BELAJAR MENJADI ORANG TUA
13 mins read

BELAJAR MENJADI ORANG TUA

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Setelah saya menulis tentang satu bulan mendampingi anak sulung saya kemarin, banyak yang menghubungi saya. Menanyakan apa penyebab masalah anak saya, memberikan dukungan doa dan sebagian besar menceritakan kisah yang mirip. Terima kasih responnya ya.

Mohon maaf, saya tidak akan menceritakan penyebabnya karena fakta ini menyangkut orang lain. Lagi pula, saya hanya menulis tentang anak saya, atas ijin mereka dan bapaknya.

Tapi saya yakin, nyaris setiap orang pernah mengalami masa seperti itu. Tertekan, bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan. Bedanya ada pada sebab, reaksi, durasi dan cara mengatasinya.

Dari sisi teori psychologi, saya mempercayai penjelasan tentang quarter life crisis. Komen Mbak Asa di status saya, membuat saya bersemangat mempelajarinya lebih jauh. Terima kasih, Mbak Asa. Alhamdulillah, QLS ini ternyata fase normal yang dialami 86 persen orang di usia 20 hingga 30 tahun. Lega. Yang penasaran silakan gugling ya.

::

Nah. Bagi yang mengenal saya secara nyata atau sering membaca tulisan tentang kedua anak saya, insyaAllah pirsa bahwa kondisi kemarin baru kami alami. Sehingga wajar ya jika saya sempat kaget dan sedih.

Monggo saja jika ada yang menganggap saya lebay. “Biasa aja itu mah, jarkan saja lak ya selesai sendiri.” Atau, “Begitu saja kok dianggap penting. Bikin heboh sendiri.”

Saya hanya ingin mencatat semua momen pengasuhan yang saya alami. Saya ingin mengabadikan semua cerita suka dan duka selama menjadi orang tua. Minimal supaya kelak, bisa dibaca kedua anak saya. Agar L dan D tahu, betapa saya sangat menyayangi mereka dengan sepenuh tulus. Saya hanya ingin mengikat semua kenangan lewat tulisan dan mengabadikannya dalam hati.

Hal lain yang saya yakini adalah, Gusti Allah memberikan pelajaran baru buat saya. Sebab menjadi orang tua, belajarnya ya seumur hidup. Karena menjadi orang tua, tak boleh berhenti memberikan cinta dan melantunkan doa.

Mungkin tiga bulan kemarin, waktu saya untuk mereka sangat kurang. Mungkin tiga bulan kemarin, doa saya untuk mereka tidak sekencang biasanya. Mungkin tiga bulan kemarin, tirakat saya agak longgar. Hingga ikatan batin kami agak merenggang. Hingga komunikasi kami menjadi kurang lancar. Hingga saya kesulitan menerjemahkan maunya, tidak legowo menerima protes diamnya dan mengalami hambatan dalam memahami suasana hatinya.

::

Alhamdulillah, Gusti Allah memberi peringatan untuk saya pada saat yang tepat. Sebelum semua terlambat. Saya bersyukur bisa menemaninya sebulan penuh. Mendampinginya pagi siang sore malam hingga pagi lagi. Merekam semua momen krik-krik dan haragadah.

Saya menikmati saat-saat mencium bau apek kamar dan baju kotornya, merapikan buku, laptop, karpet dan spreinya sekilat kecepatan cahaya. Saya menikmati waktu menunggu dia bangun tidur dengan mengelus rambut dan punggungnya sambil membaca shalawat. Saya menikmati proses memasak dan menghidangkan makanan buka puasa ke kamarnya. Mendengarkan semua ceritanya. Menatapnya dari jauh saat dia konsultasi skripsi secara online. Sungguh, saya menikmati satu bulan yang indah. Alhamdulillah.

::

Satu hal yang saya tidak mungkin bisa melakukan dalam kondisi nano-nano seperti itu, dia tetap puasa. Sholat tepat waktu. Masih mengajar bahasa untuk teman-teman dari luar negrinya.

“Mas ingin melakukan semua hal yang selama 21 tahun belum pernah Mas lakukan, Um.”

Silakan, Nak. Apa saja nggih? Saya deg-degan. Bayangan saya dia ingin merokok atau apalah apalah.

