
MAS WACHID DAN JALAN SUNYI
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Entah sudah berapa kali air mata saya tumpah. Bayang wajah Mas Wachid selalu berkelebat. Saya membaca fatihah, tenang sebentar, tak lama teringat lagi. Apalagi di WA masih banyak yang mengucapkan dukacita atau membagi foto kenangan bersama kakak ke 5 saya ini.
Tadi siang, ada sahabat mengirim link youtube yang menayangkan prosesi pemakaman Mas Wachid. Mata saya nanar menatap pelayat yang meluber hingga ke jalan. Para guru kyai, habaib, santri, pedagang, seniman dan petani, tumpah berbaur. Kendaraan hanya bisa parkir di lapangan, dan menuju lokasi harus dengan berjalan kaki. Saat keranda mulai diangkat, jamaah berebut untuk sekedar bisa menyentuhnya. Semendal, sangat.
Menurut Yai Omar, salah satu pengurus Rampak Naong yang menghandle prosesi memandikan, mengafani hingga menyolatkan Mas Wachid, jamaah yang hadir melaksanakan sholat jenazah dan tahlil mencapai 20 gelombang. Terus bergantian masuk masjid, sampai adzan Dhuhur. Yai Omar menghubungi saya setelah tahu saya adik Mas Wachid. Memang, saya jarang bercerita tentang keluarga Malang, maka wajar banyak yang kaget ketika tahu saya adik Mas Wachid. Termasuk Yai Omar, yang telah lama satu group dengan saya dalam Ikatan Keluarga NU.
Saya pun baru ngeh kalau Mas Wachid menjadi pembina Rampak Naong, komunitas warga Madura Malang. Sejak Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru membuat divisi pesantren dan Mas Wachid diserahi amanah mengembangkan, Rampak Naong lah yang membantu, “Gus Wachid mengajak kami Ning Evi, karena orang Madura kan pasti NU”, kata Yai Omar.
::
Mas Wachid memang unik. Grapyak, ramah, pemberani dan tak segan menjadi berbeda. Sabahatnya sangat banyak, dari berbagai profesi, bermacam organisasi dan beragam model.
Nama aslinya Abdul Wachid Mudzakkir Ghozaly. Dikenal dengan nama Gus Wachid Arema. Entah dari mana asal julukan itu. Yang jelas, bukan karena dia keturunan Raden Wijaya atau pinter ilmu agama. Enggak sama sekali.
Mungkin, karena para pemain bola dari club Arema sering bertemu Mas Wachid untuk sekedar ngobrol sambil mengaji tipis-tipis. Mas Wachid juga rutin mengisi Pengajian Sore di Arema TV dan roadshow Arema Bershalawat. Bahkan tiap mau bertanding, Mas Wachid berdoa dari tribun VVIP. Saya pernah melihat video Mas Wachid memimpin parade kuda mengelilingi lapangan sebelum Arema berlaga. Saat saya tanya, apa yang panjenengan baca dari atas kuda Mas?
“Ila hadroti, wasilah fatihah pada Kanjeng Nabi dan sahabat yang mahir main bola. Fatihah untuk Abah yang sangat cinta bola. Terus baca shalawat dan sesekali berteriak Sasaji, salam satu jiwa. Aremaniaaa ole ole ole”, spontan doi nyanyi mars Aremania.
Saya ngakak. Mas Wachid kadang ngarang, emang siapa sahabat Nabi yang mahir main bola? Tapi beneran lho, tiap Mas Wachid datang ke lapangan, Arema menang. Jian mbuh kok ππ
Mungkin juga, julukan Gus Wachid Arema itu karena setiap ceramah, Mas Wachid banyak menggunakan bahasa Malang. Wolak walik, atau memberi selipan huruf pada kata tertentu. Khas Malang. Baru kemarin saya muter beberapa rekaman ceramah gokilnya di youtube. Kata lumayan jadi nayamul, bahaya jadi ayahab. Gobl*k jadi govolovok.
::
Mohon maaf ya, yang terakhir kosa kata kasar. Mas Wachid memang pernah menjalani hidup di jalanan, duluuu. Memimpin genk, bergaul dengan para preman bertatto dan para penggemar dunia cangkruk.
Pernah, ada kawan kehilangan dompet, Mas Wachid tilp seseorang, “Heh, ada dompet kulit coklat dengan KTP atas nama X nggak? Cepetan sini, balikin. Jangan macem-macem, itu milik temanku. Tak ‘lukup’ nanti ya”. Saya ndomblong, rupanya doi tilp kepala copet. Duh, reeeek π
Daerah terminal sampai pasar besar, pernah doi jelajah. Rambut disemir, celana jeans robek, baju kotak-kotak dilinting, sambil menenteng gitar. Kemana saja Mas Wachid ngiter, selalu ada pengikut ngintili. Gini ini ya, kalau sampai rumah, doi ya wangi. Baju koko rapi, mengenakan sarung dan kopyah. Santun salim pada Abah dulu, baru berani masuk kamar atau menuju meja makan. Yiaaa, penyamaran yang sempurna π π
Ssst, masa remaja Mas Wachid juga diwarnai dengan sembarangkalir ilmu tenaga dalam dan ‘perdukunan’. Silih berganti tamu yang datang ke rumah barat, mulai anak-anak Gaborat hingga pejabat pusat. Keahlian bongkar pasang susuk tak diragukan. Juga main sulapan ala-ala itu. Saya tidak bisa cerita detail bagian ini, memalukan π
Tapi sungguh, se-mbelgedhes apapun Mas Wachid, tak akan pernah punya nyali di hadapan Umik, ibu kami. Sekedar menatap wajah dan suca Umik saja, Mas Wachid tak akan kuat. Apalagi jika usai berbuat khilaf. Tentang bagaimana cara Umik mendidik anak lanang yang luar biasa ini, kapan-kapan saya cerita ya π
::
Nah. Ketika Abah mulai gerah dengan aksi pencarian jati diri Mas Wachid yang haragadhak, dikirim lah remaja metal ini ke sebuah pondok pesantren di Singosari. Alhamdulillah. Ternyata ini menjadi titik balik hidupnya.
Mas Wachid mulai rajin mengaji. Agak alim. Agak ya, bukan alim banget. Meski ketika di pondok masih sering berulah dan sesekali mborot untuk ngenek mikrolet, tapi “kreatifitas dan rasa ingin tahunya di jalanan” sudah mulai berkurang.
Kemampuan menggerakkan dan memimpin orang lain diwujudkan dalam bentuk yang lebih ‘sinam’. Semua kegacoran ditinggalkan. Teman-teman ngamen, para preman dan sahabat cangkruknya diajak mengaji. Ilmu tenaga dalam dilarung entah kemana. Saya pernah melihat doi diwawancara Dorce di sebuah stasiun TV swasta. Katanya, anak-anak remaja itu diminta mandi taubat dulu, lalu Mas Wachid menyemplungkan ke kolam. Aslinya, itu kolam ikan aja, mungkin juga ada ular di dalamnya. Ncen kok, Mas Wachid ini suka ngawur π π
Saya tak bisa menahan geli melihat mereka digiring sowan Abah, sungkem. Tentu saja dengan mengenakan sarung dan kopyah, berjalan munduk-munduk ngesot dengan lutut. Kata Mas Wachid, momen itu opspek taubat massal. Doi ingin membuat Abah tersenyum bahagia, “Nuwunsewu Abah, dalem tidak taubat sendirian. Tapi mengajak semua kawan yang pernah bersama di jalan ‘sesat’. Jadi bukan hanya impas, niki sampun bathi”. Jian ampuuun kok π π
Ohya, selain mengajar para ‘santri istimewa’ itu, Mas Wachid membuat kegiatan rutin pembacaan Rotib Haddad dan sholat tasbih. Jamaah ini awet, rutin melaksanakan amalan itu, hingga malam sebelum Mas Wachid wafat. Beberapa group pengajian di pos ronda tempat cangkruk, juga di tempat kumuh dan gang yang jarang tersentuh, dia bentuk dan rawat hingga akhir hidupnya. Entah siapa yang akan menggantikan nanti π
::
Apakah petualangan kakak saya ini berhenti sampai disini? Oh tentu tidak, Ferguso.
Diam-diam Mas Wachid ikut gabung Jamaah Tabligh, sampai dikirim ke India, Pakistan dan Bangladesh. Lalu ikut kelompok apa dan apa lagi. Jiaaaan, mbuh. Rasa ingin tahu yang tak pernah padam. Kalau diingatkan ngeyel, baru berhenti jika kejedut.
Tapi dia memang suka berkawan dengan siapapun kok. Mas Wachid bersahabat dengan tokoh Muhammadiyah. Mas Wachid juga sangat dekat dengan jamaah Salafy. Terakhir malah bersahabat dengan pimpinan Al Irsyad.
Saya pernah sangat marah ketika mendengar Mas Wachid kesrempet Wahaboy. Tak satru seminggu. Eh tapi saya lihat kok dia masih rajin yasinan, tahlil dan ziarah makam Mbah ya?
“Sumprit, Di Evi. Lak Wahaboy enggaklah. Sak jauh-jauhnya jagoan kera Ngalam ini piknik, tetap akan pulang. Kawa ki tetep Ngen-Ow lah”.
Setelah itu doi tertawa terkekeh. Jeleeeek sekali π
::
Kemarahan saya berikutnya, ketika ada seorang kyai memberi tahu saya langsung, “Kakak panjenengan itu gawat. Segala aliran didekati. Kalau begini terus, lihat ajaβ¦..”
Saya menangis. Sebegitu melencengkah Mas Wachid. Terburu saya tilp dia, dengan penuh emosi. Saya wanti-wanti dengan berbagai ancaman.
Eh lha kok dia kalem ayem kayak sedang santai di pantai. Katanya, “Dik Evi sayang, saya tidak pernah minta diundang ceramah oleh siapapun. Saya berniat menebar kebaikan sesuai amanah Abah. Kalau ada yang ngajak ngaji, tak boleh menolak kan? Bismillah. Lillahi ta’ala saja. Bukan untuk mendapat pengakuan, apalagi pujian. Saya tidak mungkin menceritakan semua yang saya lakukan pada setiap orang. Yang penting Abah dan Umik pirsa, dan beliau berdua ridla. Titik”.
::
Tapi sungguh, saya juga khawatir kedekatannya dengan Ust. Abdullah Hadrami. Sahabat Mas Wachid sejak bangku MTsN I Malang ini, pernah mondok di Darut Tauhid, lalu ngaji ke Saudi dan menjadi santri Syech Usamain.
Menurut saya, Ust. Abdullah Hadrami ini sudah jauh kesasar. Karena lamat saya dengar sampai pernah menghujat para Sayyid dan menyesatkan pembaca shalawat naryah. Apa argumen Mas Wachid?
“Lho, kami bersahabat sudah puluhan tahun kok. Sak jeroan isi perut UAH lho kakak panjenengan ini ‘mahap’. UAH sedang kesurupan takfiri, kalau dijauhi nanti malah nyrimpeti. Sebaiknya tetep tak rangkul, kalau macem-macem tinggal mithing aja. Kalau mblarak, diingetin. Nggak mau diingetin, kepalanya tutupi sarung aja, diantemi. Rebes. Tenang ya, nggak lama UAH bakal sadar kok”. Lalu dia tertawa lagi. Iya, ngekek gitu. Nyebelin.
Saya hanya diam. Gregeten. Sekian caci maki hanya dipesemi, tuduhan sesat hanya disenyumi. Tak ada niat tabayyun, sama sekali.
::
Dua tahun lalu, saya mendapat jawaban atas semua penasaran. Saya dipaksa mengikuti pengajian rutin ba’da subuh. Ratusan jamaah berkumpul di aula As Salam, pesantren yang didirikan Mas Wachid di daerah Bunut, Singosari.
“Biar panjenengan lega nggih, Dik Evi sayang. Saksikan, kami masih sholat subuh dengan qunut. Usai sholat masih wirid dengan urutan sama persis saat kita dibai’at Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandiyah. Lalu lihatlah Dik, saya mbalah kitab apa ini? Al Ibriz”, wajah Mas Wachid yang biasa lucu, berubah sangat serius.
“Apa yang kami lakukan sebelum mengaji, Dik? Membaca yasin dan tahlil. Mengirim banyak fatihah dan doa dengan lebih dulu melafal ila hadroti”, rahang Mas Wachid mengeras. Saya menunduk.
“Tidak cukupkah ini untuk membuktikan bahwa saya masih Nahdliyin? Belah dada ini. Masih akan panjenengan lihat ada lambang NU, Dik”, nadanya mulai meninggi.
“Saya tak peduli apa kata orang di luar sana, Dik Evi. Saya tidak bisa mengendalikan semua anggapan mereka. Tapi kalau keluarga saya, kalau panjenengan sebagai adik kandung terdekat, tidak bisa mempercayai saya, alangkah menyedihkan. Saya kecewa, Dik. Saya sedih”, mata elang Mas Wachid menatap tajam pada saya.
Saya makin menunduk. Terisak, tanpa suara. Cepat, Mas Wachid menarik saya dalam pelukannya. Tangis saya pecah. Saya menjerit meminta maaf, “Ngapunten, Mas Wachid. Ngapunten nggih. Maafkan prasangka dalem. Ridla nggih, Mas?”
::
“Jalan untuk mencari kebaikan dan menebar kebaikan itu banyak, Dik Evi. Biarlah saya memilih jalan tak populer ini. Dekat dengan semua kalangan, akan menambah banyak saudara. Akan membuat mereka sungkan berbuat onar dan saling menyakiti. Alangkah indahnya kalau masing-masing berdakwah sesuai dengan cara yang diyakini, tanpa melindas yang lain. Tapi jangan ikuti saya nggih, Dik Evi. Terlalu beresiko, sayang. Tetaplah di jalur pendidikan, suatu saat saya akan menyusul. Cukup saya yang menempuh jalan sunyi berliku ini. Panjenengan tak akan kuat. Tempuh saja jalan yang aman”.
Saya melepas peluknya. Mas Wachid mengusap air mata saya.
“Saya juga pernah tidak terima dengan semua ini, Dik. Tapi melihat Abah dan Umik ridla, itu sudah cukup. Saya yakin ridla orang tua bisa jadi wasilah datangnya ridla Allah. Tentang prasangka orang lain, biarlah. Semua akan terjawab nanti. Tidak sekarang, mungkin saat saya mati”.
::
Mas Wachidβ¦saya menulis ini dengan berurai air mata. Ada sesak di dada. Betapa panjenengan sangat gigih memegang prinsip.
Semalam, saya mendapat kiriman foto Ust. Abdullah Hadrami sedang tahlil di rumah Mas Wachid, lalu duduk terpekur lama di sebelah makamnya. Demikian juga malam ini, beliau hadir lagi. Terlihat jelas kesedihan di matanya. Teringat ngendikan Mas Wachid awal tahun ini.
“Ust. Abdullah Hadrami sudah sadar, Dik. Benar atau salah keyakinannya sekarang, biar Allah yang menilai. Tapi UAH sudah tidak sekeras dulu. Sudah tidak mengganggu. Sudah tidak sombong. Inilah persahabatan sejati, Dik. Saya tak akan meninggalkan dia. Kami akan saling mendukung dalam kebaikan, saling membela dalam kebenaran. Sisanya, wallahu alam. Yang tak bisa dijelaskan, biar menjadi urusan Gusti Allah. Memaafkan semua prasangka, akan membuat kita tenang. Introspeksi saja, mungkin kesalahan saya memang banyak hingga perlu mendapat teguran. Selalu ada hikmah, ketika Allah menurunkan setiap pelajaran”.
::
Subuh tadi saya melihat instagram Evan Tobing dan Ust. Abdul Shomad. Keduanya mengucapkan duka atas kepergian Mas Wachid. Postingan foto Mas Wachid, UAS dan UAH dibanjiri komen.
Lalu saya menatap foto Mas Wachid ketika bersama Abi Ihya Pujon, santri Sayyid Maliki yang alim allamah dan kharismatik.Tangan beliau berdua saling menggenggam, erat.
Beralih ke youtub, saya melihat Mas Wachid saat ceramah di majlis Shalawat Ar Ridwan dan Riyadhul Jannah. Adem, teduh. Beberapa video dan status ucapan belasungkawa dari para kyai muda juga terkirim ke WA saya, “Mas Wachid itu sering membuat kejutan. Tiba-tiba datang ke pondok yang baru saya rintis, memberi semangat, dan tentu mengirim semen. Sering diam-diam berkeliling membantu yang membutuhkan, mengirim bahan bangunan, uang, sampai mengumrohkan kami”.
Duh Gusti Allah, mengapa saya baru mendengar secuil kebaikannya sekarang?
::
Guru saya mengirim WA, “Saya hadir sejak pagi hingga Gus Wachid masuk liang lahat dan dibacakan talqin, Ning. Pulang sebentar, kesana lagi. Masih banjir yang hadir. InsyaAllah, semoga husnul khatimah nggih”.
Mata saya makin basah. Mas Wachid, jalan sunyi yang panjenengan tempuh memang berliku. Beratnya perjuangan telah panjenengan lampaui, Mas. Onak dan duri yang menusuk kaki telah panjengan nikmati. Darah dan nanah itu telah mengering. Tak akan lagi panjenengan rasakan luka perih. Semua telah berakhir.
Selamat kembali, Mas Wachid. Selamat menghadap Ilahi, kekasih yang sangat panjenengan cintai, sepenuh hati. Semoga Gusti Allah,Tuhan kita yang Maha Penyayang, meridlai semua langkah panjenengan selama di dunia. Mengampuni segala salah dan memberi panjenengan tempat terbaik.
Saya tak mungkin bisa meniru panjenengan, Mas Wachid. Tapi ijinkan saya mengenang indahnya kebersamaan kita.
Air mata saya kembali tumpah. Pelan saya dengar suara Sujiwo Tejo menyanyi dengan iringan musik menyayat.
“Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji. Trima mawi pasrah, sepi pamrih, tebih ajrih.
Langgeng tanpa susah, tanpa seneng, anteng meneng, sugeng jeneng⦔
.
- Bandar Lampung, 06 Juli 2020 –
Selamat jalan Gus, semoga khusnul khotimah….