Risalah Cinta Ning Evi Ghozaly

HAPUSKAN SISTEM RANKING

0

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Beberapa hari ini ada video viral tentang seorang ibu yang memarahi putrinya hanya karena mendapatkan rangking tiga. Sekian detik saja saya menontonnya. Tutup, saya nggak tahan. Dua hari kemudian, saya melihat lagi. Sambil tangan saya terus memegang dada kiri, meredakan degub yang acak. Berkali saya ngepause, lalu menarik nafas panjang.

Saya bersedih, sungguh. Seorang anak kecil tak berdaya mendengar cacian, dibandingkan dengan temannya, dimaki, dan diancam. Teganya, kejadian itu direkam. Dan semua dilakukan oleh ibunya.

Betapa terlukanya hati sang anak. Saya tak bisa membayangkan trauma yang dialaminya kelak. Terlebih setelah rekaman ini tersebar luas, dengan komentar beragam. Hujatan pada ibunya, tuduhan bahwa ibunya sakit jiwa, dan segala analisa bertabur.

::

Bahwa ibunya salah, iya. Tapi ada banyak hal yang menjadi penyebab. Salah satunya adalah sistem ranking di sekolah.

Mohon maaf, apa sih sebetulnya manfaat ranking bagi kehidupan? Apakah anak yang saat sekolah selalu mendapat ranking satu, pasti hidupnya sukses, karirnya cemerlang? Tradisi juara-juaraan begini, apa bisa memastikan anak bahagia?

Justru sebaliknya lho. Sering saya bertemu dengan anak depresi karena tuntutan orangtua agar mendapat nilai sempurna. Setiap hari murung, terkadang gedhubrakan seperti dikejar entah apa.

Di kelas, anak dengan kasus ini biasanya sangat tidak enjoy. Nggak asyik. Apalagi kalau ada pengumuman akan ada tes harian. Langsung pucet. Ke mana-mana bawa buku. Jarang berinteraksi dengan teman. Jam istirahat pun tak mau ke kantin.

Pas hari H, amboi banget. Duduk dengan gelisah. Lirak lirik, noleh kanan kiri. Usai tes, gelisah menunggu hasil. Begitu nilai dibagikan, nanya kanan kiri. Jika ada teman yang nilainya lebih tinggi, langsung lemes. Teman yang nilainya lebih tinggi itu, akan dimusuhi. Demikian seterusnya. Padahal di sekolah kami tak ada sistem ranking lho. Bagaimana jika anak-anak dengan orangtua seperti itu belajar di sekolah yang memberlakukan ranking?

::

Menjadi cerdas memang bagus, tapi hidup berbahagia sangat penting. Syukur jika keduanya seimbang. Jika tidak, saya berani mengatakan bahwa utamakan kebahagiaan anak kita.

Maka sungguh, meniadakan sistem ranking jauh lebih bermanfaat. Sebab, semua anak istimewa, semua anak bintang. Mungkin seorang anak tidak berprestasi di bidang akademik, tapi sangat mungkin dia memiliki bakat lain yang bersinar. Tak semua anak pandai matematika, tapi bisa jadi dia jago menulis cerpen. Seorang anak lain kesulitan memahami pelajaran sains, tapi nilai pelajaran olah raganya keren banget.

Tak masalah. Toh ada delapan kecerdasan majemuk ya: visual spasial, bahasa, kinestetik, matematika logika, musikal, intra personal, interpersonal, dan natural. Jarang seorang anak memiliki kecerdasan dominan lebih dari tiga. Mendampingi anak agar terus semangat memaksimalkan semua potensinya akan jauh lebih baik dari sekedar ngoyo mengejar angka-angka.

::

Lalu, anak kita akan jadi apa nanti? Anak kita santai banget donk, nggak akan bisa berkompetisi donk? Ah, enggak juga.

Ada banyak cara untuk membuat anak mengenal konsep diri, tahu cita-citanya. Paham bagaimana untuk meraihnya, bisa memetakan hambatan, tantangan dan harapan hidupnya. Dan ini bisa dilakukan oleh semua guru di sekolah. Tentu saja sekolah harus bekerja sama dengan orangtua.

Maka penjelasan pada orangtua perlu disampaikan sejak awal, agar saat penerimaan rapor tak ada lagi pertanyaan, “Anak saya ranking berapa?”

Di sekolah kami, setiap penerimaan rapor bertabur tanda penghargaan. Berupa pin dan piagam. Misalnya, ananda A sangat peduli, memiliki kemampuan memimpin dan cerdas kinestetik. Penghargaan ini dilengkapi dengan portofolio dan hasil penilaian terukur. Jadi kekuatan karakter setiap anak dimunculkan lebih dahulu, sebelum guru menarasikan kemampuan akademik.

Tetap ada kok momen ketika anak belajar berkompetisi. Tapi konsep berprestasi di bidang yang diminati juga sangat ditekankan. Ya, anak perlu belajar bersanding. Bukan hanya bersaing kan? Menjadi yang terbaik penting, tapi bahagia juga harus kan?

::

Pekan lalu seorang ibu meminta waktu konsultasi pada saya, bersama seorang putranya yang kelas 8. Begitu duduk di depan saya, sang ibu bercerita terbata. Tentang putra semata wayangnya yang depresi. Rapor dilempar sang ayah ke mukanya karena anak hanya mendapat peringkat empat di kelas. Anak ditampar, dijambak, bahkan sempat diinjak.

Kemudian saya mendekati anak ganteng itu, mengusap punggung tangannya, “Apa yang engkau rasakan sekarang, Nak? Apa yang engkau inginkan, sayang?

Wajahnya tegang. Matanya berkilat, “Saya benci sekolah, Um. Saya benci ayah saya. Saya mau mati saja”. Sekian detik kemudian dia menutup muka dengan kedua tangannya. Tubuhnya berguncang. Tangisnya pecah. Menyayat.

Jadi, salahkah jika pagi ini saya memohon pada semua sekolah, “Tolong, hapuskan sistem ranking. Sekarang juga”.

::

  • Ditulis dalam bus, dalam perjalanan menuju lereng Gunung Merapi, dalam suasana hati yang entah, 17.12.2019-

WORKSHOP EXCELLENT

Previous article

KEBAIKAN ITU ABADI

Next article

You may also like

Comments

Comments are closed.