TERIMA KASIH, DUA RIBU DUA PULUH
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Mumpung Januari 2021 masih belum pergi. Belum terlambat kan untuk mengucapkan terima kasih pada tahun 2020?
Ya, Maret 2020 menjadi awal yang berat untuk kita semua. Untuk panjenengan, untuk saya. Pandemi telah menjadi lantaran saya kehilangan banyak hal. Bukan hanya kehilangan waktu bersama anak-anak, saya bahkan kehilangan kakak untuk selamanya. Kakak paling dekat sejak kami kecil, Mas Wahid Ghozaly, yang hingga pemakamannya saya tak bisa hadir. Sedih, sangat. Saya juga kehilangan guru, Kyai, Bunyai, dan beberapa sahabat, untuk selamanya.
Jujur, saya sempat stress. Mungkin sebulan. Saya sempat tutup semua akun sosmed. Tidak mengangkat banyak tilp, keluar dari berbagai group WA dan menghindari membaca berita apapun.
::
April saya mulai jenggirat. Cor*na yang makin parah, membuat saya tergerak untuk berbuat sesuatu. Kembali menyalurkan bantuan para sahabat donatur untuk pesantren-pesantren. Membagi masker, lampu UV, Lin Hua, vitamin, APD dan dana beasiswa anak asuh. Beberapa waktu kemudian, seorang sahabat mengajak saya masuk tim mitigasi C-19 pesantren.
Tiap pekan saya WA japri saudara dan sahabat. Sekedar menyapa, menanyakan kabar dan mendoakan. Muter saya sapa semua bergantian.
Ya, C-19 memang ada. Menakutkan. Mengerikan. Tapi hidup harus terus berjalan kan?
Pelahan saya memasuki dunia “normal.” Kerja, mengisi seminar dan pelatihan, semua online. Saya kembali nyoret-nyoret lagi, meski beberapa saat setelah kakak wafat, peeet saya nggak bisa lagi menulis. Hutang 3 buku pada penerbit, sampai sekarang belum tersentuh.
Saya nge-host di TV lagi, bahkan ditambah acara-acara lain. Termasuk tahlil akbar online yang memberi kesempatan saya sowan virtual pada para kyai dan bunyai. Niat ngalap barakah.
Alhamdulillah.
Alhamdulillah.
::
Awal Januari 2021. Saya bersyukur karena ternyata, Gusti Allah memberi banyak hal pada saya di tahun ini.
Saya masih hidup. Saya masih bisa bernafas dan mencium segala macam bau. Harum parfum, wangi sedap malam, tralalanya trasi atau badheg ikan cupang yang mati. Saya bisa membayangkan paniknya teman yang tiba-tiba saja tak bisa menyecap rasa dan membau.
Alhamdulillah. Saya masih bisa makan nasi yang selama empat tahun lebih saya hindari. Saya masih bisa nyruput es campur tiap hari yang kemudian membuat saya kuwaget karena gula darah saya naik. Yang biasanya 90 atau 120 tiba-tiba tuing mlumpat.
Alhamdulillah masih bisa bernaung. Bahkan ngapunten, tahaddust bin nikmah, rumah di Malang jadi, sempurna. Rumah mungil yang kami bangun di atas tanah warisan, dengan jumlah ruangan dan detail seperti yang saya impikan. Maturnuwun sanget, Ab Haris.
Alhamdulillah. Pengalaman pertama memiliki hutang, yang selama 6 tahun ini menyesakkan dada, lunas sudah. Hutang sangat-sangat besar yang terpaksa kami ambil untuk membangun amanah kedua orang tua. Yang tiap akan tanggal 10 selalu membuat kami menarik nafas panjang. Yang tiap menjelang September membuat kepala kami cekot-cekot. Enam tahun, Gaes. Lunas, ya Allah…maturnuwun.
Alhamdulillah. Saya masih bisa mendongeng rutin, mengisi kulwap, ngezam ngezum, ropat rapat, menjadi nara sumber ita itu. Kegiatan di semua pondok pesantren dan sekolah kami masih berjalan dengan baik. Bahkan ada dua lembaga baru yang meminta saya dampingi dengan jadwal kerja dan target yang saya buat sendiri. Meski agak krik-krik, tapi alhamdulillah lancar.
Alhamdulillah, setelah 11 bulan ndekem manis, akhirnya bisa ke Malang bertemu dua anak lelaki kami. Rasa kangen yang membuncah, sudah mulai surut saat saya dan suami jalan darat dari Bandar Lampung. Anak-anak sehat, baik, meski ada yang berubah drastis pada pola hidup dan cara komunikasinya. Mereka berdua yang kalau mau tahajud, bingung karena belum tidur sama sekali. Yang usai subuh pamit mlungker, bangun hanya untuk sholat dbuhur ashar, lalu tidur lagi. Sampai maghrib. Lalu ngaji, dan semalaman ngalong. Ngapain? Nonton dan main game 😢
Pantesan kuat puasa terus, Nak. Lha hanya melek malam hari. Sampai pernah saya tangisi. Emaknya lho tukang mendampingi anak kecanduan gadget, eh sejak pandemi anak sendiri nggak lepas pegang setan gepeng. Alhamdulillah berakhir indah sih. Kapan-kapan saya cerita ya.
Alhamdulillah kegiatan suami lancar. Mendapat amanah baru dengan tanggung jawab lebih besar. Semoga selalu mendapat bimbingan dan penjagaan Allah.
Alhamdulillah masih bisa ke Banyuwangi dan Jember. Masih bisa bertemu keluarga besar dan para sahabat, meski tetap dengan protkes ketat dan harus mau diogrok-ogrok hidung untuk rapid sebelum pindah lokasi. Sambil kadang deg-degan dan menghitung hari usai berkerumun.
Alhamdulillah bisa berkali ziarah makam Abah Umy, silaturrahim pada guru kyai. Bisa ngobrol dengan ponakan, sepupu dan kerabat. Meski tetap menghindari salaman dan harus sering semprot hand sanitizer sampai tangan terasa ledeh.
::
Alhamdulillah. Maturnuwun, Gusti Allah. Terima kasih, Dua Ribu Dua puluh.
Tahun 2021 ini, saya berharap keluarga tetap utuh, sehat, selamat, panjang umur dan berlimpah barakah.
Semoga pandemi segera berlalu, Indonesia aman thoyyibatun wa rabbun ghafur.
Sampun nggih. Semoga semua yang sakit, segera sehat. Yang punya hutang, secepatnya lunas. Yang sempat kehilangan pekerjaan, mendapat ganti rizqi sumambrah. Yang pengin menikah segera dapat jodoh. Semoga harapan baik panjenengan, dikabulkan Allah. Maturnuwun semua 💖
- Galunggung, 31 Januari 2021 –