“Memanjangkan rambut. Main game berjam-jam sampai ketiduran. Lalu…”

Saya tertawa. Monggo, Nak. Silakan banget. Itu mah tak perlu ijin, Nak. Kalau perlu, tak temeni begadang main game wis. Wong sejak di Teknik Informatika dia bisa menjelaskan pada adik-adik kelas tentang kereeeennya game untuk pembelajaran kok. Tidur habis subuh terus, juga boleh banget. Nggak papa mpun. Apa lagi?

Andai dia kembali ingin naik gunung atau backpaperan kemana dan kemana seperti dulu-dulu, saya akan menyilakan dengan senang. Tapi ternyata dia lebih suka di rumah, menyelesaikan semua masalahnya sendiri, tanpa perlu ke luar dan berlari. Ternyata dia memilih untuk menghidmati diri, tanpa perlu mencari apa dan siapa yang salah. Alhamdulillah.

“Boleh miara kucing lagi kan, Um?”, saya kaget. Tapi lalu tersenyum mengangguk. Pengalaman hawer-hawer saat dia miara kucing dan hamster, dua love bird, ikan cupang dan ikan komet yang di PHP in, saya anggap iklan aja dah.

::

Satu bulan yang indah. Saya belajar pada ketenangannya yang luar biasa. Sekecewa apapun, ternyata dia tak sampai putus asa. Saya belajar pada kedewasaannya. Seberantakan apapun kamar dan ritme hidupnya selama tiga bulan, tapi keteguhan dan komitmen terpentingnya, masih tertata rapi. Saya belajar banyak padanya, darinya. Terima kasih ya, Nak.

“Umy mau mie dan juice?”, pertanyaan yang terdengar sangat merdu. Indah. Lalu dihidangkannya mie nyemek dengan toping jamur kriuk dan juice timun nanas. Segar.

Kemudian PPKM membuat keindahan berlangsung lebih lama. Tak ada penerbangan dari Malang menuju Bandar Lampung. Mundur sebulan lagi.

“Mas boleh ikut Umy presentasi?”, pertanyaan yang terdengar makin syahdu. Seperti mendengar gemericik air bening di tengah taman bunga. Dia, menawarkan diri menemani saya ngiter? Seperti biasanya? Wuah.

Seperti sebelumnya, dia sudah bangun sebelum subuh. Berjemur bersama Shuki (katanya kalau manggil harus pake huruf shod), sudah berdebat dengan Aminya, sudah main dan sesekali berantem dengan adiknya, sudah berantakin dapur dan tilp teman-temannya. Tertawa ngakak, lagi. Mencet jerawatnya, lagi. Membuat rencana-rencana segar yang penuh tantangan, lagi.

Skripsinya selesai. Tinggal menunggu seminar hasil. Diniyah di pondok kelas 3 Wustho. Alhamdulillah. Tak pernah ada target dari kami, tapi semoga dia bisa mencintai semua pilihannya. Semoga dapat menyukai apapun yang telah menjadi keputusannya. Mampu bertanggung jawab pada apa yang telah disanggupinya. Dengan riang, dengan bahagia. Semoga dia selalu dalam lindungan Allah dan hidup sehat panjang umur dalam keberuntungan. Semoga dia selalu dalam kebaikan dan dipertemukan dengan orang-orang baik.

Terima kasih pada para Aminya, yang telah memberi kesempatan belajar bersama para santri lagi. Saya tersenyum penuh syukur melihatnya menyiapkan materi sambil nonton film. Saya bahagia mengantarkannya ke Darul Faqih hari ini, meski hanya bisa menyaksikannya lewat striming yucup nanti.

Bismillah, niatkan thalabul ilmi ya, Nak. Mengabdi di pesantren, mengharap ridla Allah dan guru kyai. Sambil menasehati dan menyemangati diri sendiri.

Semoga semua lancar, berlimpah berkah. Bismillah.

  • Darul Faqih Indonesia, 18 Agustus 2021

Setelah saya menulis tentang satu bulan mendampingi anak sulung saya kemarin, banyak yang menghubungi saya. Menanyakan apa penyebab masalah anak saya, memberikan dukungan doa dan sebagian besar menceritakan kisah yang mirip. Terima kasih responnya ya.

