
DUR, Obah Ngarep Kobet Mburi
Oleh : Ustd. Nur Hidayati, S.Pd.I*
Kamu suka baca buku genre apa? Islami? Sejarah? Sains atau eksakta? Parenting? Romance? Semua tersaji lengkap dengan porsinya tersendiri dalam novel DUR (Diary Ungu Rumaysha). So, membaca satu Novel DUR saja sudah seperti membaca beberapa buku dengan genre berbeda sekaligus. Tak heran jika novel tersebut memantik antrian panjang pembaca di Perpustakaan Nyai Hj. Siti Romlah. Novel ini cocok dan diminati oleh semua kalangan lapisan masyarakat tak terkecuali para santri Asrama Putri Miftahul Ulum Bengkak.
Novel DUR bukan tentang cinta dan romansa biasa. Pada setiap karakter tokoh dan alur cerita terdapat banyak sekali ilmu yang bisa dijadikan panutan. Ning Nisaul Kamilah, sang penulis dengan lihainya menyisipkan beberapa kisah sejarah dan keteladanan Nabi Muhammad saw. dalam kehidupan rumah tangga Rumaysha dan Gus Asy (tokoh utama dalam novel). Romantisme di antara kedua tokoh seringkali menyembulkan rona merah di pipi pembaca tanpa harus disebutkan detailnya, misalnya bisikan Gus Asy yang sempat didengar oleh Suwandi, sang abdi. “Dik Rum, nanti malam kita nginap di hotel, yuk”.
Di beberapa bagian, novel DUR juga menjabarkan ajaran agama islam dari berbagai sisi, contohnya pembahasan tentang ajaran Molimo yang sering disampaikan oleh Sunan Ampel, sejarah dan perjuangan para sahabat Nabi, kisah para habaib, sebab musabab nadhom Alfiyah berjumlah 1002 bait, bahkan doa-doa amalan yang disunnahkan.
Ning Mila juga berhasil mencontohkan pendidikan parenting yang baik pada cara pengasuhan Bune (ibu Rum) dan Kiai/Bu Nyai Husen (orangtua Gus Asy). Bagaimana seorang bu nyai tidak diktator memilih pendidikan anak dan menantu hanya karena kebutuhan saja. “CARI ISTRI APA CARI SANGGAN?”, teguran keras via chat Bu Nyai Husen pada Gus Asy menegaskan bahwa memilih pasangan bukan sekedar sebagai penopang atau mengambil manfaatnya. Begitu pula Kiai Husen, beliau tidak pernah memandang sebelah mata apalagi mempermasalahkan keluarga Rum yang notabene bukan keturunan priyai. Sikap tegas tetapi tetap selalu ramah pada karakter Bune, Kiai, dan Bu Nyai Husen patutnya menjadi contoh para orangtua dalam mendidik karakter anak-anaknya.
Begitupun dengan kandasnya hubungan Rum dan Al, novel DUR bukan semata hanya menyorot pada ke-halu-an seperti yang dilakukan anak muda di masa new normal sekarang ini. Akan tetapi, dalam ketegaran dan kegigihan Al untuk terus berusaha menjadi muslim yang lebih baik lagi mengajarkan bagi para pecinta bahwasanya putus cinta bukanlah akhir dari segalanya. Pada adegan ini, novel DUR mengingatkan para pembaca untuk senantiasa sabar dan ikhlas menerima takdir yang telah ditentukan oleh Allah untuk umatnya.
Dari review DUR di atas, satu hal yang paling lekat pada khas tulisan Ning Mila ialah paparan budaya jawa yang tak terpisahkan. Sebagaimana novel-novel beliau sebelumnya, DUR juga banyak menukil peribahasa jawa, seperti obah ngarep kobet mburi. Maksudnya, dalam hidup seseorang harus berani bersusah payah lebih dahulu, pantang menyerah dan tidak putus asa hingga ia akan menjumpai kesuksesan pada akhirnya. Demikian, nikmatilah proses untuk mencapai tujuan karena semua hal tidak ada yang instan.
Masih banyak keseruan lain yang terdapat pada novel tersebut yang belum kami ulas. Semoga tulisan review singkat ini dapat bermanfaat dan semangat membaca adik-adik santri di perpustakaan Nyai Hj. Romlah terus meningkat. Aamiin.
*) Penulis adalah santri aktif Asrama Putri Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi.