DAMAI YA NAK
8 mins read

DAMAI YA NAK

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Tujuan utama saya ke Malang kali ini adalah untuk mendampingi anak sulung. Tiga bulan lalu mengeluh lelah, bosan, stress dan jenuh. Saya maklum, saat penyelesaian skripsi, kondisi demikian bisa dialami semua mahasiswa. Tapi yang membuat kaget, tiba-tiba saja dia mengatakan, “Maaf Um. Mas Lavy merasa salah memilih jurusan. Mas Lavy tidak mau lagi menjalani proses yang tidak Mas cintai. Mas Lavy ijin mogok ya. Kalau memang harus berhenti sampai di sini, mohon maaf.”

Mak duar. Bagai disambar bledeg saya mendengarnya. Merasa salah jurusan, justru saat sampai di semester akhir? Mau mogok mengerjakan skripsi, dan mandek ketika kelulusan sudah dekat?

Saya mencoba mengajak bicara. Saya ingatkan lagi, sepekan sebelumnya dia masih sangat bersemangat, “Mas ingin melanjutkan S2 di Inggris. Ambil jurusan yang sama saja nggih, Um. Supaya linier.” Saya bahagia menyaksikan tekadnya. Sejak dulu, anak baik ini memiliki motivasi yang kuat. Kelas 1 SD, lantaran suka komik Doraemon dia bercita-cita pergi ke Jepang. Kelas 5 SD menyatakan ingin kuliah Teknik Informatika, dengan berbagai alasan yang dia ketahui dari internet dan bertanya pada beberapa sahabat saya. Bismillah, dia menggenggam kuat semua mimpinya, tak goyang sampai semua tercapai. Lurus, lempeng. Manis, jempolan. Saya sampai heran dengan keteguhannya ini. Niru sapa tho, Le.

Lha kok mendadak sekarang ngepot langsung gubrak begini. Saya sampai patah. Mungkin seperti ini ya rasanya diputus pas sayang-sayangnya?

::

Akhir Juni 2021, Aby meminta saya terbang ke Malang. Pada semua lembaga tempat mengabdi saya ijin, “Mohon saya jangan diminta segera kembali ke Bandar Lampung ya. Saya akan mendampingi anak saya sampai masalah selesai. Saya berjanji akan tetap bekerja dengan baik meski online. Jika ada yang kurang, saya akan menggantinya nanti. Mohon ridhanya nggih.”

Sampai Malang, saya menyaksikan kondisi yang mengenaskan. Kamar anak sulung berantakan luar biasa, sangat bau. Buku berserakan, kabel ndleweran, tripot njempalik, sajadah nyungsang, tisue bertebaran. Ada bekas kotak gofutan, tumpahan kecap dan saos di atas sprei belepotan, horden debuan. Gelap. Pengap. Apek. Dan dia, mlungker santai di atas kasur. Saya tunggu di kamar anak bungsu yang terletak di depan kamarnya, lamaaaa tidak bangun, “Sudah beberapa bulan Mas Lavy begitu, Um. Tidur sepanjang hari. Bangun hanya untuk sholat. Bangun lagi untuk buka puasa, tidak pernah sahur. Tidur lagi. Tidak bicara dan tidak mandi,”lapor sang adik.

Saya menangis. Benarkan anak saya stress? Saya lihat instagramnya. Taburan foto dengan caption yang selalu membuat saya kagum, telah terhapus. Hanya tersisa 10 aplutan. Seperti ada kemarahan pada entah apa. Seperti ada penyesalan pada sebagian langkah hidupnya. Ah. Puluhan WA saya tak terbalas. Sebagian bahkan tak terbaca.

Menahan isak, saya masuk kamarnya. Mengusap lembut punggungnya, sambil terus saya bacakan fatihah, shalawat dan apa saja. Sekian lama kemudian, dia membuka mata. Melirik saya sebentar. Diam. Lalu menutup muka dengan bantal. Empat bulan kami tidak bertemu, salam dan salimpun tidak dia lakukan.

Saya menghela nafas panjang. Istighfar. Gusti Allah, dalem nyuwun pangaksami. Mohon kuatkan dalem agar bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anak. Mohon petunjuk agar dalem mampu melakukan yang seharusnya 😢

::

Hari ketiga. Begitu dia ke kamar mandi, saya melesat menuju kamarnya. Dibantu sang adik, saya ganti sprei dan sarung bantal. Saya rapikan semua buku dan barang yang ada. Baju-baju yang kotor saya pisahkan. Saya lap meja, tralis, laptop, lemari kecil. Lantai saya sapu dan pel, lalu saya semprot pengharum ruangan. Kilat, wong kamarnya kecil. Saya lakukan semua dengan deg-degan, mengejar waktu. Saya yakin dia tak lama di kamar mandi, paling hanya bersih-bersih sekedarnya, gosok gigi dan wudlu. Begitu terdengar bunyi ceklek, nafas saya terhenti. Dia masuk kamar, diam bagai patung. Kaget menatap kamarnya yang tersulap rapi, wangi. Tapi wajahnya terlihat sangat tidak suka. Mendengus keras, dia bicara menghadap tembok, “Mas mau sholat dulu. Umy keluar saja, nanti kita bicara.” Dingin. Kayak frezeer. Datar, tanpa ekspresi.

Alhamdulillah. Saya menghela nafas lega. Maturnuwun, Gusti.

::

Bertiga kami duduk berdekatan. Lama saling diam. Degub jantung saya sangat acak. Saya terbiasa mendampingi anak-anak yang bermasalah. Mendengarkan semua keluh dan cerita sedih mereka dengan (sok) santun. Menenangkan mereka dengan (sok) bijak. Lalu berakhir dengan medapatkan ucapan terima kasih, pekukan dan tatap mata penuh harapan. Bertahun-tahun murid, mahasiswa dan para ibu percaya saya bisa menjadi tempat curhat yang baik.

Tapi sekarang? Di hadapan anak sendiri saya tidak berdaya, lungkrah dan merasa sangat tak berguna. Dua puluh satu tahun merasa mulus saja mendidik dua anak kami tanpa masalah berarti, selain bullying yang pernah mereka alami ketika SMA.

“Mas Lavy stress, Um…karena…”

Dia bicara panjang. Kami menyimak. Saya bersyukur, dia masih mau terbuka. Cara bicaranya masih runut dan sopan, meski beberapa pilihan katanya terkesan kasar. Sesekali saya mengajukan pertanyaan. Sebagian argumennya sudah saya duga, tapi ada bagian penjelasan yang membuat saya terpaku. Lantaran satu saran dari planet Pluto dia mengambil kesimpulan, “Melakukan hal yang tidak kita suka itu nggak enak. Jadi hindari. Lanjutkan skripsi sebisanya. Kalau nggak bisa, tinggalkan. Lulus nanti, coba jangan langsung S2. Santai saja 2 tahunan, sambil belajar organisasi atau ikut LSM. Nggak usah mondok lagi…”

Gaes, apa nggak nging-nging telinga saya mendengarnya? Perut saya mendadak ngik-ngok seperti ada puluhan lebah terbang mbengung didalam usus. Nggak langsung S2 mah sangat tidak apa-apa, Nak. Wong sejak awal saya nggak punya tuntutan ndakik. Tapi mireng cita-cita mau nganggur atau akan ikut LSM apa, membuat saya kuwaget sampai seperempat semaput.

Saya yakin dia begini bukan karena siapa-siapa. Satu dua sebab yang disampaikan, tidak bisa dijadikan alasan pasti. Dia sedang berada pada waktu dan masalah yang membuatnya ingin melawan arus, miber atau menghilang. Dia sedang kesulitan menghadapi dirinya sendiri dan mengendalikan semua kesulitan yang membekapnya. Dia sedang merasa sangat jenuh, bosan akut dengan rutinitas. Ditambah kondisi pandemi yang membuatnya harus ndekem tanpa bisa bertemu teman dan guru, tidak bisa berorganisasi, mencari berita untuk bahan tulisan dan refreshing. Pernah mendapat masalah di satu mata kuliah, skripsi yang sudah 80 persen tertata harus bongkar ulang. Dan banyak cerita sedih lainnya. Beruntung dia tidak lari ke tempat yang salah. Beruntung dia tidak melampiaskan keruwetan dengan cara tak tepat. Alhamdulillah dia tidak menyakiti siapapun terutama dirinya sendiri.

Kami terus mendengarnya. Diantara rasa kecewa, sedih dan embuh, saya sempat ingin teriak. Tapi saya malu melihat ketenangannya matur padahal saya tahu dia sedang sangat tertekan. Sampai akhirnya dia minta saya bicara. Gemetar, saya menyampaikan, “Mohon maaf, Nak. Umy sudah tahu sekarang, apa yang Mas Lavy rasakan. Mohon maafkan Umy, adik Dany dan Aby jika kami pernah melakukan kesalahan yang tidak kami sadari. Mohon ridha ya, Nak,” saya mengambil tangannya. Salim. Sungkem pada lelaki yang lahir dari rahim saya ini, sambil terisak. Saya sangat merasa bersalah.

Dia berusaha menghindar. Saya tetap mencium punggung tangannya, “Mohon maafkan kami ya, Nak. Sekarang apa yang Mas Lavy inginkan, Nak?”

Spontan tangisnya pecah. Dia memeluk saya, erat. Tak ada kata-kata. Hanya air mata.

::

Sebulan berlalu. Waktu yang sangat panjang untuk saya introspeksi dan menyadari kesalahan-kesalahan saya. Selama ini saya sangat kemenyek merasa tahu beberapa hal tentang parenting, padahal ya mbuwak byug ketika kesentil begini. Sebulan, kesempatan yang luar biasa untuk menunjukkan rasa cinta pada permata hati ini dengan cara yang dia mau. Membiarkannya begadang dan tidur usai subuh, mengantarkan makan untuk buka puasa ke kamarnya. Tidak mengingatkan mandi, apalagi memperbaiki skripsi. Pokok berusaha terus tersenyum. Tiap melihat kamarnya yang gelap dan berantakan, buru-buru saya berdoa, “Gusti Allah, dalem ridla pada anak dalem. Mohon anugrahkan kesehatan, keselamatan, umur yang panjang dan keberkahan berlimpah.” Lalu fatihah dan shalawat.

::

“Boleh kami tidur bareng Umy malam ini?” suatu saat dia meminta. Wuah dengan senang hati, Nak. Damai banget rasanya.

Saya hendak pamitan. Ternyata ada PPKM. Jujur, saya seneng. Mundur. Eh PPKM lagi. Nekad aja, alhamdulillah sudah dapat tiket pulang. Lega. Beberapa hari lagi saya meninggalkan Malang, alhamdulillah pagi tadi sempat memberikan kejutan kecil tepat di 22 tahun usianya.

Selamat ulang tahun, Mas Lavy El Harisy. Terima kasih untuk telah menjadi sahabat dan guru terbaik kami. Mugi selalu sehat dan berbahagia ya, Nak ❤️

  • Galunggung 12 Agustus 2021 –

📷 Usai kami vaksin kedua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *