MANDIRI
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Masih rame ya pro kontra tentang adanya group wali mahasiswa. Ada yang sangat antusias aktif mosting ini itu dan ngoman ngomen apa. Sampe ada yang minta dibuatkan jembatan penyeberangan dari kampus agar anaknya nggak kesrempet kendaraan pas nyebrang. Sebagian menanggapi dengan geli bahkan ada yang marah, apa-apaan sih udah gedhe masih harus diawasi dan diurusi gini.
Baiklah. Saya hanya ingin menyitir ngendikan Sayyidina Ali RA tentang tahapan pendidikan anak yang dibagi menjadi tujuh kali tiga. Sudah sering saya bahas sih, tapi boleh ngulang ya?
Tujuh tahun pertama, anak “diposisikan” sebagai raja/ majikan. Sebisa mungkin kita “menghormati” anak dan menuruti kemauannya sepanjang memungkinkan dan tidak membahayakan. Tentu, tanpa memanjakan lho.
Tujuh tahun kedua anak seperti ‘pelayan’ yang mulai mendapat tanggung jawab beragam. Membereskan tempat tidur, mencuci piring, menyiapkan sarapan keluarga, menyapu rumah, dan lainnya. Anak dibiasakan untuk menuntaskan kepentingan dan urusannya sendiri, ples punya kepekaan untuk membantu menyelesaikan urusan domestik maupun organisasi. Paham mana yang baik dan tidak, mana yang manfaat atau yang mudlarat.
Tujuh tahun ketiga, anak sebagai menteri. Saat ini, sebaiknya anak sudah diajarkan berkuda (berkendara), memanah (semangat dalam mengejar cita-cita dan titis dalam membidik tujuan). Juga belajar berenang, mempertahankan dan menyelamatkan diri. Urusan membayar listrik dan air, mewakili bapak ronda atau kondangan, datang di undangan yasin tahlil tetangga, sudah bisa diserahkan ke anak ya. Komunikasi harus ala sahabat, tidak boleh lagi orang tua bicara dengan instruktif. Dialogis aja. Agar makin ada bonding. Anak paham apa yang harus dilakukan untuk dirinya sendiri, sudah tahu arah hidup dan cita-cita yang mesti diperjuangkan. Juga, mengerti bagaimana menjadi manusia yang bermanfaat luas.
Maka, ya nggak papa seusia ini anak bekerja sambil belajar. Keren malah. Minimal untuk memenuhi kebutuhan sendiri kan? Bahkan harusnya sudah paham bagaimana menyelesaikan masalah sendiri dan keluarga, menjaga nama baik dan mengambil alih “sebagian” tanggung jawab orang tua. Tanpa diminta.
::
Belakangan, saya baru tahu kalau fase 7×3 ini ada hadisnya:
اﻟﻮﻟﺪ ﺳﻴﺪ ﺳﺒﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻭﺧﺎﺩﻡ ﺳﺒﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻭﻭﺯﻳﺮ ﺳﺒﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻓﺈﻥ ﺭﺿﻴﺖ ﻣﻜﺎﻧﻔﺘﻪ ﻹﺣﺪﻯ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﻭﺇﻻ ﻓﺎﺿﺮﺏ ﻋﻠﻰ ﻛﺘﻔﻪ ﻓﻘﺪ ﺃﻋﺬﺭﺕ ﺇﻟﻰ اﻟﻠﻪ ﻓﻴﻪ (اﻟﺤﺎﻛﻢ ﻓﻰ اﻟﻜﻨﻰ، ﻭاﻟﻄﺒﺮاﻧﻰ ﻓﻰ اﻷﻭﺳﻂ ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﺟﺒﻴﺮﺓ)
“Pada usia 7 tahun anak seperti majikan. 7 tahun berikutnya seperti pelayan. 7 tahun kedepannya seperti menteri. Pada usia 21 tahun orang tua boleh menjaganya. Jika tidak, sudah diperbolehkan anak berjalan dengan bebannya sendiri, karena orang tuanya sudah mengantar ke usia yang telah diizinkan oleh Allah.”
- HR Al Hakim dan Thabrani dari Abu Jubairah –
::
Lanjut ya. Di sekolah-sekolah kami, anak kelas 1 SD masih harus diantar orang tua pada hari pertama. Anak masuk kelas, orang tua mengikuti kegiatan parenting. Tujuannya? Menyamakan visi dan membuat komitmen bersama dalam pola asuh dan pendidikan anak.
Hari kedua, orang tua masih boleh mengantar dan menunggu anaknya. Tentu di tempat yang berjarak sekian dengan kelas. Tidak boleh masuk garis, menjaga agar tidak banyak komentar yang embuh. Seperti, “Kok anak saya duduknya di belakang? Bisa nggak, rak sepatunya diletakkan di situ? Ini tempat sampah kok nggak ada gambar hello kitty? Jilbab Bu Guru kurang panjang. Eh dasi Pak Guru yang itu harganya cuma 15 ribu di pasar Gintung.” Hahaha 😅
Sepekan pas, stop. Orang tua hanya boleh antar sampai pagar, salim dan dadah. Anak mau nangis guling-guling pun, orang tua harus tega. InsyaAllah nggak lama kok, dibujuk bentar dan membaur dengan teman, udah ketawa seneng lagi.
Kelas 1-3 SD, yang menulis agenda di communication book masih HRT (home room teacher atau wali kelas). Untuk pelajaran Sains besok, membawa lilin. Pelajaran IPS membawa contoh dokumen keluarga. Orang tua wajib membaca com-book setiap hari agar bisa mendampingi anak belajar dan menyiapkan perlengkapan sekolah esok hari. Misal lupa bawa dasi, sang ibu masih boleh nyusulin ke sekolah.
Tapi kelas 3, com-book sudah harus diisi anak. Kalau ada selip info atau lupa bawa, ya anak yang bertanggung jawab. Anak sudah harus paham konsekuensi dari apapun yang dilakukan.
Bahkan mulai kelas 3 SD ini, ada program market day yang masing-masing anak bisa menjual apapun di sekolah. Tentu dengan pemahaman tentang modal, proses produksi sampai presentasi, trik marketing dan estimasi keuntungan. Agar anak paham tentang ikhtiar mencari uang, menumbuhkan semangat memenuhi kebutuhan sendiri sekaligus membekali dengan jiwa mandiri. Kelas 5 sudah ada kegiatan home stay, anak tinggal di rumah penduduk di desa binaan. Mengikuti pekerjaan induk semang, jamaah dan ngajar ngaji di musholla, ikut kerja bakti dan lainnya.
::
Tingkat SMP dan SMA makin tinggi target kemandirian. Dengan program terstruktur dan terukur. Termasuk sudah harus bisa merancang kegiatan sendiri atau kelompok yang menghasilkan cuan, merencanakan perjalanan jauh dengan budget minimal, memantabkan planning hidup jangka panjang dan membuat program lain yang menantang. Sebagian besar “dilepas” ya, kalau pun ada guru ya mendampingi jarak jauh aja.
Beberapa bulan lalu, murid kelas 1 SMA di satu sekolah membuat project film beneran dengan mencari sponsor. Film ditayangkan di studio besar di salah satu mall dengan tiket lebih mahal dari bioskop biasa. Gitu lho laku dan untung besar. Program lain SMA kami, kelas 2 dikirim untuk mengabdi ke pelosok atau menyeberang pulau. Mengajar, membangun jalan, membantu kegiatan masyarakat. Dengan rencana, pelaksanaan, laporan dan evaluasi menyeluruh.
Udahan ya, mohon maaf cerita saya kepanjangan ini. Semoga anak-anak kita bisa mandiri pada waktu yang pas dan dapat bermanfaat bagi sesama 😀
📷 Mendengarkan cerita anak-anak Pelangi ❤
.
Catatan: Semua ilmu tentang pembelajaran yang saya tulis sebagai perwujudan 7×3 di sekolah adalah dari guru kami, Kang Munif Chatib. Penggagas konsep Sekolahnya Manusia.