
KEKUATAN KATA-KATA
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Nyaris dua bulan saya #dirumahsaja. Benar-benar ndekem di pagupon. Sesekali keluar, untuk keperluan yang benar-benar penting. Itupun hanya sebentar dan membawa perangkat lengkap: hand sanitizer, masker, tisue basah, air untuk bilasan. Tidak bersalaman, menghindari kerumunan, sampai rumah pun segera mandi.
Jujur ya, dua pekan pertama saya nyaris stress. Kangen banget pada dua anak kami, sementara dapat kabar dari Wali Kota warga luar dilarang masuk Malang. Tiket hangus wis. Saya juga membaca berita menyedihkan setiap hari. Tentang perjuangan berat para dokter dan tenaga kesehatan sebagai garda terdepan menghadapi wabah pandemi ini, tapi banyak yang tak memiliki APD lengkap. Tentang satu per satu korban terpapar yang lalu tumbang. Tentang warga terdampak yang bahkan ada sampai meninggal karena tak bisa makan. Tentang meluasnya zona merah. Tentang perbedaan pendapat penanganan hingga berujung dua kubu saling hujat dan menyalahkan. Tegang setiap saat, otak saya kruwel-kruwel dan hati jedug-jedug.
Saya sempat menangis seharian saat mendengar beberapa sahabat saya positif dan harus diisolasi. Saya sangat sedih, takut, dan galau tingkat dewa. Tak bisa tidur. Lalu, maag saya kambuh. Lalu rumah saya tak terurus, dan kewajiban tak tersentuh. Lalu semua berantakan.
Saya jenggirat saat suami mengingatkan, “Kalau begini terus, panjenengan bisa makin sakit, Um. Bukan karena virus, tapi justru karena depresi”. Ah, benar. Sampai kapan begini? Mpun, segera saya bertekad hanya mau mendengarkan yang baik-baik saja. Saya menghindari membaca segala hal tentang wabah pandemi, tentu selain kabar baik ya. Jikapun ingin tahu perkembangan, saya memilih membuka akun para dokter. Menulis corna atau covd pun, saya nggak mau dengan huruf lengkap. Iya, saya memang belum sekuat panjenengan kok. Rapopo.
“Ayo Um, bismillah semangat. Semangat”, suami terus mbugah. Terus, tak putus. Alhamdulillah. Setelah itu saya merasa jauh lebih segar. Bersemangat melanjutkan beberapa amanah, mau menulis tugas akhir lagi, kembali bersedia mengisi seminar online dan siaran, juga membantu teman-teman membagi bantuan APD, masker dan sembako.
Wah. Kekuatan kata-kata memang dahsyat ya.
::
Dan semalam saya melihat video pendek dari akun Ruang Bisnis yang menayangkan hasil penelitian Prof. John Bargh, seorang guru besar Psychologi dari Newyork University. Mohon ijin saya tulis kembali narasi Om Mardigu di sini ya. Salah satu eksperimen yang diberi nama Hargh Hallway Theory, kemudian menjadi sangat terkenal setelah ditulis oleh Malcolm Gladwel dalam buku Blink. Riset sederhana ini menguji kekuatan kata-kata yang berefek pada tubuh manusia.
Dalam risetnya, Bargh bereksperimen terhadap 40 mahasiswa yang bersedia berkata-kata pada diri sendiri dan mengulang selama 30 hari. Iya, self talk, bicara dengan diri sendiri selama 30 hari.
Keempat puluh mahasiswa dibagi dalam dua kelompok. Kelompok A dan kelompok B. Kelompok A adalah yang harus aktif berkata pada diri sendiri tentang hal yang baik, positif, dan menyenangkan. Setiap saat harus mengatakan pada diri sendiri, misalnya, “hari ini indah”, “cuaca menyenangkan”, “hidup ini enak”, “Tuhan baik sekali”, “rizki lancar”, “kerja gampang”, “sehat”, “lucu”, “asyik”, “anak-anak hebat”.
Apa pun kata-katanya, yang berkonotasi baik, fun dan positif, harus diucapkan terus menerus. Setiap hari selama sadar.
Sebaliknya, kelompok B diminta mengucapkan kata negatif setiap hari. Kata yang sulit, negatif, dan tidak menyenangkan. Misalnya, “Tuhan jahat”, “memang nasib susah”, “jaman gila”, “pemerintah tolol”, “sialan”, “jalan macet”, “anak malas”, “brengsek”.
Semua yang memberi kesan bete, kesal, galau, sedih, dan marah harus diucapkan berulang-ulang, setiap hari, selama sadar.
Pada hari yang ditentukan, mereka diperintahkan datang ke kampus antara pkl 10.00 sampai pkl. 13.00. Sepanjang hallway atau koridor disiapkan banyak kamera tersembunyi, karena ada 100 responden dari beragam latar belakang hadir menilai. Semua melihat lewat kaca cermin, via monitor, yang tidak bisa dideteksi oleh peserta. Para responden tidak mengetahui mana mahasiswa yang dari kelompok A dan mana yang dari kelompok B. Mereka hanya diberi kertas yang berisi nama peserta, foto, juga dua kolom A dan B.
Para responden diminta mengisi apa saja gerakan mereka, bagaimana perasaannya. Responden harus mengira-ngira mereka dari kelompok A atau B. Kalau diperkirakan dari kelompok A, contreng kolom A. Kalau kira-kira dari kelompok B ya contreng kolom B. Selama 3 jam para responden menilai 40 mahasiswa yang berjalan melalui koridor panjang tersebut. Selesai, kertas direview, dikumpulkan, istirahat.
Setelah istirahat, kertas disorotkan ke LCD dan ditayangkan pada layar. Apa yang terjadi?
Semua responden dapat menilai keempatpuluh mahasiswa mana yang A dan B, dengan ketepatan hingga 95 persen. Kok bisa?
Bisa banget. Sebab ekspresi atau aura mereka sangat jelas terbaca. Wajah yang jutek dan kumuh, tergambar cetho pada mahasiswa yang masuk dalam kelompok B. Padahal saat itu mereka mengenakan pakaian rapi dan mahal, seperti jas tiga rangkap dan kostum lain yang perlente. Sementara pada mahasiswa lain tergambar jelas wajah yang berkilau dan sorot mata berbinar meski hanya mengenakan pakaian sederhana, seperti jeans dan kaos oblong.
Apa yang sebenarnya terjadi?
John menjelaskan, “Manusia memiliki 1 trilyun sel. Setiap hari ada sekitar 30 milyar sel yang mati. Di hari ke-30, setiap manusia menjadi berbeda dengan dirinya sendiri. Dalam 30 hari, sel yang mati diganti dengan sel baru. Pada saat sel baru tumbuh, sifat sel netral. Kita manusia bisa menulis apa pun dalam sel tersebut dengan pikiran dan kata-kata seperti yang kita inginkan.
Nah. Jika dalam 30 hari, seseorang mengatakan kata negatif berulang-ulang tanpa jeda, maka sel tubuh akan bereaksi sesuai dengan database itu sehingga wajah akan terlihat suram, butek, kumuh, dan tidak menyenangkan. Namun, apabila selama 30 hari kita tulis database yang positif, maka hasilnya pun terpancar aura postif di wajah. Orang akan melihat kita selalu ceria, kulit terang, dan selalu menyenangkan sehingga banyak orang ingin dekat dengan kita”.
::
Tiba-tiba saya ingat apa yang diajarkan Ibu sejak kecil, “Ukuran istiqomah itu minimal sebulan, Nduk. Dimulai dari latihan per hari, selanjutnya akan semakin enteng”.
Oh, pantesan saya sering mendapat ijazah wirid dari beliau yang dibaca rutin 7 hari dulu, lalu tambah 11 hari, 21 hari, 41 hari, dan selanjutnya menjadi kebiasaan. Menjadi ringan. Melakukannya pun dengan riang.
Nah, “Inilah inti dari ajaran Islam yang mengajarkan puasa Ramadhan selama sebulan penuh. Ya, Islam mengajarkan agar kita selalu mengucap hal baik, dzikir, mengingat Allah, dan melakukan hal yang baik saja. Jika selama 30 hari kita sungguh-sungguh membiasakan diri melakukan subconsius reprogramming ini, maka kita akan kembali menjadi fitri. Menjadi suci”.
Bulan Ramadhan ini menjadi kesempatan yang sangat berharga untuk kita menjadi baik dan lebih bahagia ya. Maka selain saya balapan nderes dengan anak-anak yang selalu berakhir saya kalah, saya juga ikut ODOJ di group Dasa Wisma RT dan menyimak beberapa pengajian kitab online. Cie, pas nulis kalimat pamer ini saya jadi merasa jadi alim haha. Padahal segaja nyisipin nih, agar kalau kakak saya membaca ini, saya dapat pujian 🙈
Untuk selingan, saya suka mendengarkan ngaji Gus Baha, lalu nonton film India dan mantengin para idola merivew makanan murah enak di youtub. Mulai Nex Carlos sampai Takissam. Sampai saya ngeces. Sampai saya nekad bercita-cita jadi food vlogger. Kadang saya juga nyekrol sosmed, menyimak guyonan teman-teman, koman komen, lalu njembreng foto masakan. Beruntung banget teman efbi dan group WA saya semua kereeen. Iya selingan, tapi bagian ini ngabisin waktu paling lama. Dan fixed, saya bukan tim Teh Melly.
Enggak apa. Yang penting, tak henti berlatih menjadi baik ya. Lewat perbuatan, lewat kata-kata. Belajar aja dulu, belajar terus. Hasilnya, wallahu a’lam.
- Bataranila, 27 April 2020
Yes tak berhenti