Penulis: Ning Evi Ghozaly
Malam Senin lalu, di pool Damri sebelah stasiun Bandar Lampung. Mas Lavy menawari saya naik bis, “Umi mau lihat tempat duduknya? Bagus lho. Terima kasih sudah membelikan Mas tiket ke Jakarta nggih, Um.”
Saya tertawa. Tiga hari sebelumnya, anak sulung ini yang membelikan saya tiket Semarang-Jakarta dan Jakarta-Lampung, dengan uangnya. Tentu, harganya berkali lipat dari tiket yang saya belikan untuknya. Saya yang harus berterima kasih pada panjenengan, Nak.
Saya dituntun naik.Tumben, biasanya kami hanya dadah-dadah dari bawah. Abi mengikuti dari belakang. Kursi nomer 12-A. Meletakkan tas, duduk sebentar, lalu berdiri menuju kami yang berdiri di lorong.
Salim, kemudian dia memeluk saya. Sangat erat. Sambil berbisik, “Umi jangan sedih lagi ya. Umi cahaya rumah kita. Kalau Umi sedih, cahaya rumah redup. Kalau Umi lelah, istirahat nggih. Kalau ada beban, harus berbagi. Ada Allah, ada Abi, ada Mas dan Adik. Mas anak pertama Umi, insyaAllah bisa diandalkan.”
Mak gleger. Ternyata ini yang ingin dia katakan, sampai agak memaksa saya naik bis. Tiba-tiba tenggorokan saya terasa aneh. Sekedar menelan ludah aja rasanya sulit. Perut saya seperti dipenuhi kupu-kupu yang terbang ngalor ngidul. Saya kesulitan menahan haru. Semendal banget, sampe pengin mewek. Terima kasih, Nak. Terima kasih.
::
Memang, sehari sebelumnya kami bicara bertiga. Usai makan malam, saya mengeluh panjaaang hingga menangis misek-misek. Dua anak asuh kami membuat masalah besar yang hingga membuat kami malu dan merasa sangat bersalah. Yang terakhir bahkan sampai harus DO dari kuliahnya. Saya sampai urung ke Malang dan Jember. Usai kegiatan di Semarang dan Jakarta, balik ke Lampung buru-buru, diantar anak lanang ini.
“Umi merasa gagal, Nak,” saya seperti mengawang. Mas Lavy menggenggam tangan saya, “Tapi insyaAllah Umi tidak gagal mendidik anak-anak asuh lain. Umi tidak gagal mendidik sekian murid dan santri. Dan yang terpenting biidznillah, Umi berhasil mendidik kami, Mas dan Adik.” Pinter banget tho Le kalau menghibur.
Saya menceritakan masalah lain. Masalah a, b, c. Masalah di sini dan di sana. Malam itu Abi lebih banyak diam, hanya sesekali menambah keterangan. Kami memang memutuskan untuk pelan-pelan menceritakan masalah rumah pada Mas Lavy. Atas permintaannya, berkali-kali, “Mas sudah wisuda, sudah bekerja. InsyaAllah Mas sudah dewasa. Ijinkan Mas tahu apa yang selama ini tidak nampak. Ijinkan Mas mengerti masalah keluarga. Apa yang bisa Mas bantu, Abi, Umi? Jika kenyataannya semua aman seperti yang selama ini Mas saksikan, minimal Mas bisa belajar. Kelak saat sudah berumah tangga, Mas tahu bagaimana menganalisa masalah dan mencari jalan keluar…”
::
Leres. Kadang kita lupa ya, anak-anak-anak kita tuh sangat peka. Tanpa kita cerita, ternyata mereka tahu kalau orang tuanya sedang berduka. Tanpa kita berkata, anak-anak paham ada masalah diantara bapak ibunya. Bersyukur jika ternyata masalah itu hadir lantaran orang luar, bukan karena konflik dari dalam. Tapi tetap butuh penyelesaian kan?
“Mohon maaf Abi, Umi, selama ini Mas belum bisa banyak membantu. Tapi Mas janji akan sering pulang. Ada banyak hal yang harus Mas ketahui, terutama yang nanti akan menjadi tanggung jawab Mas sebagai anak pertama. Umi semangat ya, banyak bersyukur yuk,” tegas dia berkata, setelah sekian puluh menit hanya menunduk tadzim. Mendengar, menyimak.
::
Sampai rumah saya ngengleng. Betapa banyak karunia Gusti Allah yang sering lalai saya hidmati, hanya karena fokus pada masalah yang sebetulnya bisa legowo dihadapi. Alhamdulillah, ternyata rizki tak semata berupa materi, tapi bisa mewujud anak yang penuh kasih dan peduli.
Jadi Gaes, kalau selama sekian tahun ini saya oyong-oyong tema Mendidik Dengan Cinta, sesungguhnya saya yang tukang sambat inilah yang harus -banyak bersyukur karena masih diberi kesempatan oleh Allah- dididik anak-anak saya. Dengan cinta.
.
- Manpuku, 18.10.2022 –
.
📷 Besok ya, untuk guru TK sampai SD, RA hingga MI. Di SMK Maarif Kota Gajah. Bismillah.
Comments