Penulis: Ning Evi Ghozaly
Imam Asy-Syafii ngendikan, “Keridhaan semua manusia adalah satu hal yang mustahil untuk dicapai, dan tidak ada jalan untuk terselamatkan dari lidah mereka, maka lakukanlah apa yang bermanfaat untuk dirimu dan berpegangteguhlah dengan-Nya.”
Mohon ijin untuk kementhus ya, Gaes. Saya sering nyitir kalam imam yang mulia ini untuk ngademi diri sendiri aja sih. Agar saat merasa tersindir, saya bisa tetap lapang. Agar ketika ada yang memata-matai lalu lopar lapor, saya bisa tetap santai. Agar pas ada yang ngrasani dan menuduh ina ini, saya nggak gupek dan baper.
Iya. Saya dulu super cengeng. Gampang mewek. Mikiran. Mudah galau. Ada komen nggak enak dan menghujat di status aja, saya ndredeg. Langsung deactive. Ada emo atau kalimat aneh di WAG alumni aja, saya jiper. Saudara acuh dan negur alus, saya langsung prembik-prembik. Sekarang masih sih, tapi nggak sebanget dulu-lah.
::
“Ngurusi anak asuh berapa ratus sih? Beneran dana disalurkan pada yang berhak?”, jika yang bilang begini bukan donatur, akan saya cueki. Wong dana lho langsung ke rekening program, dilaporkan secara rutin. Transparan dan akuntabel.
“Rajin amat nulis status di sosmed. Rajin koman komen juga,” kalau yang bilang begini bukan anak saya, no reken.
“Mbok jangan kebanyakan teori dalam mendidik anak. Jangan asal nyontoh orang tua,” jika yang bilang begini bukan suami saya, bakal saya biarin.
“Berani banget ninggal rumah lama. Jihadnya perempuan itu di rumah. I’tikafnya di kamar. Dosa lho mengabaikan suami. Neraka ih,” siapapun yang bilang begini, akan saya mesemi. Senyum manis aja, cling.
::
Beda kalau pake tanda tanya ya. Saya akan menjelaskan rinci jika diminta. Saya akan tabayyun jika diperlukan. Kalau enggak, hanya akan buang waktu.
“Kapan pulang, Niiiiiing Evi? Sudah 3 bulan kan ke Malang?”
Heh, dari mana 3 bulan, Ferguso?
“Kan mulai Desember, Januari, lalu Pebruari.”
Nah. Saya langsung duduk serius, “Sebelum saya ke Malang, sudah ijin ya. Sebulan lebih. Berangkat akhir Desember, rencana balik akhir Januari. Ternyata saya sakit. Ditunda donk. Jadilah saya balik awal Pebruari. Selama di sana, saya masih berkoordinasi kan? Masih ropat rapat kan? Masih ngetas ngetes kan? Janjinya maksimal sepekan sekali turun, selama 2 jam. Besok saya ganti deh, saya nginep, full 27 jam.”
Eh beliau ngakak. Asem haha.
Hitung-hitungan kerja begini nggak kayak bikin bangunan yang bisa dilihat 6 bulan batu bata selesai sampai atap. Peran advice dan pendampingan memang bisa terlihat jelas. Tapi keberkahan tak bisa diukur kasat mata Gaes, nggak bisa ditarget waktu. Nggak semua rasa damai dan tenang yang dirasa dalam sebuah sistem bisa dideskripsikan. Tenang aja, saya akan mundur kalau sudah merasa nggak bisa menjalankan amanah dengan baik. Tak bisa memberi banyak melebihi yang saya dapatkan.
Tabayyun saya berikan dengan cara guyon. Becanda saja. Tapi ya nggak bo’ong.
::
Jadi begitu ya, Gaes. Saya mulai bisa cuek. Dikit sih. Bahkan tadi ada yang tilp, “Bisa minta tolong Um, bla bla.”
“Maaf ya, nggak bisa.”
“Bisa ngisi materi di sini, bantu sekolah ini?”
“Mohon maaf ya, nggak bisa.”
Bahkan kalau ada berita hoax, dulu saya ketir-ketir langsung nyari info ke teman yang kerja di Kemeninfo, “Berita ini sudah dapat stempel hoax nggak?”
Sekarang saya cuek. Biarin aja. Malah, kalau ada yang menginginkan saya bereaksi tertentu, saya ikuti aja. Bismillah niat nyenengin orang lain. Selain cari selamat sih haha.
“Jika engkau semulia Nabi, akan tetap ada yang membenci. Meski engkau berkarakter Abu Lahab, tetap akan banyak teman. Manusia rela jika engkau sesuai selera mereka,” saya menemukan kalimat indah ini pada status seorang sahabat efbi kemarin. Sayang saya lupa nama akunnya. Mohon info jika ada yang tahu ya. Akan saya sertakan nama beliau di sini. Maturnuwun.
- Bandar Lampung, 04 Februari 2021 –
Comments