BERBAGI TUGAS DALAM MENDIDIK ANAK
11 mins read

BERBAGI TUGAS DALAM MENDIDIK ANAK

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Karena kedua anak kami lelaki, maka kami sepakat untuk mendidik bersama-sama dalam hampir semua hal. Namun demikian, untuk satu dua bagian, kami berbagi peran. Mohon maaf, saya baru berani menuliskan sekarang, setelah waktu yang panjang berlalu. Tentu saja saya tidak berani menuliskan teori mendidik anak untuk waktu yang belum saya jalani. Semoga yang sedikit ini bermanfaat ya.

Begitulah. Ketika anak belajar sholat, sampai bisa mempraktikkan sholat sak qunutnya, menjadi tanggung jawab saya. Untuk bisa menjadi imam sholat dan membiasakan sholat berjamaah, tugas Ab Haris Sukamto.

Belajar mengaji sampai khatam Al Qur’an, bagian saya. Agar anak terbiasa nderes dan istiqomah nglalar murojaah, Aby yang beraksi.

Merekam tumbuh kembang mereka dalam foto, tugas Aby. Saya menyimpannya rapi dan menuliskan ceritanya. Hasil foto USG, ketika mereka tumbuh gigi, mulai bisa merangkak, berdiri, berjalan sampai tanggal gigi, catatan kapan sakit dan resep obatnya. Bahkan momen tiap mereka ujian, hewan piaran, mainana dan catatan buku yang telah dibaca, juga ada. Rencananya, kami akan berikan semua dokumen itu ketika mereka akan menikah nanti. Semoga saya sempat mengabadikannya dalam buku.

Nah, sebelum memilih sekolah anak, kami survey bersama-sama. Ada 100 poin lebih yang siap kami ceklis pada saat kami observasi untuk setiap calon sekolah. Tuh, ngalahi format yang dibawa para pengawas ketika monev kan? Kadang anak kami menambah poin lagi, versi kebutuhan mereka. Sering juga saya tambah beberapa poin penilaian di tengah jalan, karena insyaAllah saya paham sekolah yang baik.

Tapi istikharah menentukan dimana anak kami sekolah, menjadi bagian Aby. Tentang bagaimana detail kami memilih sekolah anak, insyaAllah akan saya tulis ya.

::

Mengajarkan Lavy dan Dany untuk punya empati dan simpati lalu memberi gambaran wujud dalam sikap peduli dan laku berbagi, menjadi amanah di pundak saya. Saya meninggalkan semua kegiatan saya setelah punya anak, selain mengajar mengaji ibu-ibu. Itu pun saya lakukan dengan memangku mereka berdua yang masih balita.

Saat si sulung mulai sekolah, saya dan anak mertua mengantar bersama. Sampai sekolah, saya ditinggal. Mukim di halaman kelas atau serambi masjid, sambil mengajar mengaji lagi ibu-ibu sesama penunggu dan sesekali sambil saya memberi ASI si kecil.

Ketika si kecil menyusul sekolah, saya menjadi ketua kelas selama 6 bulan pertama. Masuk kelas, karena doi yang tersayang ini tak mau ditinggal. Baru setelah keduanya punya jadwal tambahan belajar bahasa Inggris sepulang sekolah, saya bisa tarik nafas panjaaaang.

“Pagi hingga sore ada waktu luang, mau diisi dengan apa, Um? Asal berangkat dan pulang bareng anak-anak nggih”, demikian titah anak mertua. Baiklaaah, dengan riang saya memilih mendidik anak-anak di SDIT Muhammadiyah dan mengajar mahasiswa STIT Darul Fatah Lampung.

Saya harus berterima kasih pada seorang sahabat yang mengajak saya “mengabdi” di kedua lembaga itu. Saya berani mengatakan “mengabdi”, sebab saya tak menerima bayaran. Jika pun di salah satu lembaga itu akhirnya saya menerima alladzi fih, selalu saya lanjutkan kemana. Bukan, bukan karena saya tak butuh uang. Justru saat itu, saya sedang dalam kondisi setengah miskin. Masih berat.

::

Ohya, sejak anak-anak lahir, nyaris semua pekerjaan rumah Abinya yang mengerjakan. Tanpa saya minta tolong. Menyapu rumah kontrakan, ngepel, mencuci manual, memandikan anak, menyiapkan bubur saring sampai menyuapi anak di pagi hari, menjemur dan setlika. Ya, kami tak punya asisten rumah tangga.

Bagian saya hanya memasak seadanya, membersamai dan menyuapi makan anak siang-sore hari. Menyusui dan memandikan anak sebelum menyambut Abinya pulang kerja.

