Haul XII KH Achmad Djazari Marzuqi, FIGUR SABAR DAN MENGAYOMI
Penulis: Fawaizul Umam*)
Haul XII KH Achmad Djazari Marzuqi, Pengasuh I YPP Miftahul Ulum, tahun ini (Jumat, 20 November 2020/5 Rabi’ul Akhir 1442 H) terasa istimewa. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, di sela rangkaian acara haul biasa diadakan penyampaian manaqib guna mengenang Almarhum oleh orang-orang yang pernah hidup sezaman dengan beliau. Untuk Haul kali ini, Ust. Satrai, salah seorang alumnus, santri senior sekaligus guru pertama di MU hadir dan diminta memberi kesaksian tentang dinamika kehidupan beliau semasa hidup, khususnya sejak merintis pesantren dan dakwah pada tahun 1960an di Desa Bengkak.
Ustadz Satrai menyampaikan kesaksiannya dalam dua kesempatan, yakni (1) saat acara Haul di hadapan para santri, asatidz, pengurus pesantren, juga beberapa alumni dan (2) usai acara Haul dalam momen ramah-tamah di hadapan Pengasuh II YPP Miftahul Ulum beserta majelis keluarga. Banyak hal yang ia sampaikan, mulai dari perjuangan Kiai Djazari merintis pesantren, kronika kehidupan keluarganya, hingga menjelang kewafatannya pada 2009. Tak lupa ia juga menyelipkan sejumlah dawuh sarat hikmah yang ia dapat dari Kiai Djazari selama hidupnya.
Mengutip Ust. Satrai, Kiai Djazari hadir merintis dakwah di Bengkak berdasar restu sekaligus penunjukan sang guru, yakni Almaghfurlah KHR. As’ad Syamsul Arifin, Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo. Berbekal surat dari Kiai As’ad untuk Kiai Zaini, salah seorang kiai sepuh di Bengkak, beliau pun datang menginjakkan kaki pertama kali ke desa ini pada tahun 1963. Isi surat ialah perintah agar Kiai Zaini mendukung kiprah dakwah sang santri muda sekaligus menikahkannya dengan seorang gadis putri Kiai Sabura bernama Siti Romlah; Kiai Sabura sendiri adalah santri alumnus Sukorejo. Segera setelah menikah pada 26 Oktober 1963, beliau mendirikan langgar kecil untuk mengajar ngaji anak-anak sekitar. Dan Ust. Satrai adalah salah satu dari santri periode awal ini.
Kehidupan rumah tangga Kiai Djazari sangatlah sederhana. “Sering kekurangan, tetapi beliau tidak pernah mengeluh menyangkut kehidupan rumah tangganya,” cerita Ust. Satrai. Hari-hari pertama kehidupan rumah tangga dimulai dengan membantu ngarit, menyabit rumput, untuk memberi makan ternak peliharaan mertua. Tanganya sering terlihat terluka karena tidak bisa ngarit. “Tapi beliau sangat sabar, tidak pernah mengeluh atau mamadul (mengadu) ke santri,” kata Ust. Satrai. Merasa tak enak dan kasihan, beberapa santri berinisiatif membantunya menyabit rumput.
Seiring waktu, keistiqomahan Kiai Djazari mengajar ngaji semakin mengundang banyak santri berdatangan. Dalam pada itu, Kiai As’ad mendapatkan tanah wakaf dari H. Fathor, dermawan terkaya di Bengkak, dengan lokasi tepat di seberang jalan depan rumah mertua beliau. Beliau kemudian ditunjuk oleh Kiai As’ad untuk memanfaatkan tanah wakaf tersebut dengan merintis pesantren. Berdirilah madrasah pertama jenjang Ibtidaiyah pada tahun 1964; ini adalah madrasah pertama di Bengkak. Dengan seijin Kiai As’ad, cikal-bakal pesantren ini beliau namai Miftahul Ulum.
Ust. Satrai mengaku menjadi santri awal yang diandalkan Kiai Djazari. Ia sering diminta mencari sumbangan dan membantu menjaga santri sekaligus mengajari mereka ngaji al-Qur’an. Saking percaya dan sayangnya, Kiai Djazari kerap menyebutnya “Sayyidina Umar”. Kalau lagi ngumpul dengan jamaah, lalu ia datang, Kiai Djazari sering memanggil untuk duduk di dekatnya dan meminta orang di sebelah agar memberinya tempat duduk. “Area tang Umar dateng, beri kenengan (Nah, ini sang Umar telah datang, tolong beri tempat),” ujar Ust. Satrai menirukan ucapan beliau, ucapan yang membanggakan dan semakin membuatnya menaruh hormat dan cinta pada Kiai Djazari.
