Oleh: Ning Evi Ghozaly
Selasa, 10 Desember 2019. Di bandara Soekarno Hatta, ruang tunggu gate 26.
Seorang lelaki menuntun istrinya. Tertatih. Dibantu duduk, kemudian kesulitan berbaring. Saya berdiri, mencoba membantunya.
“Bapak, ibu. Saya Evi, dari Lampung. Saya lihat ibu ingin berbaring. Boleh saya membantu?”
Sang suami tersenyum, “Terima kasih, ibu”.
Istrinya melengos. Tangan saya ditepis, kasar. “Tidak. Ayah saja”. Mukanya masam. Terlihat jelas sangat kesal. Saya mundur. Selangkah. Sang suami menata bantal. Kembali memegang pundak dan kaki. “Augh, sakit”, teriak istri.
Sang suami menoleh, menatap saya. Saya maju lagi.
“Permisi ibu, boleh ya saya membantu sebentar, setelah itu saya akan pergi”. Diam. Saya membantu mengangkat kakinya, pelahan. Berhasil.
“Ibu sakit kanker. Ini habis disinar di Darmais. Kami dari Aceh. Mau kembali pulang….”, sang suami bercerita tanpa saya tanya.
“Sudah, diam. Ini sakit”, istrinya menjerit. Terburu saya meletakkan jari telunjuk di bibir. Memberi isyarah agar tak melanjutkan cerita. Kemudian saya katupkan kedua tangan di dada, dan saya pamit mundur. Kembali ke kursi di seberang.
“Ning Evi ini memang sukanya nyari kerjaan ya. Tuh kan jadi dimarah. Kapok”, komentar seorang teman asal Lampung, kami berangkat dari dan menuju kota yang sama.
::
Nyari kerjaan? Mohon maaf, saya tak pernah tega melihat dan mendengar orang sedang kesusahan. Tak tahan. Minimal saya bisa menjadi pendengar, atau membantu mendoakan. Apakah ini pencitraan? Terserah yang menilai, saya tak peduli.
Kapok ditolak? Untuk menolong, rasanya tidak. Saya justru penasaran.
Saya menatap mereka berdua dari balik buku yang sedang saya baca. Cie membaca buku. Untuk menyembunyikan muka saja sih. Kalau sedang tak ada tujuan mengamati agar tak kentara, saya lebih suka menatap layar hape 😜
Sekian menit kemudian sang suami mendekati saya, “Mohon maaf ibu, istri saya ingin bertemu ibu”.
Saya menghampirinya. Tersenyum, semanis yang saya bisa. Duduk di sebelahnya. Saya menatap mata sendu yang bolanya terus bergerak tak beraturan. Bibirnya gemetar. Susah payah mulai bertutur, “Saya sakit. Saya lelah. Saya marah. Saya mau mati saja”.
Ada luka dalam getar suaranya. Ada putus asa mengalir dalam tiap kalimat pendeknya.
Saya menyimak, memiringkan badan. Seperti biasa ketika mendengar siapapun yang sedang curhat, tangan kiri saya mengelus pundak kanannya. Tangan kanan saya mengusap punggung tangan kanannya. Mengangguk pelan.
“Anak saya dua. Sulung SMP kelas dua. Bungsu umur lima tahun. Saya sudah berkali-kali kemo. Sekarang sudah menjalar hingga ke tulang belakang. Mata saya juga entah sekarang. Kadang saya berpikir, kalau Tuhan masih kasih saya sakit ini, saya mau mati saja. Sakiiit, sangat”.
Saya mengangguk lagi. Terus menyimak ceritanya, hingga tuntas.
“Ibu, mengapa tak marah saat saya bentak tadi?”
Hati-hati saya menjawab, “Karena saya pernah merasakan hal yang sama, sekian tahun silam. Menanggung rasa sakit tak terkira, lalu berdoa ya Allah, kalau Engkau mau saya hidup, sembuhkan saya. Jika masih sakit begini, saya mau mati saja”.
“Lalu, mengapa ibu tak bicara sepatah kata pun tadi?”
Saya tersenyum, “Bukankah saat seperti ini kita tak butuh nasehat, kalimat hiburan atau kata-kata penguat. Bukankah pada saat seperti ini kita hanya butuh didengar. Saat seperti ini, kita butuh cinta tak semata lewat kata, kan? Bukankah saat seperti ini, kita butuh pelukan saja, kan?”
Spontan perempuan cantik itu memeluk saya. Tangisnya pecah. Isaknya menyayat. Perih 😢
::
Ya, kita tak pernah benar-benar tahu apa alasan di balik perilaku atau keputusan yang diambil orang lain. Apalagi jika itu masalah pribadi.
Seorang tokoh yang memutuskan berpoligami, seorang perempuan yang memutuskan menjadi istri kedua, seorang sahabat yang tiba-tiba menjauh, seorang panutan yang bercerai, seorang teman yang tiba-tiba sangat dekat dengan yang baru ditemui dan kemudian sering curhat, seorang anak yang memutuskan tak pulang sekian lama, seorang yang sakit “memaki” Tuhan, seorang ibu yang mengabaikan putranya, seorang ayah yang marah hingga melempar kursi pada putrinya.
Hm. Itu semua contoh kasus yang bakal mengundang cacian, kan? Masih banyak contoh lain, yang jika terupload di medsos, dijamin akan menuai kecaman. Hujatan tak berkesudahan.
Apa yang kita rasakan ketika kemudian salah satu di antara mereka menemui kita, bercerita alasannya, memaparkan latar belakang mereka melakukan itu semua? Apa yang akan kita lakukan jika ternyata kita telah salah menduga, kemudian kita justru merasa iba pada mereka?
Sejak sekian tahun lalu, nyaris setiap hari saya mendengar keluh kesakitan. Melihat air mata berderai. Menatap kilat amarah. Menyimak luka.
Kadang saya merasa lelah. Bosan. Namun, tiap itu pula, ada teguran sayang dariNYA. Macam-macam caranya. Sampai akhirnya saya pasrah. Eh, apa benar sih DIA menegur saya? Jangan-jangan saya aja yang geer 🙈
::
Tak ada yang tiba-tiba. Tak ada yang sia-sia. Jalani saja semua. Segala hal dalam genggamanNYA. Semua terjadi atas kehendakNYA.
Sekarang, sebelum merasa lelah, rutin saya ziarah Abah Umy. Sowan para kyai. Bertemu para sumber ilmu dan kearifan yang padanya saya bisa bercerita apa saja tanpa suara, tanpa tulisan. Yang hanya dengan menatap ujung astanya, keteduhan mengalir di kepala. Yang dengan mendengar doa-doanya, seakan semua resah meluruh.
(Mengapa mesti mencari keluar? Bukankah kebahagiaan ada di hati? Sak karepmu, Gaes)
Bertemu para santri yang hari-harinya penuh rasa syukur. Bertemu para Bu Nyai yang tak pernah lelah mengayomi semua. Bertemu para guru yang tak henti berbagi pada seluruh murid meski banyak keterbatasan. Tentu saja, perjalanan saya atas ridlo suami, atas seijin anak-anak dan keluarga besar.
Lalu, apakah dengan begitu semua masalah saya selesai? Tentu tidak. Tapi, rasanya kok jadi imbang lho. Ringan gitu. Sudah, begitu saja. Kalau belum lega juga, saya akan terbang ke Venus haha. Sekian.
Perhatian: tulisan ini mengandung curhat. Saya sedang agak lelah, makanya wadul. Tapi biasanya tak lama kok. Setelah dapat pelukan dari suami, anak-anak dan sahabat…siap melompat lagi. Bismillah. 😅🤭
- Venus, 12.12.2019 –
Comments