Penulis: Ning Evi Ghozaly
Cak Nun pernah membuat kategori manusia berdasarkan manfaat diri bagi orang lain. Yang pertama ialah manusia wajib, yakni seseorang yang kehadirannya sangat dibutuhkan karena dapat memberikan manfaat bagi orang banyak. Orang seperti ini selalu dicintai banyak manusia karena kepeduliannya pada sesama, mampu memberikan pengaruh yang baik, dan selalu ingin memberi manfaat bagi sekitar.
Kedua, manusia sunnah, yakni seseorang yang kehadirannya mampu memberi manfaat, tetapi jika dia tak ada, ia tidak berpengaruh banyak pada lingkungan. Orang lain tidak merasa kehilangan dan tidak banyak yang mencari tahu mengapa dia tidak ada.
Ketiga, manusia mubah. Seseorang yang ada dan tiadanya tidak memberikan manfaat pada sesama. Seseorang yang ketika hadir atau absen sama sekali tidak berpengaruh pada apapun.
Keempat, manusia makruh. Seseorang yang ketika tak hadir, tidak memberikan pengaruh apapun. Namun, jika seseorang itu ada, bisa jadi justru membawa masalah. Seseorang yang kehadirannya bukan hanya membuat orang lain merasa tidak nyaman, tapi juga bisa menyakiti orang lain.
Kelima, manusia haram, yaitu seseorang yang keberadaannya dianggap akan menjadi musibah bagi orang lain.
::
Siapa saja manusia mulia itu? Di mana kita mendapatkan contoh orang baik yang selalu membaikkan?
Pertanyaan ini mendapat jawaban tiap saya melakukan perjalanan sowan guru kyai. Betapa guru mulia selalu mengalirkan keteduhan tiada tara. Diamnya saja membuat kita merasa damai. Lisannya selalu melafalkan kalimat baik dan membaikkan. Perilakunya mampu dijadikan teladan. Doa berkahnya selalu ditunggu dan diharap umat.
Sebuah rizqi buat saya, dalam perjalanan bulan ini saya bisa bertemu banyak guru, bahkan semalam diperkenankan Gusti Allah sowan Gus Mus dan Gus Baha’ sekaligus. Menyimak semua ngendikan dan caranya menemui saya yang hanya remahan rengginang ini, sungguh membuat klakep. Sumber mata air yang beningnya tiada tara. Sebagaimana Gus Dur, Yai Maimoen Zubair, Habib Luthfi, Abah Masduqi Mahfudz, Abah Basori Alwi, Romokyai Mannan, Kyai Kafabih Mahrus, dan guru kyai lain yang saya kagumi.
Pada beliau semua ini, kita bisa mengadukan semua masalah kita tanpa harus bercerita dengan cara apapun. Ilmu dan hikmah lantaran beliau, bersinar padang dalam sunyi, tanpa suara. Di hadapan beliau semua, kita bisa otomatis merunduk serendah mungkin, meski segala label beliau dilepas tanpa sisa. Maka, sungguh, bukan hanya saat hidupnya, bahkan ketika telah meninggalkan dunia pun, kemuliaan beliau semua masih terus mewangi. Abadi.
::
Lalu, apakah kita bisa menjadi manusia bermanfaat? Bisakah kita menjadi orang yang selalu dicintai oleh sesama?
Bulan lalu saya mengikuti haflah di pondok pesantren Miftahul Ulum Bengkak Banyuwangi, salah satu lembaga dengan 11 unit satuan pendidikan, yang rutin saya kunjungi. Seribu lebih jamaah berbondong hadir dari berbagai daerah. Petani, pedagang, guru, santri, semua tumbleg bleg duduk sejajar di atas tikar, menyimak ngendikan para kyai.
Saya sempat bertemu dengan seorang bapak sepuh dari kecamatan terdekat. Telah sebelas tahun beliau menjadi penjaga makam. Tiap pagi menyapu bersih seluruh tanah sekitar makam, memangkas ranting kamboja yang mengering, mencabut rumput yang telah meninggi. Sering beliau bertemu dengan keluarga yang meminta untuk membersamai berdoa atau merapikan kijing nisan.
Saya tertegun. Ah, pasti akan banyak orang yang merasa kehilangan bapak ini kelak jika beliau tiada.
Sebagaimana satpam dan tukang kebun sekolah yang tiap pagi uluk salam menyapa kita atau teman baik yang rutin menanyakan kabar lewat WA dan diam-diam mendoakan kita.
Seperti sahabat yang kadang terkesan cuek tapi selalu ada kapanpun kita butuhkan, atau kenalan baru di efbi yang ketika membaca status kita tentang sekolah atau pesantren pelosok tiba-tiba bertanya, “Ada yang bisa saya bantu?”
Dan tak lama kemudian datang buku dan lemari untuk perpustakaan santri. Karpet, kipas angin, juga kesediaan menjadi anak asuh bagi santri tak mampu. Semuanya dilakukan diam-diam dengan pesan, “Jangan sebut nama saya ya, tak perlu mengucapkan terima kasih di medsos”.
Allah karim. Ternyata masih banyak manusia mulia di sekitar kita. Yang kehadirannya selalu memberi arti. Yang tidak adanya senantiasa kita rindukan. Yang kepergiannya membuat kita sangat kehilangan dan berduka.
::
Maka, sungguh, tak perlu menjadi apa-apa agar kita menjadi manusia yang dicinta sesama. Tak harus memiliki pangkat dan titel agar kita bisa menebar manfaat. Cukup berbuat baik semaksimal yang kita bisa, setiap saat, pada siapa pun.
Karena kebaikan itu abadi.
- Rembang, 20.12.2019 –
Comments