Penulis: Ning Evi Ghozaly
“Umi kangen Mas Lavy lho, Nak. Kangeeen banget,” saya mengirim WA ke anak mbareb, awal pekan lalu. Tak lama cling, balasan sampe.
“Nggih, Umi. Terima kasih ya. Kalau Umi berkenan Mas pulang ke Lampung, akan Mas usahakan akhir pekan ini nggih. Sebentar, ini masih di kantor. Nanti Mas tilp ya, Umi sabar ya,” seperti pada anak balita, lelaki yang makin dewasa ini membujuk saya. Menenangkan.
::
Iya. Biasanya, apapun kejadian yang saya alami, langsung saya ceritakan pada Abinya. Kadang, satu cerita bisa saya sampaikan berulang-ulang. Kebutuhan saya untuk bercerita dan didengar memang mbuh tiada tara kok. Nah tapi karena untuk tiga hari Abi ke Jakarta lalu nengok kebun yang minim sinyal, komunikasi jadi buntet. Padal saya selak pengin curhat. Jadinya kasih kode aja ke anak lanang ini.
Dua jam kemudian, “Umi, sudah bisa tilp nggih? Mas udah sampai kosan.” Meluncurlah bla bla bla. Saya bercerita panjang kali lebar kali tinggi. Awalnya saya kalem, lalu menggebu-gebu, naik turun, gas kenceng, lalu ngepot. Dari mulai menyampaikan fakta, lalu ghibah sebut nama, sampai berasumsi kanan kiri dan bikin kesimpulan kok saya didholimi ya. Udah. Terengah, lalu ambil napas.
Sunyi. Krik-krik.
“Hallo, Nak?”
“Dalem, Umi. Iya ini Mas masih menyimak kok.”
“Sampun, Nak. Cerita Umi sudah selesai. Menurut Mas Lavy, Umi harus bagaimana?”
Ada suara tarikan nafas. “Nuwun sewu. Umi mau mendengarkan hal yang menyenangkan, atau yang sejujurnya?”
Haha makjleb banget. Bener, terkadang (sering ding) orang tua hanya mau mendengar suara sendiri. Minta saran hanya basa-basi. Kalaupun berkenan, ya cuma menerima masukan yang sesuai hati aja. Jika ada saran berbeda, buru-buru menolak…atau malah tersinggung. Berat ya ngadepi orang tua kayak saya. Ada yang samaan nggak sih 😅
::
“Mohon maaf nggih, harusnya Mas bisa mendampingi Umi, terutama ketika kondisi begini. Tapi gimana, setelah tilp ini apa yang Umi rasakan? Lega? Kalau masih ada yang harus disampaikan, monggo lho…”
Betul, Nak. Didengarkan, diperhatikan dan disimak aja sudah lebih dari cukup. Asli semua rasa nggak enak langsung ilang, terbang entah kemana. Serius nih, tak semua masalah perlu solusi aksi. Ada yang cukup dicueki. Ada yang perlu diendapkan. Ada yang hanya perlu diceritakan. Tapi tapi tapi, kok bisa sih panjenengan bisa sabar ngadepi Umi yang berantakan dan nyaring bunyinya gini, Nak?
“Umi baik. Sejak dulu, Umi selalu ada untuk kami. Selalu mendengarkan curhat kami. Menemani, mendampingi. Memenuhi kebutuhan kami. Mendoakan terus. Apa yang kami lakukan, belum ada apa-apanya kok.”
Wuih, saya klakep. Mungkin ini yang dimaksud Abah dan Emak saya dulu, “Lakukan hal terbaik untuk keluarga sampai pada batas maksimal yang kita mampu. Tanpa berharap pun, insyaAllah kita akan mendapatkan hadiah besar lantaran mereka kelak.”
Leres. Ngendikan Gus Baha, “Aja kecangkeman berharap anak hidmah pada kita nanti. Nggak ada hak menuntut anak untuk ngopeni dan berbakti pada kita. Tapi kalau ingin anak kita baik, harusnya kita yang menjadi baik lebih dulu.”
Matur nuwun, Gusti Allah. Terima kasih atas karunia anak-anak penyejuk mata, peneduh hati. Ngapunten saya hanya bisa mendidik anak dengan cara gitu-gitu aja. Remeh, receh. Jadi kalau ada kebaikan yang kami dapat sekarang, pasti karena kersaning Gusti. Alhamdulillah.
.
- Bandara Soetta nunggu miber bentar, 06.10.2022 –
📷 Foto bulan lalu, dicandid Abi M Haris Sukamto
Comments