunggu lama ular jelmaan tongkat Nabi Musa AS memakan habis ular-ular para penyihir tadi. Di sini, mukjizat menjadi hujjah sehingga umat pun percaya pada kehebatan Nabi Musa AS sebagai utusan Allah. Dengan demikian, lebih mudah baginya untuk berdakwah menyebarkan syariat dari-Nya.
Santet sebagai Budaya
Salah seorang penyembuh santet mengungkap bahwa kehidupan manusia di dunia ini tidaklah sendirian. Dalam artian manusia selalu berdampingan dengan makhluk lain, seperti tumbuhan, binatang, dan makhluk halus atau nonfisik. Oleh karena itu, manusia harus mampu menjaga keseimbangan dan keselarasan dengan semesta sehingga dapat terhindar dari segala macam penyakit. Sebab menurutnya, penyakit itu berasal dari ulah tangan manusia sendiri yang mengganggu dan menimbulkan kerusakan semesta.
Konsep teori di atas berasal dari konsep kearifan lokal budaya Jawa. Konsep ini menumbuhkan beberapa tokoh yang kemampuan supranaturalnya sangatlah tinggi, seperti Prabu Jayabaya, Sunan Kalijaga, Ranggawasita, dan lain sebagainya. Kemampuan mereka mampu menaksirkan kejadian baik sebelum atau sesudahnya, dapat mendengar bisikan petunjuk, atau dapat meramal dan memberikan penyembuhan.
Berdasarkan uraian tersebut, tidak heran jika beberapa tahun lalu, seperti dilansir Tempo.co, Mas Syaiful Ali seorang budayawan Banyuwangi mengatakan bahwa santet tidaklah selalu negatif. Ia berpendapat seperti itu karena ada santet yang justru digunakan untuk pengasihan antara dua orang agar saling menyayangi. Adapula santet yang digunakan untuk penglaris sehingga dapat digunakan untuk membantu pengusaha.
Ilmu Hitam Tetaplah Ilmu Hitam
Namun demikian, santet tetaplah black magic (ilmu hitam). Beberapa penelitian mengungkap adanya kesamaan antara santet dan sihir. Ilmu ini mengandalkan kekuatan olah rasa dan olah pikir dalam memanfaatkan energi alam dan supranatural. Dampaknya selalu membuat kerusakan dan merugikan sehingga keberadaan santet senantiasa meresahkan. Di titik ini santet tak ubahnya sihir dan sihir bagaimanapu adalah ilmu hitam.
Ambil salah satu contoh seperti yang diungkap Mas Syaiful, santet digunakan sebagai penglaris usaha. Maka berbahagia dan jayalah pengusaha yang memanfaatkan santet, lantas bagaimanakah dengan pengusaha lainnya? Mau jaya juga, pakai penglaris juga dong. Belum lagi menimbang dari sisi pembeli atau para pelanggan yang karena terpapar santet aktivitas transaksi mereka di luar kendali kesadaran mereka. Tidakkah ini sejenis dengan proses gendam sehingga para pembeli bertransaksi tanpa sadar?
Nah, itu berarti menggunakan santet untuk melariskan jualan atau melancarkan usaha bukanlah solusi yang tepat. Dalam hal ini, Rasulullah sudah memberikan penjelasan bahwa santet, sihir, dan semacamnya adalah bentuk perbuatan syirik. Adapun syirik termasuk salah satu dosa besar yang tidak dapat diampuni oleh Allah.
Selain hal tersebut, santet juga dapat mengacaukan keseimbangan alam dan merusak harmoni kehidupan masyarakat. Kata santet masihlah identik dengan sihir yang ujung-ujungnya menyebabkan kerugian, sakit, bahkan kematian. Oleh karena itu, pemberitaan rencana Festival Santet serta Destinasi Wisata Mistis Banyuwangi menjadi hal yang sangat meresahkan. Dikhawatirkan hal ini akan berdampak terhadap kehidupan warga Banyuwangi khususnya. Tidak menutup kemungkinan, sebagaimana hasil rapat komisi fatwa MU Banyuwangi, rencana tersebut dikhawatirkan memberi stigma buruk bagi warga Banyuwangi yang sedang merantau sehingga secara psikologis membuat mereka tidak leluasa berbaur dengan masyarakat di tanah perantauan.
Jadi mulailah dari sekarang, katakan tidak pada santet. Gunakan kekuatan doa semata untuk lebih mendekatkan diri pada Allah SWT dalam beragam kepentingan, termasuk dalam pemenuhan kepentingan keduniawian kita. La haula wa la quwata illa billah.
*) Penulis adalah alumni Miftahul Ulum tahun 2020
Comments