Oleh: Ust. Muhammad Nur, S.Pd.I*
Perkembangan di dunia pendidikan terus mengalami perubahan. Beberapa tahun lalu (awal-awal tahun 2000-an) pesantren mulai berkurang peminatnya. Hal ini lantaran masyarakat lebih memilih pendidikan di lembaga-lembaga formal yang mereka anggap lebih menjanjikan output-nya. Oleh karena itu, kemudian pesantren bertransformasi menjadi lembaga pendidikan yang komplet. Selain memperkokoh akhlak para santri, pesantren juga dilengkapi dengan pendidikan formal. Ini tentu menjadi nilai plus untuk pesantren dibanding dengan lembaga pendidikan formal biasa.
Biarpun begitu, perubahan tetap tak terelakkan seiring kemajuan zaman. Akhlak luhur, sebuah ciri khas pesantren mulai luntur, baik tata cara berpakaian, tatakrama berbicara maupun bersikap, padahal inilah kunci utama sebuah pesantren. Sangat disayangkan.
Sebuah contoh, perubahan perilaku santri dalam hal menyambut tamu. Dahulu, semua tamu adalah tamu terhormat, termasuk wali santri sekalipun. Jika ada wali santri berkunjung, santri akan berebut untuk menyambut dan bersalaman. Namun kini, kebiasaan itu kian memudar. Di beberapa pesantren mungkin masih lah tetap sama seperti dulu, tetapi lebih banyak yang tak lagi demikian. Entah faktor kesibukan atau memang akhlaq sudah kian terkikis dalam jiwa santri hingga mereka mulai bersikap tak peduli.
Di satu sisi, pengaruh elektronik atau gadget juga sangat berdampak sekali. Tempo dulu, santri tidak pernah kenal elektronik, baik santri junior maupun senior. Kini, elektronik menjadi salah satu kebutuhan yang mendesak. Dengan berbagai pertimbangan, sebagian pesantren memilih memberikan rekomendasi pada santri senior untuk mengoperasikan handphone atau laptop dan lainnya. Akan tetapi, ternyata mudharat elektronik tak terhindarkan. Membuat mereka semakin enteng (kurang hati-hati) bertindak dan menghilangkan sifat ketawadukan.
Hal itu tentu harus sesegera mungkin diatasi dan dicarikan solusi. Knowledge boleh dikejar, tetapi akhlak jangan pernah ditinggal. Berbagai strategi pembelajaran harus dikerahkan demi lestarinya penanaman akhlak pada santri. Metode ceramah dan pengajian rutinan di surau atau di kelas saat ini dirasa kurang efektif.
Akan lebih tepat sasaran, andai pembiasaan perilaku baik tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan berulang-ulang, seperti pembiasaan berbicara menggunakan bahasa yang baik pada sesama atau kromo inggil (bahasa daerah halus) untuk yang lebih tua. Berkaitan dengan itu, tentu tidak serta merta dapat diwujudkan dengan mudah. Semua butuh proses, metode yang tepat, pengawasan ketat, dan evaluasi yang akurat. Hal ini dimaksudkan agar akhlak sebagai azimat jasad dan ruhani santri tetap terjaga di tengah-tengah modernisasi.
Salam santri. Santri selamanya, selamanya santri.
*) Penulis adalah guru MA Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi. Trainer pembelajaran Alquran Metode UMMI tingkat daerah Banyuwangi. Ia juga aktif mengajar pembelajaran Alquran di beberapa lembaga dan di rumahnya.
Comments