Malam hari, kami belajar dan main bersama. Lalu tidur bareng sambil ngeloni anak-anak gantian satu satu. Kalau malam ini saya bersama si kecil, besok ngeloni yang sulung. Kebetulan di kamar kecil anak-anak, ada dua dipan kayu kecil kriyek-kriyek, sisa inventaris dari perusahaan lama yang diperbolehkan kami bawa. Jadi kami berempat setiap malam.

Saat itulah, saya bertugas membacakan cerita tentang sirah nabawi tiap dua malam sekali. Bergiliran dengan Aby yang selalu mendongeng tentang wayang. Anak-anak hapal tentang kehebatan Prabu Brawijaya sampai kesaktian Saridin.

::

Menyiapkan bekal makanan anak-anak, setiap hari saya lakukan. Nasi ples sayur dan lauk. Juga susu dan snack. Jadi anak saya juwarang jajan. Hingga SMA, mereka selalu sarapan di rumah dan membawa bekal. Tentu, setelah semua makanan mereka saya bacakan doa-doa. Bahkan kalau saya lupa, anak-anak akan menyodorkan kotak tupperwarenya dan meminta saya membacakan doa.

Nah, tentang uang saku ini, Aby selalu ngendikan, “Jangan pernah memberi uang saku lebih dari rerata temannya nggih”.

Kalau uang saku kurang sedikit dari temannya, boleh. Asal kebutuhan sekolah dan makan bergizi terpenuhi dengan baik. Mengapa? Anak lelaki, kalau bawa uang pasti keinginannya macam-macam. Uang cukup untuk jaga-jaga saja kalau ada hal penting. Toh makan dan snack minum sudah ada. “Kalau ada keinginan lain, mereka bisa meminta pada kita kan?”

Saya tak sepakat dengan konsep ini, sering berdiskusi dan merayu suami sampai saya menangis karena kasihan pada anak-anak. Tapi saya tak berani dan tak akan melawan suami. Saya menaatinya penuh. Sampai saat ini.

::

Urusan curhat anak dan hadeblehnya, menjadi bagian saya. Tiap hari, saya menyediakan waktu tak terbatas untuk mereka menceritakan apapun pada saya. Tentang cita-cita dan harapannya. Tentang sahabatnya, tentang guru dan sekolah, sampai perasaan cinta pada siapa, kapan mimpi basah, galau karena satu dua hal atau perasaan sedihnya akibat dibully teman.

Ya, setiap hari. Setiap saat. Usai sholat dan mengaji, atau di sela mengerjakan peer dan sebelum tidur. Tak ada hape saat bersama mereka. Tak boleh ada WA atau fesbuk ketika mendengarkan mereka bercerita.

Saya ingat komentar seseorang pada saya, “Kalau semua hal dicurhatkan, kalau ada masalah selalu cerita pada emaknya, kapan Mas Lavy dan Adik Dany mandiri? Bagaimana kalau mereka nanti jauh, apakah harus tilp dan minta saran emaknya setiap saat?”

Saya hanya tersenyum. Setiap keluarga tentu punya visi dan pola pendidikan masing-masing. Yang tentu berbeda satu dengan lainnya.

Kami memilih seperi ini saja. Mengikuti pendidikan orang tua dan guru-guru kami dahulu. Kami ingin anak-anak dekat dengan kami, melebihi kedekatan mereka dengan siapapun. Kami ingin menjadi orang tua yang selalu ada di hati dan doa anak-anak, maka kami selalu berjuang agar mereka selalu ada di hati dan doa kami lebih dahulu.

::

Mengajarkan pada anak-anak untuk selalu memiliki cinta pada sesama, bersikap tadzim tanpa basa-basi, memilih kata saat berbicara dan menata kalimat ketika menulis, menjadi tanggung jawab saya. Meski tentu, Aby juga berperan besar dalam hal ini.

Tapi berdiskusi tentang politik, hobi sampai anime, peran Aby lebih dominan. Mengikuti sekolah bola, memilih alat musik, sampai kursus apa dan apa, anak-anak berdiskusi dengan Abinya. Bagaimana membalas perlakuan orang, kapan memaafkan dan dengan cara apa membela diri, Abinya yang jago.

Mengenalkan pada saudara sampai sepupu dua pupu, mengajak sowan sesepuh, rutin keliling pesantren dan sungkem kyai sampai memilih pondok tiap mereka libur sekolah, diserahkan ke saya. Tentu saja dengan tetap mendengarkan pendapat L dan D ya.

Puncaknya, taraaaa, “Sampai SMA aja nggih, Um. Anak-anak sudah harus paham makna hidup. Tebal rasa sayangnya. Bagus empati dan simpatinya. Tinggi tadzim dan rasa kemanusiaannya. Berlimpah cintanya pada sesama. Tak boleh mudah suudzon, menghargai perbedaan dan bisa mengatur hidupnya. Tapi setelah menjadi mahasiswa nanti, saya akan mendampingi mereka untuk menjadi lelaki seutuhnya. Mandiri, bertanggung jawab dan gagah berani. Jadi nggak ada lagi curhat menye-menye atau bertanya Umy sebelum memutuskan sesuatu. Uang kuliah, makan dan uang saku sepenuhnya tanggung jawab saya. Umy tak boleh memberi uang cash pada mereka tanpa sepengetahuan saya”, lelaki perkasa ini ngendikan tenang, tanpa gelombang.

