Tatkala Abaya Menjadi Tren: Antara Iman, Gaya, dan Pencitraan
Oleh: Siti Roihani *
Dapat kita lihat sendiri, bahwasanya di hari ini tren fashion muslim khususnya abaya tengah marak di kalangan masyarakat global. Mulai dari Gen Alfa, Gen Z, sampai ke Millenial. Dahulu, abaya digunakan sebagai ekspresi keshalihan dan ketaatan terhadap ajaran-ajaran Islam dengan ciri khasnya yang sederhana. Seperti, berpotongan longgar, tidak membentuk lekuk tubuh, dan umumnya berwarna hitam sebagaimana yang dikenakan sebagian besar perempuan-perempuan kalangan Syarifah, Hubabah, Sayyidah, dan Muwatta di Timur Tengah utamanya di negara-negara Islam seperti Arab Saudi.
Seiring berjalannya waktu, budaya populer telah membawa perubahan pada desain abaya. Mulai dari penambahan variasi warna yang dahulunya hanya warna hitam dan warna-warna gelap karena warna gelap dianggap tidak mencolok dan mengurangi daya tarik kaum adam. Namun, sekarang abaya sudah hadir dengan berbagai varian warna, pola, dan gayanya yang lebih berani. Tak hanya sebagai penutup aurat, abaya versi ini sudah menjadi fashion statement yang bahkan sudah banyak dijual di butik-butik mewah dan populer di media sosial.
Hanya saja, semakin maraknya trend abaya sebagai busana modis, banyak terjadi pergeseran makna di kalangan masyarakat. Ada yang memang memakainya sebagai bentuk ketaatannya pada nilai Islam guna menutup aurat, ada juga yang memakainya hanya sebagai bagian dari tren tanpa memandang aspek keagamaan. Trend fashion ini telah menarik minat luas, bahkan di kalangan mereka yang tidak rutin memakainya.
Begitu banyak influencer yang memamerkan abaya dengan gaya dan aksesoris yang modern, menciptakan citra tertentu yang kadang berjarak dari nilai kesopanan dan kesederhanaan hingga menimbulkan degradasi makna religius dari abaya. Seperti desainnya yang kadang terkesan kurang longgar dan ketat, bahan yang terawang hingga masih memperlihatkan warna kulit, atau bahkan desain yang sudah sempurna untuk menutup aurat, tetapi digunakan untuk join video tiktok yang tidak senonoh.
Dengan kemunculan berbagai unggahan bergaya di platform media sosial utamanya Tiktok dan Instagram, abaya kini dilihat sebagai pilihan fashion stylish untuk pencitraan tampil keren, bukan karena iman melainkan untuk trendi dan “on-trend”. Lebih parah lagi, tidak sedikit perempuan yang join tren abaya dengan mengatasnamakan “mbak-mbak santri” yang diimbuhi caption centil dan menarik perhatian kaum adam.
Hal semacam ini tentu sangat disayangkan, abaya yang seharusnya menjadi simbol kesopanan justru dipakai untuk tujuan yang bertentangan dari nilai Islam.
Fenomena abaya sebagai bagian dari trend media sosial mencerminkan bahwa budaya dan adat perilaku dapat berubah seiring dengan perkembangan zaman. Sehingga, trend ini memunculkan pertanyaan penting yang patut ditelaah lebih dalam bagi masing-masing individu mengenai batasan antara iman dan gaya.
Tentu saja keputusan untuk memilih dan menentukan busana itu menjadi hak pribadi masing-masing individu. Akan tetapi, rasa hormat yang tercipta dari pemahaman yang baik terhadap busana yang dipakai merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap batasan nilai-nilai agama yang dianut.
Sebelum memilih hendaknya paham betul kriteria pakaian syar’i yang sesuai ajaran Islam, utamanya kaum hawa. Sebab pakaian yang akan digunakan seorang muslimah bukan sekadar ikut tren saja, tetapi harus menutup aurat sebagai bentuk penjagaan harga diri dan kemuliaannya.
Sesungguhnya yang demikian merupakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah Swt. yang telah menganugerahkan bentuk tubuh yang indah dan sempurna. Semoga kita termasuk muslimah-muslimah cerdas yang tidak latah, tetapi tetap bergaya. Mengenakan busana modis tanpa menyepelekan karakteristik agamis.
*) Alumni YPP Miftahul Ulum, Mahasiswa UIN KHAS Jember