Mohon maaf, saya tidak akan menceritakan penyebabnya karena fakta ini menyangkut orang lain. Lagi pula, saya hanya menulis tentang anak saya, atas ijin mereka dan bapaknya.

Tapi saya yakin, nyaris setiap orang pernah mengalami masa seperti itu. Tertekan, bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan. Bedanya ada pada sebab, reaksi, durasi dan cara mengatasinya.

Dari sisi teori psychologi, saya mempercayai penjelasan tentang quarter life crisis. Komen Mbak Asa di status saya, membuat saya bersemangat mempelajarinya lebih jauh. Terima kasih, Mbak Asa. Alhamdulillah, QLS ini ternyata fase normal yang dialami 86 persen orang di usia 20 hingga 30 tahun. Lega. Yang penasaran silakan gugling ya.

::

Nuwunsewu, bagi yang mengenal saya secara nyata atau sering membaca tulisan tentang kedua anak saya, insyaAllah pirsa bahwa kondisi kemarin baru kami alami. Sehingga wajar ya jika saya sempat kaget dan sedih.

Monggo saja jika ada yang menganggap saya lebay. “Biasa aja itu mah, jarkan saja lak ya selesai sendiri.” Atau, “Begitu saja kok dianggap penting. Bikin heboh sendiri.”

Ngapunten. Saya hanya ingin mencatat semua momen pengasuhan yang saya alami. Saya ingin mengabadikan semua cerita suka dan duka selama menjadi orang tua. Minimal supaya kelak, bisa dibaca kedua anak saya. Agar L dan D tahu, betapa saya sangat menyayangi mereka dengan sepenuh tulus. Betapa emaknya tak henti belajar meski kadang tertatih. Saya hanya ingin mengikat semua kenangan lewat tulisan dan mengabadikannya dalam hati. Syukur jika bermanfaat buat satu dua sahabat.

Hal lain yang saya yakini adalah, Gusti Allah memberikan pelajaran baru buat saya. Sebab menjadi orang tua, belajarnya ya seumur hidup. Karena menjadi orang tua, tak boleh berhenti memberikan cinta dan melantunkan doa.

Saya juga memiliki waktu panjang untuk introspeksi. Mungkin beberapa waktu kemarin, waktu saya untuk mereka sangat kurang. Mungkin doa saya untuk mereka tidak sekencang biasanya. Mungkin tirakat saya agak longgar. Hingga ikatan batin kami agak merenggang. Hingga komunikasi kami menjadi kurang lancar. Hingga saya kesulitan menerjemahkan maunya, tidak legowo menerima protes diamnya dan mengalami hambatan dalam memahami suasana hatinya.

::

Alhamdulillah, Gusti Allah memberi peringatan untuk saya pada saat yang tepat. Sebelum semua terlambat. Saya bersyukur bisa menemaninya sebulan penuh. Mendampinginya pagi siang sore malam hingga pagi lagi. Merekam semua momen krik-krik dan haragadahnya.

Nggih, dua puluh satu tahun lebih Gusti Allah menganugrahkan dua anak yang disiplin, santun dan selalu bersikap manis. Saatnya saya mendapat pelajaran zig zag cara mendidik remaja di akhir 7 tahun ketiga. Materi Parenting Ala Sayyidina Ali yang rutin saya sampaikan di kulwap Nikah Institute, khatam sudah. Tahapan perkembangan anak dengan rumus 3 kali 7 telah tuntas saya jalani, berikut ujian dan remedinya. Naik turun, ngebut, ngepot. Lalu saya kejedut, gubrak dan bangkit lagi.

Biaunillah. Saya telah menikmati saat-saat mencium bau apek kamar dan baju kotornya, merapikan buku, laptop, karpet dan spreinya sekilat kecepatan cahaya. Saya menikmati waktu menunggu dia bangun tidur dengan mengelus rambut dan punggungnya sambil membaca shalawat. Bonus, mendapat plengosan dan wajah cemberutnya. Saya menikmati proses memasak dan menghidangkan makanan buka puasa ke kamarnya. Terkadang menyuapinya, seperti ketika dia berumur Batita. Mendengarkan semua ceritanya. Menatapnya dari jauh saat dia konsultasi skripsi secara online. Sungguh, saya menikmati satu bulan yang indah. Alhamdulillah.