::

Tentu saja saya ingin teriak protes. Tapi ya nggak berani tho ya. Pertama, saya takut kualat. Suami super sabar ini jarang mengucapkan kata “harus” dan “tak boleh”. Sekali itu keluar, dampaknya dahsyat.

Kedua, saya tak boleh kemaruk. Sudah terlihat jelas empati L dan D. Beberapa temannya menjadikan mereka tempat curhat. Aktif di organisasi punya batas, mengaji di pondok menjadi prioritas, mau belajar pegon dan bahasa kromo inggil. Mereka berdua juga sigap ngapurancang dan menunduk saat berbicara dengan yang sepuh, tahu kapan menyela atau menjawab tanya dan sangat ringan mengucapkan maaf, permisi atau terima kasih. Yang paling membuat saya bersyukur, mereka sudah bisa ndlosor jalan ngesot, sungkem wolak walik pada guru kyai, dan jalan mundur tetap dengan lututnya.

Selama mereka di Malang, gantian Aby yang sering tilp dan video call. Saya minggir, sesekali saja. Duh, awalnya berat, sangat. Beberapa bulan pertama, Mas L masih sering cumi, cuma miscall agar saya tilp balik atau kirim WA, “Tolong tilp Mas nggih, Um”. Untuk apa lagi, ya curhat lah. Tapi selalu mak klek mati kalau ada Aby lewat klincir πŸ™ˆ

::

Berapa uang saku mereka? Sampai SMP kelas 3, setiap hari mereka menerima 5 ribu rupiah. Mulai SMA, mendapat 50 ribu, sekali dalam sepekan.

Saat kuliah, hm…kalau saya tulis nominalnya disini, boleh nggak, Gaes?

Eh iya. Ada kejadian yang membuat saya mewek tak berdaya. Pertama saat Mas L tak pegang picis babar blas, karena uang saku digunakan membeli baju diskon yang dia inginkan. Uang saku habis sebelum waktunya. Dia yang biasanya puasa Daud, akhirnya puasa tiap hari. Ke kampus jalan kaki, karena tak ada uang untuk membeli bensin. Catatan pengeluaran di hape dan buktinya sangat rapi tersimpan. Saat saya akan memberi uang diam-diam, si sulung ini menolak, “Jangan beri Mas L uang, Um. Kan kita semua sepakat Umy tak boleh memberi uang cash pada kami”.

Untung ya semesta ini baik, tiba-tiba saja ada bisikan dari angin agar saya mengisi akun gopaynya. Dan tidak ketahuan Aby sampai sekarang. Nggak papa, kan bukan uang cash πŸ˜… πŸ˜›

Kejadian kedua, ketika dua anak kami berdebat hebat, hingga berantem beneran. Sampai tak saling bicara lamaaa.

Saya dilarang ikut campur, “Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri, Um. Yang penting masih ada rasa sayang diantara mereka, dan tidak ada keinginan melukai. Kalau sekedar berantem aja, biarlah. Lelaki kok”.

Sekedar jare, Gaes. Hingga dua bulan berikutnya, mereka berdua baru rukun. Berpelukan dan saling mengucap maaf. Pemicunya, dahsyat. Ntar aja saya cerita, insyaAllah.

Kejadian ketiga, listrik hampir diputus PLN dan air mati gara-gara mereka lupa membayar rekeningnya. Saat saya akan meminta tolong adik saya untuk membayarkan, lagi-lagi dilarang, “Jangan. Biarkan mereka menerima akibat keteledorannya”.

::

Begitulah, Gaes. Saya sangat percaya pada pola asuh lelaki ala suami saya. Meski kadang ngenes. Yasudahlah. Meski selama pandemi ini saya diijinkan setiap hari tilp mereka, tapi untuk mengajarkan ketegasan, tanggung jawab dan kemandirian, Aby tiada tandingannya. Baiklah. Saya memilih lebih mempeng mendoakan, dan diam-diam mencarikan calon istri untuk mereka saja πŸ˜…πŸ™Š

Saya capek ngetik, Gaes. Sudah dulu ya cerita ecek-ecek ini. Terima kasih untuk yang telah membaca sampai usai. Tahan je, rek. Salam sayang dari saya, seorang emak yang masih harus terus belajar mendidik dengan cinta.

.
Bandar Lampung,18.09.2020.
.

πŸ“· Kami, empat belas tahun lalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *