
MEMINTA MAAF MESKI TAK SALAH
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Ini kisah tahun 2006. Kami berempat mencari keramik di toko bangunan Karya Sakti, Kedaton. Ahad pagi, jalanan masih sepi. Abi dan saya turun lebih dulu, anak-anak minta menunggu di mobil. Tak sampai 5 menit setelah kami turun, si kecil berteriak minta tolong. Mungkin mereka tak sengaja memainkan rem tangan, mobil meluncur di jalanan. Kami tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika mobil itu terus menurun, ada kendaraan lain di sekitarnya, atau ada orang menyeberang tiba-tiba. Ya Allah.
Abi berlari mengejar mobil, ngerem sekuatnya. Alhamdulillah berhenti. Saya klakep, cuma bisa nutup mulut dengan tangan, sambil merapal istighfar dan shalawat. Beberapa orang yang melihat, menjerit riuh panjang bahkan sampai mobil diparkir di halaman dalam.
Saya menggendong si kecil dan Abi menggendong anak sulung. Kami memeluk mereka erat, mengusap punggungnya, menciumi bertubi, dan terus mengucap syukur. Alhamdulillah blai slamet.
Seorang ibu mendekati kami, sambil menunjuk-nunjuk memarahi kami dengan kalimat kasar, “Anaknya kurang ajar ya Bu. Kalau ketabrak atau nabrak tadi bagaimana.”
“Mohon maaf, Ibu. Kami orang tuanya yang salah, meninggalkan anak-anak dalam mobil.”
“Marahi donk. Biar ngerti. Kok malah dipeluk.”
“Mohon maaf, Ibu. Tanpa ditegur pun, anak kami pasti sudah merasa bersalah. Jadi mohon ijin kami memilih menenangkan dan mengucap syukur karena semua selamat.”
Ibu itu terus meminta saya memarahi anak-anak. Dan berkali pula saya meminta maaf.
Sampai rumah, si sulung bertanya, “Kenapa tadi Umi terus minta maaf? Umi tidak salah kan?”
Nak, kata maaf tak harus terucap karena kita salah. Kata maaf sangat efektif untuk meredakan amarah. Penting kita ucap ketika kita disalahkan orang lain meski tak salah, untuk merendahkan diri sesaat dan melegakan orang lain. Kadang, masalah bisa selesai dengan ucapan maaf kita. Kata maaf juga wujud tadzim kita pada orang lain.
Anak-anak terdiam, semoga karena mereka paham.
::
Yang ini kejadian saat kami mudik awal Mei lalu, hari kedua Iedul Fitri. Hanya dua jam kami sowan bapak ibu di rumah Pati. Sungkem, ngobrol sebentar bareng adik-adik ipar, lalu minta doa dan foto bersama. Sudah. Bahkan makan pun tak sempat. Mengejar waktu agar bisa segera sampai Malang.
Anak sulung yang nyetir. Alhamdulillah aman. Sampai Rembang sudah mulai gelap. Lampu jalanan sangat minim, itu pun hanya dari satu sisi. Ketemu rombongan motor kemriyek rapet, barangkali mereka warga setempat yang akan silaturrahim ke kampung sebelah. Mobil berjalan pelan. Tiba-tiba makbruk sreeeet. Berhenti. Lalu suara teriakan, dan beberapa orang menggedor pintu depan. Anak sulung terbengong bingung di belakang setir. Saya memeluknya dari belakang, “Tenang, Nak. Tenang. Kita hadapi bersama ya, sayang.”
Abi dan anak ragil keluar. Jelas saya mendengar sang adik berkata, “Tenang Pak, itu yang nyetir kakak saya. Kami akan tanggung jawab. Ayo kita ke puskesmas.”
Seorang anak perempuan dibopong masuk mobil, menangis histeris. Ayahnya menyusul naik motor. Sampai IGD puskesmas terdekat, dokter membersihkan luka dan mengobati semua. Bapak, ibu dan anak, alhamdulillah hanya luka luar. Kulit tergeser aspal. Tapi saya yakin itu sangat sakit dan perih.
Alhamdulillah. Kami beruntung dipertemukan dengan orang-orang baik. Berkali bapak dan ibu itu mengatakan, “Tidak apa Umi Abi, ini musibah.” Selesai, kami antar pulang. Di perjalanan, bapak ibu mengucapkan terima kasih dan mohon maaf karena telah merepotkan.
Sampai rumah, keluarga besar dan tetangga mereka berkumpul. Kami menjelaskan dengan hati-hati pada semua. Kami siap menanggung dana berobat sampai sehat, kerusakan motor, uang untuk slametan, juga pegangan untuk putrinya.
Sang mertua menyela, “Karena menantu saya tidak bisa bekerja, tolong ganti upah kerjanya sebulan.”
Spontan yang lain mengeroyok, malah menegur mertua itu. Bahkan putri dan menantunya yang jadi korban pun menolak, “Sudah cukup bantuan Abi dan Umi. Terima kasih banyak. Alhamdulillah bertambah saudara kami.”
Ada seorang lelaki muda masuk tergesa, mendekat pada kami, marah tak jelas lalu menarik kerah anak saya. Bersiap memukul. Orang-orang menahan. Abi menarik tangannya dan mengajak keluar.
Saya melihat wajah anak saya memerah. Mungkin ingin membela diri. Saya mengusap punggungnya, mengangguk dan menatap matanya dengan lembut. Spontan anak saya minta maaf lagi pada semua. Permohonan maaf yang entah sudah untuk berapa puluh kali malam itu.
::
Kami pamit. Sampai di jalan yang terang kami berhenti, membaca yasin tahlil dan doa-doa lagi. Saya dan Abi memeluk anak-anak, bergantian. Mengucap syukur dan sayang. Lega.
Usai makan malam saya menyampaikan pada anak-anak, “Terima kasih ya Mas Lavy sudah sangat tenang malam ini. Terima kasih ya Adik Dany sudah sangat dewasa ikut menyelesaikan masalah ini.”
Abinya menimpali, “Mas, pelajaran apa yang bisa diambil?”
Menarik napas dalam, sulung kami menjawab, “Pertama, keluarga adalah segalanya. Keluarga lah yang akan membela dan membersamai kita pada saat sulit. Kedua, kita harus legowo meminta maaf meski tidak salah. Sungguh Mas nggak salah, Abi Umi. Maaf, tadi itu motor keluar dari gang tiba-tiba, tidak menyalakan lampu sen dan ngebut lalu motong…”
Kami kaget. Kenapa nggak matur dari tadi, Nak?
“Bukankah itu yang Abi dan Umi ajarkan, ringan meminta maaf meski tidak salah. Apalagi menghadapi orang marah, kata maaf bisa menenangkan semua. Masih ingat kok kejadian pas kami main rem mobil dulu…”
::
Deg. Hati saya makplas mendengarnya. Dia masih ingat kejadian 16 tahun lalu. Dia menyimpan erat kenangan itu dan menirunya sekarang. Di usianya yang muda, sangat bisa emosinya tersulut cepat, tapi dia memilih meredamnya dengan sangat apik. Dengan kata maaf, berkali-kali. Ya, sejak kecil dia memang sosok yang tenang. Tapi hari itu saya menyaksikannya dengan rasa haru yang sangat. Alhamdulillah. Terima kasih, Nak. Terima kasih.
.
.
Evi Ghozaly
- Bataranila, 2 Juni 2022 –
.
📷 Saat kami ke Mendit, Malang. Lupa tahun berapa.