Artikel

FILOSOFI SEPASANG SANDAL

0

Oleh: Dr. Fawaizul Umam, M. Ag

Setiap kali ada santri menikah, saya selalu teringat sandal. Terkait kebiasaan ghashab di pesantren, sandal adalah salah satu penguji kedisiplinan santri. Namun, bukan itu yang membuat saya teringat, melainkan makna folosofisnya. Kepada setiap santri yang bersiap menikah, saya acap membekali mereka filosofi tentang sepasang sandal.
Sandal hanya dianggap berguna jika berpasangan. Ada sandal untuk kaki kanan dan ada pula untuk kaki kiri, lengkap. Kalau hanya sebelah, kanan atau kiri saja, tentu sandal tidak bisa disebut sepasang dan seketika itu juga ia kehilangan fungsi sebagai alas kaki. Lucu dan aneh saja jika ada orang berjalan mengenakan sandal cuma sebelah, betapapun sandalnya berharga mahal atau berkualitas nomor wahid.
Demikian juga dengan lelaki dan perempuan. Mereka akan dianggap berguna, minimal sebagai makhluq reproduktif, hanya jika menyatukan diri menjadi sepasang atau pasangan. Saat membentuk pasangan, mereka pun disebut sepasang mempelai atau pasangan pengantin. Saat itulah mereka memulai salah satu fase penting bagi kebermaknaan hidup mereka. Karena itu, pilihan santri untuk menikah adalah niscaya untuk memfungsikan kemanusiaan diri mulai dari level paling elementer. Pernikahan adalah wahana halal dan terabsah untuk memanifestasikan “cinta Tuhan” melalui kehidupan rumah tangga.
Laksana sepasang sandal, begitulah harusnya santri menempuhi hidup baru sebagai sepasang pengantin. Setidaknya ada tiga ibarat yang patut dikhidmati. Pertama, sepasang sandal haruslah sama tujuan, sama-sama menghadap ke arah yang sama. Jika masing-masing sandal berbeda arah hadapnya pastilah bakal menyulitkan penggunanya. Kalau sandal sebelah kanan menghadap ke utara, sedangkan yang kiri menghadap ke selatan tentu mustahil bisa mengantar kaki sang pengguna melangkah ke arah tujuan.
Ketika bersepakat memulai hidup baru, setiap pasangan pengantin haruslah memiliki kesamaan niat dan tujuan. Hindari menjadikan hal-hal fana sebagai niat atau tujuan, seperti kecantikan, harta, jabatan, kepintaran, dan sejenisnya. Semua itu ada batas dan masanya. Seiring waktu, kecantikan atau kegantengan bakal memudar dan bisa dibayangkan bagaimana nasib pernikahan yang menjadikan keindahan fisikal itu sebagai niat atau tujuan.
Sandal sendiri bukan tujuan, ia hanya alat untuk mengantarkan penggunanya ke tujuan. Demikian juga pernikahan. Ia bukan tujuan. Cuma alat, sekedar media penghantar untuk menggapai tujuan hidup sesungguhnya, yakni ridla Allah Swt.
Itulah mengapa, bagi santri, niat dan tujuan terbaik ialah Allah Swt. Menikah selayaknya diniati sebagai ibadah sekaligus menjadikan ridla-Nya sebagai muara akhir dari segala tujuan. Percayalah, kebahagiaan cinta mengejawantah bukan karena suami dan istri saling memandang, tapi karena keduanya memandang ke arah yang sama.
Kedua, sepasang sandal sepatutnya memiliki kesamaan model. Jika berbeda model, misalnya yang sebelah kanan sandal jepit, sedangkan yang kiri sandal atau sepatu model high-heels, tentu gaya jalan si pengguna bakal tak imbang, gronjalan. Kaki pasti cepat lelah dan kesakitan. Berselisih warna dan motif saja menggelikan, apalagi berbeda model seperti itu pasti ditertawakan orang.
Demikian jugalah dalam pernikahan. Setiap pasangan sebisa dan sebanyak mungkin memiliki kesamaan dalam berbagai hal, seperti status sosial, level moral, taraf ekonomi, dan juga soal fisikal. Kalaupun berbeda, sedikit saja. Jangan kelewat senjang, jangan terlalu jomplang. Taruh misal, si perempuan lulusan S3, sedangkan si lelaki buta huruf, lulus SD saja tidak, tentu ini terlalu jomplang.
Kurang-lebih begitulah prinsip kafaah dalam pernikahan ala Islam. Pasangan hendaknya sekufuk, setara. Memang tidak termasuk rukun dan syarat sahnya akad nikah serta secara fiqhiyah lebih merupakan hak perempuan dan walinya (Zakariya al-Anshori, Fathul Wahhab bi Syarh Minhaj al-Thullab, Juz II, hal. 47), tetapi itu sangat dianjurkan agar kedua pasangan selalu percaya diri dan nyaman dalam merawat mahligai pernikahan.
Demikian juga soal keindahan inderawi, sebisa mungkin tidak terlalu berbeda. Bahkan, mengutip Sayyid Muhammad Syatho dalam kitabnya, Hasyiyah I’anah al-Thalibin (Juz III hal. 270), dimakruhkan menikahi perempuan terlalu cantik. Terlebih jika kita tidak terbilang ganteng. Rawan fitnah. Nanti orang bilang kita main dukun. Sebaliknya, jangan terlalu jelek, nanti membuat kita minder mendatangi kondangan bersama pasangan.
Terkait soal kesetaraan, sejauh menyangkut hal-hal non-inderawi dari pasangan, santri sendiri tidak perlu cemas atau apalagi takut. Yang perlu dilakukan setiap santri hanyalah terus berproses memantaskan diri, menjadi pribadi terbaik agar pantas dijodohkan Allah Swt. dengan sosok terbaik pula. Bukankah Ia sudah menggaransi bahwa perempuan baik hanya untuk lelaki yang baik, demikian juga sebaliknya (Qs. 24: 26)?
Ketiga, setiap belahan sandal memiliki fungsi masing-masing. Sandal sebelah kanan untuk digunakan kaki kanan, sementara yang kiri khusus dikenakan kaki kiri. Jangan sampai tertukar. Selain tak elok, juga menyulitkan kaki mengatur irama langkah. Masing-masing belahan sandal punya peran dan fungsi sendiri. Tak perlu saling meremehkan. Sandal kanan, misalnya, tak perlu bangga diri seraya mengolok sandal kiri hanya karena kaki kanan disunnahkan melangkah lebih dulu saat memasuki masjid dibanding kaki kiri.
Seperti itu jugalah seyogyanya pasangan suami-istri berbagi peran. Harus paham hak dan kewajiban masing-masing. Sejauh merupakan hasil konstruksi sosial (gender), detail hak dan kewajiban bisa dipertukarkan antara suami dan istri, negotiable menyesuaikan kebutuhan. Yang terpenting ialah keduanya saling menghormati peran sembari memaklumi jika terjumpai kekurangan, tidak saling menegasikan. Ketahuilah, tidak ada pasangan yang sungguh lengkap paripurna. Yang bisa dilakukan setiap pasangan hanyalah berusaha untuk saling melengkapi dan menyempurnakan.
Akhirnya, sempurnakanlah kebahagian dengan memenuhi tiga kebutuhan dasar yang terefleksi pada tiga suku kata pada kata “pa-sa-ngan”, yaitu pa (papan, rumah), sa (sandang, pakaian), dan ngan (pangan, makanan). Setiap pasangan hendaklah berikhtiar memenuhinya. Keluasan cinta memang tak terukur. Namun, ia mempunyai indikator. Dan keseriusan plus ketulusan dalam berikhtiar bisa mengindikasikan bahwa cinta itu nyata.[]

*)Wakil Pengasuh/Ketua I YPP Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi

KERINDUAN YANG TELAH TEROBATI

Previous article

NGE-HOST

Next article

You may also like

Comments

Comments are closed.

More in Artikel