Tentang diri Kiai Djazari, Ust Satrai mengenangnya sebagai sosok sabar dan mengayomi. Sabar menghadapi setiap rintangan dalam merintis pesantren dan bersikap mengayomi semua pihak demi kesuksesan ikhtiar dakwahnya. Tidak sedikit tantangan dan rintangan yang beliau hadapi, terutama dari masyarakat sekitar. Kata Ust. Satrai, masyarakat Bengkak dan sekitarnya pada tahun 1960an awal, sebelum dan sesudah Gestapu, banyak yang ngakunya saja beragama Islam, tetapi hidup keseharian mereka jauh dari tuntunan Islam; senang judi, main perempuan, mencuri dan merampok, lebih suka nonton ludruk daripada jumatan ke masjid, dan lain-lain.
“Perjuangan aroa paste bede rintangan. Mun mulus tak nemui rintangan berarti benni perjuangan (setiap perjuangan pasti menemui rintangan. Jika tanpa rintangan, berarti itu bukan perjuangan),” kata beliau dalam beberapa kesempatan sebagaimana ditirukan Ust. Satrai. Bahkan, kata Ust. Satrai, rintangan juga datang dari pihak-pihak yang tebilang tokoh agama. Hal inilah yang paling beliau rasakan sangat berat. Namun, beliau tidak pernah mengeluh. Hanya saja, setiap kali rintangan semakin membesar, biasanya beliau sowan ke Sukorejo, menemui sang guru, Kiai As’ad, untuk memohon doa. Setiap kali sowan, beliau nyaris selalu mengajak Ust. Satrai turut serta. “Sainganna oreng adegeng es aroa ya pasti degeng es kea. Aroa biasa, tak usah kenek ate (saingan pedagang es pasti pedagang es juga. Itu hal biasa, jadi kamu tidak usah berkecil hati),” begitu dawuh Kiai As’ad untuk membesarkan hati Kiai Djazari. Saat menceritakan berbagai rintangan dan betapa tabah dan sabarnya Kiai Djazari menghadapinya, beberapa kali Ust. Satrai tak kuasa menahan tangis. “Itu yang membuat saya sangat mencintai dan menghormati beliau,” ujarnya sembari mengusap air mata.
Selain itu, Kiai Djazari juga berupaya aktif mengayomi dengan merangkul segenap lapisan masyarakat tanpa kecuali, mulai kalangan tokoh agama hingga tokoh masyarakat, bahkan tokoh “bajingan”. Semua beliau dekati demi menyukseskan perjuangannya berdakwah dan merintis pesantren. Pendekatan bergaya mengayomi itu telah membuat dakwah beliau terbukti efektif. Rintangan dan tantangan kian mengecil. Sejauh ingatan Ust. Satrai, ada tak kurang 16 atau 17 tokoh masyarakat yang aktif pasang badan membantu Kiai Djazari merintis pesantren dan mengembangkan dakwah di masyarakat. “Mereka itu ramukna (akar) MU ini, para pelopor yang membantu perjuangan beliau,” ujar Ust. Satrai. Ia juga berpesan agar keluarga besar MU jangan sampai melupakan mereka. “Nyoon tolong (mohon), ingatlah mereka dengan selalu mengirimi mereka doa,” ujarnya berharap.
Belakangan, Ust. Satrai resmi dipercaya Kiai Djazari untuk menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah yang baru beberapa tahun berdiri. Adapun beliau sendiri lebih banyak mengajar masyarakat daripada mengajar murid/santri; mengajar murid sepenuhnya dipasrahkan kepada para guru. Saat itu kondisi madrasah sangat sederhana, jauh dari layak. Guru-guru yang mengajar juga tidak dibayar sepeser pun. Ada pitutur Kiai Djazari yang hingga kini diakuinya menancap dalam di hati, “Ngajer benni karna ebejer, tapi ebejer karna ngajar (mengajar bukan karena dibayar, tapi dibayar karena mengajar).”
Menurut Ust. Satrai, mengajar karena motivas honor itu niatnya salah, tak ada barokahnya. Tapi, tetaplah mengajar, tak peduli dihonor atau tidak, pasrahkan saja kepada Allah sang maha pemberi honor. Ia mengaku sudah membuktikan bahwa dawuh itu benar. Allah betul-betul mengurus langsung kebutuhannya gara-gara khidmah mengajar di MU meski sama sekali tidak dihonor kala itu. Ia pun berharap para guru serius mengabdi di MU dengan niat mengajar semata karena Allah, jangan karena motivasi dibayar. “Nanti jika tidak dibayar, males-malesan ngajar,” ujarnya memungkasi kesaksian.
Semoga Allah mempertemukan kita lagi dengan Haul KH Achmad Djazari Marzuqi di tahun depan.
*) Disarikan dari kesaksian lisan Ust. Satrai dan final draft buku biografi KH Achmad Djazari Marzuqi
*) Penulis adalah Wakil Pengasuh/Ketua I YPP Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi