BAHASA ANAK
5 mins read

BAHASA ANAK

Penulis: Ning Evi Ghozaly

“Anak-anak dan kita, berada di waktu yang sama tapi mewakili generasi yang berbeda. Bahasa mereka semakin berjarak dengan kita. Itu adalah keniscayaan. Persoalannya ialah apakah mereka bersedia menerjemahkan bahasa mereka untuk kita dan apakah kita bersedia menyimaknya dengan seksama.”

Kalau saya tidak salah ingat, kalimat di atas pernah saya baca di efbi Bapak A. Muzi Marpaung, tahun 2017 lalu. Dan saya baru merasakan kejadiannya pada bulan-bulan ini. Mendapati bahasa saya yang makin berjarak dengan anak sulung. Beberapa ungkapan perasaannya tidak bisa saya pahami. Satu dua harapannya tidak mampu saya mengerti. Bukan, bukan hanya karena saya gagal menerjemahkan, terlebih karena saya tidak pandai menyimak, dengan cara seharusnya.

Apa yang menurut dia wajar, buat saya bisa menjadi masalah. Apa yang baginya seru, dihadapan saya terasa aneh. Dia menikmati pilihan jalan yang ditempuh sambil terus beranjak naik, saya diam di tempat, tak bergeming. Terkadang dia berlari dan sesekali berhenti, saya memaksanya menari dengan iringan tetabuhan yang saya sukai. Dia berlari mengejar keindahan masa depan, saya bertahan menawarkan masa lalu. Jian, saya memang embuh kok.

::

Ohya. Saya pernah belajar ilmu otak pada ahli neuro parenting dr. Amir Zuhdi (namanya ada di daftar teman efbi saya, tapi saya tidak berani ngetag). Kata beliau, saat remaja, otak mengalami banyak perubahan. Koneksi yang tidak diperlukan akan terpotong dan koneksi yang penting untuk perbaikan proses berpikir akan semakin erat tersambung. Mempertajam analisa masalah dan pengambilan keputusan, juga memaksimalkan fungsi otak lainnya. Proses ini, dimulai dari otak area belakang.

Taraaa. Masalahnya adalah, otak bagian depan ini yang terakhir berkembang. Kita mengenalnya dengan prefrontal. Area prefrontal yang bertanggung jawab untuk menentukan keputusan dan menghitung konsekuensi suatu tindakan, menganalisa dan menyelesaikan masalah, juga mengendalikan perasaan ini, baru berkembang optimal pada usia 25 tahun. Tuh, kan. Dua puluh lima tahun.

  • Beberapa kalimat di atas, saya tulis berdasarkan video yang sering saya putar bersama anak SMP dan SMA. Pada saat pelatihan bersama mereka, biasanya saya mengajak menempelkan tangan ke area otak ini –

Nah. Karena perkembangan otak area depan mendapat giliran mbuncit, maka untuk sementara para remaja menggunakan area otak amygdala untuk mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah. Padahal kita tahu ya, Amygdala ini berhubungan dengan emosi, agresi, impuls dan perilaku naluriah lainnya.

Itulaaaaah, mengapa anak di usia ini jadi mudah tersulut emosi, gampang nekat, berani menabrak garis, tiba-tiba marah bahkan dengan berkata agak kasar, selalu ingin ‘melawan’, tiba-tiba muntab lalu sak sret berikutnya diem seribu bahasa. Pokok jedug-jedug ngepot.

Solusinya dospundi?

Ngendikan Sayyidina Ali radhiyallahu anh, jadikan anak kita sahabat. Dampingi proses perkembangan otak anak dengan kesabaran tanpa batas. Wong mereka lho sebetulnya juga sedang mengalami kesulitan mengendalikan diri dan hatinya. Jadi ya temani saja, kadang dari dekat, kadang dari jauh. Ajak bicara ala sahabat, tapi kalau anak sedang ingin sendiri ya kita jangan maksa ndeket kayak saya. Ndusel-ndusel lagi.

*Materi selengkapnya tentang parenting ala sayyidina Ali ada di tulisan saya yang lain ya.

Lho Gaes, saya lho ngutip ngendikan sahabat Rasulullah itu dengan ringan. Menyampaikannya dalam seminar parenting juga sambil senyum. Tapi pas kejadian di saya, jian memble poll. Jangan ditiru ya, Gaes.

::

Semalam Mas L belajar bersama adik-adik santri YPP Miftahul Ulum Banyuwangi. Maturnuwun atas kesempatannya ya, Buya Muhammad Hayatul Ikhsan, Ami Fawaizul Umam , Amati Nadz Umi Nadhiroh , Amati Nurmahmudah Ikhsan dan Mas Kholil ArRosyid.

Saya dan Abi M Haris Sukamto minta ijin ikut gabung via zoom. Kesempatan satu setengah jam dimoderatori Ustadzah MyMmuna AlHaim , kami ikut sinau dengan khusyu. Di sesi akhir, ada 6 pertanyaan santri putri yang semua dijawab Mas L dengan makjleb.

“Gus Lavy, bagaimana jika kemauan kita berbeda dengan maunya orang tua? Bagaimana menyampaikannya.”

Sumpah Gaes, saya nggak nyangka ada pertanyaan ini. Saya kuwaget, siap-siap aja ketampar. Eh ternyata jawabannya manis banget, “….saya sering mengalami ini. Biasanya saya matur saja ke orang tua apa mau saya. Saya ini keras kepala, jadi saya akan melakukan berbagai cara agar mau saya tercapai. Tapi bukan berarti saya tidak peduli maunya Aby dan Umy. Untungnya Aby dan Umy sangat enak diajak komunikasi. Aby dan Umy saya memang bijaksana..”

  • Kalimat terakhir karangan saya ding. Bukti rekamannya ada di Ust Rudi Raden πŸ˜…πŸ‘» –

“Bagaimana jika kita merasa jenuh dan bosan dengan rutinitas?”

“Terima kasih pertanyaannya, Mbak. Kalau saya, ini kalau saya ya. Ambil jeda dulu. Istirahat. Berhenti sebentar. Kalau masih jenuh dan bosan, ambil kegiatan yang menyenangkan. Tapi ya namanya istirahat, nggak boleh lama-lama lah….”

Makdeg. Ohya? Jadi beberapa waktu kemarin dia sedang sangat bosan dan jenuh. Sedang ingin jeda. Sedang ingin istirah sejenak. Lalu miara kucing dan lain-lain itu, dalam rangka mencari kegiatan baru yang menyenangkan.

Fix. Emaknya kini makin merasa krik-krik. Terima kasih telah berkenan menerjemahkan bahasa panjenengan untuk kami nggih, Nak. InsyaAllah tak pernah ada jarak antara kita ya. Kemarin itu hanya iklan aja πŸ˜€ ❀️

  • Galunggung, 19 Agustus 2021 –
    .
    .

πŸ“· Kebiasaan ritual suwak suwuk πŸ˜€