::

Satu hal yang saya tidak mungkin bisa melakukan dalam kondisi nano-nano seperti itu, dia tetap puasa. Sholat tepat waktu. Masih mengajar bahasa untuk teman-teman dari luar negrinya. Alhamdulillah.

Ohya, main game berjam-jam sampai begadang juga dia lakukan. Terkadang dia tertawa menyadari saya ada disampingnya sambil ikut menatap layarnya, “Game ini bagus untuk media pembelajaran, Um.” Saya ngakak mengacak rambutnya. Murni game hiburan juga nggak apa, Nak. Asal tahu waktunya berhenti, saya mbatin.

Andai dia kembali ingin naik gunung atau backpaperan kemana dan kemana seperti dulu-dulu, saya akan menyilakan dengan senang. Tapi ternyata dia lebih suka di rumah, menyelesaikan semua masalahnya sendiri, tanpa perlu ke luar dan berlari. Ternyata dia memilih untuk menghidmati diri, tanpa perlu mencari apa dan siapa yang salah. Alhamdulillah.

::

Satu bulan yang indah. Saya belajar pada ketenangannya yang luar biasa. Sekecewa apapun, ternyata sebatas kata, tak sampai putus asa. Saya belajar pada kedewasaannya. Seberantakan apapun kamar dan ritme hidupnya selama tiga bulan, tapi keteguhan dan komitmen terpentingnya, masih tertata rapi. Sungguh, saya banyak belajar menjadi orang tua dari lelaki yang lahir dari rahim saya ini. Alhamdulillah. Terima kasih ya, Nak. Maturnuwun sanget.

Kemudian PPKM membuat keindahan ini berlangsung lebih lama. Tak ada penerbangan dari Malang menuju Bandar Lampung. Sampai PPKM berakhir.

“Mas boleh ikut Umy presentasi lagi?”, pertanyaan yang terdengar makin syahdu. Seperti mendengar gemericik air bening di tengah taman bunga. Dia, menawarkan diri menemani saya ngiter? Seperti biasanya? Wuah.

Seperti sebelumnya, dia sudah bangun sebelum subuh. Berjemur dan jalan-jalan bersama kuciaaaaang Shuki (katanya kalau manggil harus pake huruf shod), sudah berdebat dengan Aminya, sudah main dan sesekali berantem dengan adiknya, sudah berantakin dapur dan tilp teman-temannya. Teriak dan ngakak, lagi. Mencet jerawatnya, lagi. Membuat rencana-rencana segar yang penuh tantangan, lagi. Ngajak saya ziarah lagi.

Alhamdulillah. Skripsinya selesai. Tinggal menunggu seminar hasil. Diniyah di pondok kelas 3 Wustho. Alhamdulillah. Mohon pangestu semua ya.

Tak ada target dari kami, tapi semoga dia bisa mencintai semua pilihannya. Semoga dia dapat menyukai apapun yang telah menjadi keputusannya. Mampu bertanggung jawab pada apa yang telah disanggupinya. Dengan riang, dengan bahagia. Semoga dia selalu dalam lindungan Allah dan hidup sehat panjang umur dalam keberuntungan. Semoga dia selalu dalam kebaikan dan dipertemukan dengan orang-orang baik.

Terima kasih pada para Aminya, yang telah memberi kesempatan belajar bersama para santri lagi. Terima kasih pada Ami Faris Khoirul Anam yang telah memberi kempatan dia belajar bersama adik-adik SMP Dafindo. Dan maturnuwun Ami Fawaizul Umam, juga Ama Nadhiroh dan Ama Mik Nung yang memberi kesempatan dia belajar bersama santri Miftahul Ulum Banyuwangi.

Saya tersenyum penuh syukur melihatnya menyiapkan materi sambil nonton film. Saya bahagia mengantarkannya ke Darul Faqih pagi ini, dan menemaninya dari jauh mengisi untuk Miftahul Ulum nanti.

Bismillah, niatkan thalabul ilmi ya, Nak. Mengabdi di pesantren, mengharap ridla Allah dan guru kyai. Sambil menasehati dan menyemangati diri sendiri, dengan senang. Materi Man Jadda Wajada memang pas. InsyaAllah.

Semoga semua lancar, berlimpah berkah. Bismillah.
.

  • Malang, 18 Agustus 2021 –

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *