AKHIR ASURANSI SAYA
5 mins read

AKHIR ASURANSI SAYA

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Tentang asuransi itu, rame ya. Dua kali saya kejeglong masalah asuransi. Sik, saya tak cerita ya. Tapi please, yang mau ngatain saya, “Dasar penggemar riba,” tolong skip aja tulisan ini ya. Peace. Yang fanatik asuransi, mohon maaf, saya sekedar mendongeng pengalaman pribadi. Nuwunsewu.

Begini. Awal menikah, kami mengalami banget rasanya menjadi orang miskin. Miskin, notog. Yang berteman dengan saya di efbi sejak 2009 pasti tahu cerita menye-menye saya. Tapi karena saya dan anak mertua berkomitmen untuk menomersatukan pendidikan anak, ya terpaksa minggirin kebutuhan lain. Makan enak dan beli baju, jadi nomer sembilan setengah. Mudik ke Jawa, jadi nomer enam belas.

Pas lahir anak pertama, langsung nyari asuransi. Mikirnya, supaya bisa nganter anak belajar ke tempat terbaik. Dulu belum jamannya syar’i-syar-ian ya. Ikutlah Bumi Putra, yang bisa menjangkau pelosok. Bismillah niat nabung. Kami berdua bukan pegawai negri, bukan pengusaha dan kalau nyimpen uang di celengan jago, sering nithili untuk keperluan ini itu. Maka supaya aman, kami titip di asuransi. Asuransi Pendidikan. Sebelumnya sudah nanya ke agen, “Di akhir nanti, berapa total uang yang betul-betul milik saya sendiri?”

Aman. Saya rajin bayar, nganak-nganakno poll. Ngada-ngadain. Tiap bulan nyisihin untuk dana asuransi pendidikan. Lalu saya nambah ikut nabung dana pensiun. Pas anak masuk SD dan SMP, cair. Sampai dengan anak SMA, alhamdulillah ‘tabungan’ itu masih cair. Sangat membantu untuk bayar uang sekolah pertama. Lha, pas anak mau kuliah, kok ada drama di Bumi Putra, macet lalu nggak bisa keluar. Sampai saat ini. Hilang. Padahal harusnya, cair yang paling gedhe. Dana pensiun saya harusnya cair tahun lalu. Ilang juga. Sedih? Pasti. Tapi sebentar aja. Wong nasabah se-Indonesia ngalami hal yang sama kan. Trus inget niat saya lak menabung, sebagian tabungan sudah keluar. Rugi, pasti. Tapi nggak apa. Tutup buku.

::

Kemudian tahun sekian, saya ikut Pru-Syar’i. Ada kata syar’i nya ya. Hm. Sahabat saya promosi asuransi ini dengan mepet terus, getol luar biasa. Berkali ke rumah menyampaikan cerita menarik tentang manfaatnya. Saya tertarik. Musyawarah dengan suami, bismillah ikut. Tanpa istikharah. Keputusan yang kemudian sangat saya sesali. Lha, urusan semacam permintaan host atau mengisi materi seminar aja, saya istikharah lho. Kok ini urusan besar dan panjang, malah looos doll.

Satu lagi kesalahan saya, nggak pernah tuntas membaca poin-poin penjelasan dalam surat perjanjian yang memang tertulis dengan huruf sangat kecil, rapet berlembar-lembar itu. Saya juga nggak nanya apa-apa lagi. Kami ikut 4 polis. Langsung saya bayar tiap mendapat bisyarah dari satu lembaga. Pas.

Empat kali saya opname, 3 kali saat sekolah terakhir kemarin. Alhamdulillah selalu tercover kantor suami. Jadi ya, belum pernah merasakan manfaat asuransi itu. Dan sebelum rame-rame, saya tilp agen yang juga sahabat saya, “Sebetulnya, apa aja manfaat yang bisa saya dapat dari asuransi ini, Uwak?”

Telat banget pertanyaan saya haha. Setelah seratus dua puluh purnama menjalani hubungan ini, kok saya baru menyampaikan pertanyaan yang harusnya saya tretelkan sejak awal. Jawabannya membuat saya klakep, “Kalau Umi wafat, dapat uang banyak.”

Hah? Untuk apa saya dapat uang kalau sudah mati? Anak-anak saya juga nggak bakalan tega make uang itu, Uwak.

“Saya ajarin ya, dishadaqahkan aja. Biar berkah,” saya ndomblong. Kayaknya, tampang saya terlihat nggak pernah shadaqah ya haha.

Apa lagi, Uwak? Kalau nanti sakit bla bla. Apalagi kalau Aby pensiun. Kan ada BPJS, Uwak. Oh beda, kalau BPJS begini. Asuransi ini begitu. Saya masih telmi.

::

Lalu saya istikharah, telat lagi ya. Tilp adik, eh malah dipesemi, “Jadi selama ini ikut asuransi apa aja?”

Adik saya ini, pengganti Abah. Tempat saya mengadu dan bertanya banyak hal. Bijaksana, sabar, dewasa. Meski thas thes baca kitab, ndalailul khairat dan ngrowot sejak anak-anak, tapi nggak pernah kemlinti. Nggak pernah nglunjak ke saya, kakaknya yang nggak pinter ini. Saya selalu dinasehati tanpa kerasa sedang dinasehati. Nggak pernah kasih dolal dalil. Adem aja.

“Inget nggak, dulu Abah melarang panjenengan ikut undian Chiki, Indomie atau semacamnya? Ingat nggak, Abah dulu selalu melarang kita kredit apapun? Inget nggak, sikap Abah menghadapi MLM dan asuransi?”

Saya diem. Inget, Dik. Ingeeet. Dan semua saya langgar. Saya tukang kredit tupperware, saya ngikut asuransi, saya tukang ini itu.

“Saya tidak akan bicara tentang dosa atau pahala. Kita tidak akan berdiskusi tentang haram dan halal. Semua orang punya alasan masing-masing sebelum memutuskan apapun, termasuk ikut asuransi. Saya juga tidak menyalahkan niat dan tujuan panjenengan ikut asuransi. Saya hanya akan mengajak panjenengan mengingat kembali pesan Abah.”

Saya mewek. Adik lanjut, “Sampun. Diselesaikan saja sekarang. Nggak usah disesali. Nggak usah ngitung kerugian. Nggak usah cerita juga kenapa akhirnya panjenengan mundur, Ning. Alasan ini untuk pribadi saja. Nafsi-nafsi. Ingat, panjenengan jangan menghukumi apapun dan menghakimi siapapun nggih”

::

Saya sempat galau. Kepikir mau ganti asuransi apa gitu. Nanya bapaknya anak-anak, “Aby ridla keputusan ingkang pundi?”

Tilp agen, “Uwak, saya berhenti ya. Kita tetap bersahabat ya. Nggak usah ngomongin ini lagi ya. Saya nggak papa, kok. Pokoknya semua akan baik-baik saja insyaAllah ya, Uwak.”

Selesai. Saat ini, saya memilih manut suami, abah dan adik aja. Alasan yang sangat pribadi untuk akhir asuransi saya. Dan nggak perlu ditiru ya, Gaes. Nafsi-nafsi saja.

Salam sayang dari saya ❤️

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *