TASMI’ DI AL GHOZALY
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Semalam saya nangis berkali-kali. Menyaksikan anak-anak Al Ghozaly khusyu’ mengikuti acara tasmi’. Terharu, sangat. Padahal ya hanya empat anak yang diwisuda, itu pun paling banyak hapalannya dua juz. Tapi saya tetap semendal sundul langit, bersyukur poll.
Iya. Di pesantren dan sekolah binaan lain, dalam tiga bulan bisa saya temui puluhan bahkan ratusan anak hapal Al Quran 4 juz, 40 hadist Arbain dan lancar nglalar ratusan bait nadzom, sekaligus. Sepertinya enteng, biidznillah. Tapi untuk anak Al Ghozaly, satu juz saja sudah sangat berat. Tertatih.
Rata-rata mereka masuk Al Ghozaly karena saran orang tua, atau terpaksa. Tujuan utama bisa sekolah di lembaga yang bagus. Aslinya tentu lebih enak kost ya, Nak. Bebas pegang hape, bisa keluar kapan saja. Tak ada aturan, bahkan telat sholat subuh pun nggak ada yang ngingetin.
Maka masuk Al Ghozaly sebetulnya penuh perjuangan berliku. Pulang sekolah langsung balik ke kamar. Kalau pun mau ikut ekskul atau nongkrong di luar, nggak bisa lama karena harus segera mandi bebersih. Makan menu katering, jamaah maghrib kemudian mengaji. Belajar, baru tidur.
Padahal ya tak ada keharusan khusus. Mengaji juga tanpa target. Kurikulum diniyah kami sangat minimal. Menghapal tak wajib. Yang penting mupuk karakter dan istiqomah. Tapi tetep aja nging nging.
Maka tak jarang, menjelang tidur mereka mencari hiburan sendiri. Macem-macem, termasuk masuk kamar teman dan mengganggu dengan alasan gabut. Mukul-mukul ranjang dan menyanyi.
“Saya ini manusia dewasa, bukan hewan yang harus dikurung,” keluh satu anak yang saya dapati teriak-teriak. Menolak mengumpulkan hape sambil menantang musyrif. Iya Nak, Umi paham. Pasti bosen ya nggak bisa keluar malam kecuali wiken. Itu pun dibatasi jam. Padahal seusia kalian, maunya bebas bas kan Nak. Apalagi selama ini mereka sudah terbiasa longgar dan luang. Memang ya harus sabar ngadepi anak-anak Al Ghozaly. Harus sobaaar *puk puk diri sendiri.
::
Setiap hari saya melihat anak-anak ganteng sholeh yang uniiiiik. Ajaib. Ada anak yang sukanya gofood, sekali datang satu tas gaban. Ada yang sukanya numpuk cucian kotor, baru masuk tas laundry kalau sudah 40 lembar pakaian. Ada yang kadang ambil jatah makan teman karena masih lapar. Ada yang syusyah ngumpulin hape. Ada yang sholatnya selalu telat dan ngajinya aras-arasen. Ada yang mengaku coba-coba merokok dan main bilyar lalu keterusan. Ada yang alasannya sakiiit terus tiap jam sholat jamaah. Ada yang sering nabrak garis, kalau diingatkan melawan.
Kadang saya melihat sosok Mas Wahid dalam diri mereka. Kakak saya yang amboi luar biasa tapi alhamdulillah berakhir baik di mata kami manusia (semoga husnul khatimah di hadapan Allah). Saya yakin semua karena kuasa Allah. Lantaran doa Abah dan Umik, doa guru-guru semua. Tapi saya belum sekuat dan setegas Abah. Tirakat, kesabaran dan doa saya belum sekenceng Umik. Cara didik saya masih okem. Makanya kadang saya merasa lelah dan pengin menyerah.
Hanya saja, tiap pagi setelah laporan harian di WA group, banyak orang tua yang japri mengucapkan terima kasih dan memohon agar kami sabar. Lalu saya inget, ada nama Abah di guthe’an ini. Al Ghozaly, masak saya bubarin karena saya nyerah?
Terus saya semangat lagi. Besoknya merasa lelah lagi. Terus cari alasan semangat lagi. Begitu terus, mungkin sampai Upin Ipin gondrong.
::
Jadi, selama empat anak maju tasmi’, itulah yang ada di kepala saya. Ingatan pada tiga bulan yang amboi. Kok ya karena kuasa dan kasih sayang Allah, mereka sampai di titik ini.
Satu persatu menjawab pertanyaan sambung ayat. Lalu menjawab pertanyaan Ustadz dan Bapak Ibu mereka bergantian. Tentang hapalan acak dan pemahaman tajwid mereka. Sumprit kami deg-degan.
Momen paling haru, pas anak-anak selesai tasmi menuju orang tua masing-masing. Mengenakan mahkota simbol harapan agar kebaikan perilaku, pahala dan bacaan Al Quran mereka selama ini, sampai juga pada orang tua. Semoga kelak, sungguhan mereka bisa memasangkan mahkota di surga. Kemudian mereka sungkem. Semoga Bapak Ibu ridlo pada semua kesalahan mereka, agar lapang jalan mereka selanjutnya.
Terima kasih ya, Nak. Terima kasih untuk perjuangan kalian yang indah. Semoga kalian selalu bahagia menjalani kehidupan dan setiap langkah menuju harapan. Terima kasih atas dukungan dan doa Bapak Ibu. Tiba-tiba memberikan shadaqah serentak, tumpeng, mpek-mpek, minuman, snack dan buah banyaaak, bahkan ada wali yang ngundang rombong bakso. Saya yakin semua yang ada belum sepenuhnya bisa mengungkapkan rasa syukur kami. Matur nuwun Gusti Allah. Terima kasih semua. Terima kasih.
- Al Ghozaly, 20 Oktober 2022 –