Penulis: Ning Evi Ghozaly
Setiap saya mengisi materi kulwap parenting di Queenrides atau Nikah Institute, selalu ada pertanyaan, “Kapan sebaiknya anak masuk pesantren?”
Jujur, saya salut dan kagum pada orang tua yang berhasil menghantarkan anak-anak masuk pesantren. Ada yang sudah berangkat mondok sejak usia balita, ada yang lulus SD. Ada yang usai SMP berangkat ke pesantren, dan yang mentok, ada yang menunggu lulus SMA baru budhal.
Anak-anak kami termasuk yang terakhir, pisah dengan kami selepas SMA. Telat? Mungkin. Tapi bersama anak-anak, kami punya komitmen untuk terus menjaga kesantrian, sebisa mungkin. Bismillah, semampu kami, meski kadang dengan tertatih.
Ohya, tulisan ini hanya cerita pengalaman kami mendidik anak ya. Tidak bermaksud menilai orang lain atau memberi saran pada siapapun. Silakan diabaikan jika tulisan ini tak ada manfaatnya nggih.
:;
Ya. Setiap keluarga pasti punya visi masing-masing. Setiap pasangan suami istri, pasti punya rencana detail mau dibawa kemana rumah tangganya. Ingin anak seperti apa, dan pendidikan apa yang akan ditempuh. Semua rencana ini kami bicarakan tuntas di awal pernikahan. Sebelum kami punya anak.
Ada beberapa pertanyaan yang kami susun dan kami cari jawabannya bersama, sepekan setelah kami menikah. Diskusi ringan, sambil meneladani pola asuh orang tua dan mengambil contoh dari guru-guru kyai.
“Apakah kita ingin anak-anak kita nanti masuk pesantren?”
Fix. Sepakat, iya. Anak-anak harus menjadi santri, harus masuk pesantren.
“Apa sih tujuan kita memondokkan anak ke pesantren?”
Agar anak bisa sholat dengan baik dan benar. Agar bisa mengaji Al Quran dengan baik. Agar anak bisa Bahasa Arab, paham ilmu dasar akidah, akhlaq dan fiqh. Agar anak bisa mandiri sesuai usianya, dan paham unggah ungguh, tata krama pada Tuhan, alam dan sesama.
“Pada usia berapa anak-anak mengenal, menerapkan dan memahami semua ilmu itu?”
Usia 7 tahun harus sudah kenal ya. Tentu saja, mereka harus belajar dan mengaji dengan gembira. Memahami bertahap, menerapkannya satu persatu.
“Sae. Kalau begitu, andai kita bisa mendidik anak-anak dengan baik, andai kita dapat mengajarkan mereka berbagai ilmu itu, berarti anak-anak boleh tidak terburu mondok ke pesantren nggih?”
Boleh. Monggo. Dengan syarat a dan b ya.
::
Lalu kami melanjutkan diskusi tentang pendidikan anak di usia 7 tahun pertama dan 7 tahun kedua. Kebutuhan anak dalam hal materi dan non materi kami tritili sampai lembut. Ini yang utama, mendahulukan kebutuhan anak.
Anak butuh kasih sayang utuh dari kedua orang tua. Maka begitu punya anak, saya berhenti bekerja dan tidak beraktifitas di luar rumah. Berdua dengan suami, kami mendampingi anak. Bersama. Meski dalam beberapa hal kami tentu berbagi peran.
Intinya, sebagai orang tua kami menarget diri kami sendiri. Jika target telah terpenuhi, kami bisa menunda keberangkatan anak ke pesantren. Anak tak perlu tahu target kami, agar tak terbebani. Cukup dipahamkan, sering diajak diskusi.
::
Tentu saja kami tidak bisa sendiri. Kami membutuhkan bantuan banyak orang. Maka kami mencari sekolah yang membantu tercapainya harapan dan tujuan kami. Survey sekolah sangat panjang, ples istikharah dan tentu meminggirkan banyak kebutuhan lain. Saat anak-anak TK, gaji suami 800 ribu. Pas masuk SD, gaji sudah naik. Pelaaan naiknya, haha. Alhamdulillah. Bertahun-tahun kami kontrak rumah, bertahun-tahun tidak membeli baju baru, dan tidak pulang ke Malang. Pokoknya pendidikan anak nomer satu. Dana untuk lainnya, prihatin dulu ya.
