Penulis: Ning Evi Ghozaly
Ini fliyer acara kemarin. Baru berani posting setelah memastikan terlaksana dengan protokol kesehatan. Tuntas, sesuai harapan. Alhamdulillah.
Jujur, saya bukan orang tua yang berani mengantarkan anak ke pondok pesantren di usia Sekolah Dasar. Banyak alasan, seperti yang pernah saya tulis. Maka begitu saya menyaksikan anak-anak pasca Taman Kanak-kanak ini nyantri di Pondok Pesantren Ibadur Rahmaan, Way Jepara, Lampung Timur, saya klakep. Anak-anak kecil yang polos, matanya berbinar menyambut saya. Senyumnya manis, sambil mengulurkan tangan mungilnya, salah satu anak berkata lantang, “Selamat datang di Pondok Pesantren Ibaadur Rahmaan, Umi Evi.”
Saya terpaku sejenak. Nggak tega rasanya menolak ajakan salim mereka, “Terima kasih, Nak. Mohon maaf ya, karena masih pandemi, boleh salamannya begini saja ya?”
::
Usai sesi pertama, saya diantar ke ndalem pengasuh untuk sholat dan makan. Melewati aula, saya melihat puluhan anak terlelap. Berjarak, berjejer. Nyenyak sangat. Saya tercekat. Ketika kedua anak kami seusia mereka, kami masih ngeloni setiap hari.
“Mereka maunya main terus. Nggak mau istirahat. Maka ya harus terus didampingi” ngendikan Ning Ayu.
Sekelebat saya melihat dua anak mengendap, lalu ndepipis dibalik tembok pendek. Memandang saya, telunjuknya diletakkan di bibir. Ahahaha, mungkin anak ini berniat kabur dari jadwal tidur siang. Rasa haru saya mendadak ambyar, spontan saya ngakak. Selalu ada cerita kabur-kaburan begini di pesantren manapun 😀
::
Sesi kedua. Saya melanjutkan belajar bersama para guru. Tentang bagaimana menjadi guru yang dirindukan. Beberapa slide tentang persiapan pembelajaran termasuk perangkat dan tralalanya, saya skip. Saat seperti ini, tak terlalu penting materi-materi berat. Segala macam konsep ndakik bisa dipelajari dari manapun, termasuk dari internet.
Yang terpenting justru memberi motivasi para guru, yang semuanya masih belia. Sebagian besar diantaranya adalah santri penghafal Al Quran binaan pesantren yang sama. Mutakharrij SMP dan SMA Ibaadur Rahmaan, dan…belum menikah 🙂
“Saya yakin, pada awalnya semua orang tua merasa berat mengirimkan buah hati enam tahunnya ke pesantren ini. Tapi keyakinan pada Allah, rasa percaya pada pengasuh dan para guru, membuat wali santri makin tawakkal. Maka ayo kita menjadi orang tua kedua untuk anak-anak luar biasa ini. Saya tidak berani memberi masukan pada para guru yang semua penghafal Al Quran. Tapi ijinkan saya berbagi cara mengenali jenis kecerdasan anak, gaya belajar dan strategi pendekatan agar mereka makin semangat tumbuh dan berkembang sebagaimana seharusnya. Terus bergembira meski jauh dari rumah. Bahagia menjalani proses menghafal Al Quran, tapi minat dan bakatnya tetap optimal. Ini hanya ikhtiar, selebihnya wallahu a’lam”
Saya bagikan kertas, saya minta semua guru menulis masalah apa saja yang dihadapi selama ini. Diskusi, tanya jawab, demonstrasi hingga micro teaching.
Tips dan trik menjadi guru yang dirindukan ala saya, ternyata ndlesep di sini. Kalau di pertemuan awal saya masih bisa ngesok berbagi pengalaman dan teori, sesi akhir saya hanya bisa menyampaikan pesan para guru dan ijazah doa dari para kyai. Saya bukan apa-apa dihadapan para khamilul quran. Ngendikan Romoyai Maimoen Zubair, Gus Mus atau Gus Baha’ tentang mendidik anak dan santri penghafal akan lebih pas.
::
Menjelang ashar, anak-anak berjinjit menyibak tirai jendela ruang kelas yang belum permanen ini. Mengintip kanan kiri. Saling dorong. Saya jadi inget ngendikan pengasuh tadi, “Dinding kelas kami amboi, sekali ditendang anak-anak ya jebol. Mohon doakan agar kami segera punya gedung permanen seperti SMP dan SMA kami ya.”
Saya menutup materi dengan rasa nano-nano. Dua puluh lima guru hebat, kepala sekolah yang luar biasa dan seorang Ning pengasuh yang tawadlu, mengikuti acara hingga tuntas. Sangat bersemangat. Seratus dua puluh santri yang unik, mewarnai hari indah saya kemarin.
Dengan segala keterbatasan, mereka kerasan dan senang berada di pesantren pinggir kabupaten Lampung Timur. Dan saya terkaget melihat hasilnya, banyak anak yang telah selesai 30 juz. Selanjutnya, “Akan kami ajarkan kitab. Fiqh, aqidah dan lainnya di SMP nanti. Agar ilmu agamanya imbang dan lengkap.”
Saya pamit. Anak-anak bersiap jamaah ashar. Bersarung dan baju koko, “Sarungnya dijahit, ada karetnya.” Oh pantes, rapi. Lowucu. Nggemesin.
::
Saya yakin, tirakat dan ketangguhan orang tua juga sangat penting. Maka wajar jika anandanya Ning Dzuriyah Ningrum menjadi salah satu santri mutqin. Yang bikin terkejut seorang anak dari Jogja Jawa Tengah, kelas V SD, “Ini putra Ust Ismail Hermana.” Kok kayak pernah dengar nama itu ya. Saya buka galeri foto WA. Oh, beliau yang akan memberi materi di sekolah kami esok. Pantesss.
Terima kasih Mbak Apri Kurniasih dan Mbak Enie Tursiasih yang sudah menyiapkan semua dan mendampingi saya terus ya. Salut dan kagum pada para wali santri, para pengasuh dan guru di pesantren anak. Pokok kereeeen poll. Tabik.
- Rajabasa, 08.05.2021 –
Comments