Jadi, sekolah yang kami pilih harus yang memiliki kurikulum agama lengkap. Semua guru harus bisa jadi teladan. Lingkungan sekolah bagus. Anak-anak bisa belajar dengan riang. Yang penting itu, fasilitas sekolah mah nomer lima.
Sore, anak-anak mengaji di masjid dekat rumah. Yang saya ikut ngurusi dan mudah mengontrolnya. Malam, main sekolah-sekolahan dengan Abinya dan mengaji bersama saya.
“Eits, anak-anak tetap harus akrab dengan pesantren, kan?”
Nggih, sepakat. Maka kami mengenalkan pesantren sejak dini pada anak-anak. Secara berkala kami ajak anak-anak sowan kyai, silaturrahim mengenal budaya pesantren, ziarah maqbarah dan menanyakan pada mereka, kapan siap tinggal di pesantren untuk beberapa hari.
Kelas 3 SD, saat kami merasa anak-anak sudah siap, kami mengajak separuh waktu liburan digunakan untuk tinggal di pesantren. Satu pekan saja, dari dua pekan jatah libur sekolah. Tak kami sangka si sulung bikin kami mewek, “Kami masih butuh kasih sayang Umy dan Aby. Kami mau dibuang ke pesantren? Supaya Umy dan Aby tidak repot, kan? Kami janji, kami jadi anak baik. Jangan masukkan kami ke pesantren nggih?”
Krik-krik. Seketika tas dan koper kami sisihkan. Kami peluk anak-anak. Kelihatannya drama banget, kan?
Tapi enggak. Itulah yang ada di hati sebagian anak jika belum paham tujuan mondok. Saya pernah lama jadi pengurus pesantren, mulai pengurus kamar, pengurus kompleks sampai tingkat pondok dan hingga menjadi anggota dewan tahkim. Jadi menghadapi santri baru nangis guling-guling saat pertama pisah dengan orang tua, saya sampun waleh. Nggak papa, didoakan dan dibujuk sebentar bisa diam kok. Tapi kalau sampai punya perasaan dibuang, nah ini yang harus dijlentrehkan.
::
Tertunda. Kelas 5 SD anak-anak baru minta mondok sendiri. Minta masuk pesantren selama liburan. Duh, saya seneng tiada tara. Tahu nggak, rasa bahagia ini poll notog, melebihi blink-blinknya punya tupperware selemari, seratus hektar kebun sawit, satu ons emas, melebihi apapun wis. Apalagi mereka milih mondok di pesantren yang tidurnya di bawah tanpa kasur dan sholat subuhnya berqunut. Yess.
Doa kami tiap hari rasanya terkabul. Lha iya, kalau mau anak kita krentek tergerak mondok masuk pesantren, jangan cuma diceramahi ya, Vie. Apalagi diancam masuk neraka kalau tak manut orang tua. Monggo dipahamkan, didoakan terus menerus nggih. Dibacakan sembarang kalir, mpun 🙏😊
Sejak saat itu, tiap tahun, separuh jatah libur dimanfaatkan anak-anak mengaji ke pesantren. Rutin. Alhamdulillah.
“Lho, kan sudah belajar semua di rumah dan sekolah. Mengapa masih perlu ke pesantren?”
Ada banyak hal yang bisa diperoleh anak-anak saat tinggal di pesantren. Dan ini, sulit ditemui rutin di luar pesantren. Anak-anak bergaul dengan sesama santri dari berbagai latar belakang dan karakter, hingga mereka bisa belajar bersosialisasi dengan baik. Bertemu Kyai dan Bunyai dengan segala ketawadlu’an dan kasihnya, agar anak-anak mendapat inspirator dan teladan. Menjalani kehidupan apa adanya ala pesantren, agar anak-anak terbiasa antri, menata sandal dan mencuci pakaiannya sendiri.
Yang dahsyat, anak-anak akan rutin mendapat doa dari para alim yang mulia. Bisa sungkem tadzim pada guru-guru, dapat mengaminkan suwuk-suwuk indah, bisa menadah barakah, dan merasakan damai ketika menatap wajah teduh atau mendengar ngendikan beliau semua.
::
“Hanya setiap liburan?”
Mohon maaf ya. Ternyata anak-anak kami hanya tinggal di pesantren setiap liburan saja. Tapi kami upayakan semua target minimal kami terpenuhi. Perjuangan kami luar biasa. Beneran, berkali kami kepater. Kapan-kapan saya cerita ya, kalau inget ding.
Alhamdulillah si sulung dapat khatam Al Quran usia 5 tahun. Kelas 5 SD sudah hafal beberapa juz Al Quran. Kebetulan saya pernah di jurusan Bahasa Arab, sisa-sisa kosa kata masih ada dikit lah. Saya lulusan MTsN dan PGAN, pernah nunut tidur di beberapa pesantren juga, jadi masih pede ngajar anak dewe. Santri saya ya hanya dua anak itu saja. Dengan kualitas mengajar saya yang mbuh tralala.
Eh tapi saya masih bisa mendengar curhat anak ketika mereka sedih, galau, atau jatuh cinta. Masih bisa mendampingi setiap saat, terutama pada momen penting hidupnya. Masih bisa mengajak mereka diskusi dan membiasakan mengucap maaf, tolong, terima kasih. Bisa mendampingi mereka menyapu, mengepel, mencuci piring dan mengasah kepekaan mereka, “Ada yang bisa kami bantu, Um?”
Nah. Setelah SMA? Silakan kuliah di jurusan apa saja Nak, tapi wajib mondok di sebuah pesantren dengan indikator tertentu. Yang semua poin mengarah pada satu tujuan, Malang. Kembali ke akar. Dekat dengan keluarga besar. Mendapat sanad ilmu yang turun temurun berujung Mbah Buyut, Yai Hasan Munadi.
Khusus untuk ini, tidak bisa diganggu gugat. Alhamdulillah mereka paham. Maka setelah daftar ke ITB dan UGM tidak lolos, anak-anak mringis, “Pasti ini karena doa Umy Aby dan Mbah, kami harus ke Malang. Oke. Tapi jangan doakan kami kuliah di UIN nggih, Um?”
*Ahaha emaknya orang UIN, gagal punya kader wis 😛
Sekarang, mereka memilih tinggal di rumah sendiri. Di Malang. Dikupeng dan dikepung pondok pesantren putri Al Islahiyah milik kakak. Sore sampai malam geser ke pondok pesantren Miftahul Huda yang diasuh putra pakdhe sekaligus guru kyai kami, hanya cluing koprol sampai. Meski tak mukim di pesantren, mereka tetap harus “nyantri”. Bahkan sejak awal, jadwal kuliah atau rapat organisasi yang bersamaan dengan jam mengaji, harus ganti. Ngaji tetap nomer satu. Meski pernah juga kecolongan, diam-diam mereka bolos beberapa hari. Rapopo 😀
Selama pandemi, ada tiga ustadz yang mendampingi. Dua ustadz yang dipilih Yai, mengajar kitab turadz, melanyahkan pegon, menyimak murajaah, mensyarah kitab kuning dengan Bahasa Jawa, dan belajar semua materi Madrasah Diniyah. Belajar di rumah, setiap hari. Satu ustadz lagi, memang tinggal di rumah, wajib jama’ah, bersama wirid, yasin tahlil, istighosah dan sehari-hari harus berbicara dalam Bahasa Inggris. Setiap saat.
Tahun lalu alhamdulillah sudah berani menjadi imam tarawih santri putri. Meski masih mbulet tiap diajak baiat Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandy dan ngeles terus belum kersa nerima ijazah Dalailul Khoirot. Nggak papa.
::
Jadi begitu nggih. Ngapunten kepanjangan. Setiap orang tua pasti ingin anak-anak selamat dunia akhirat, sholeh sholihah dan bahagia. Ngendikan Abah dulu, salah satu jalan yang bisa ditempuh ya gandolan guru kyai. Meski tetap yang utama ya pendidikan di rumah nggih.
Sampun, nggih. Mohon maaf jika ada yang merasa tidak berkenan dengan tulisan pengalaman kami ini. Saya jangan dibully ya rek, nanti saya nangis lho 🙈
.
- Bandar Lampung, 22 September 2020 –
📷 L dan D, tahun 2006 💖
Comments