KITA TIDAK BISA MENDIDIK ANAK SENDIRIAN
5 mins read

KITA TIDAK BISA MENDIDIK ANAK SENDIRIAN

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Salah satu amati (budhenya) sempat mengkhawatirkan Mas Lavy, “Tinggal di Jakarta? Lingkungan tempat tinggalnya bagaimana. Sholat dan ngajinya bagaimana? Puasanya? Cari pesantren terdekat saja. Mondok, sambil tetap kerja.”

Gaes, kalau saya yang dulu, pasti akan jenggirat mendapat pertanyaan dan perintah seperti ini. Nih anak kami lho. Mbok ya biar saya didik sendiri, jangan diintervensi. Biar dia menjalani hidupnya sendiri, jangan didikte ina inu dan ita itu. Jangan ikutan ngurusi anak saya kecuali panjenengan gurunya.

Beneran. Saya lho bisa guwalak. Pernah ya suatu saat, di bulan pertama anak kami tinggal di Malang, pulang terlambat. Ngaji di madrasah diniyah pondok putra selesai pkl 21.00, entah karena ngobrol atau apa, pulang pkl 21.10. Sampai rumah telat 15 menit. Pintu gerbang sudah dikunci. Memang aturan dari kakak yang juga punya pesantren putri, jam sembilan malam teeeet sudah harus closing.

Anak saya klinang klining minta dibukain pagar, tapi mbak-mbak pengurus pesantren nggak ada yang berani. Pas tilpun, jawaban kakak saya, “Udah telat lama. Tidur aja di masjid atau kosan teman.”

Saya nggak tahu kejadian ini. Anak saya baru bercerita sepekan setelahnya. Dengan santai, tanpa nada mengadu, diakhiri pesan, “Umi jangan marah ya. Memang Mas L kok yang salah.”

Saya muntab. Malam itu anak saya nggak bawa uang, suasana sepi, pake sarung jalan kaki menuju kosan temannya. Saya tilp kakak saya, “Kok anak saya harus ngikuti aturan santri juga sih. Ini telat cuma 15 menit lho. Dan dia tinggal di rumah sendiri kan? Mengapa nggak boleh pulang?”

Berdebat, hebat. Meski dengan pilihan kata santun, jelas ada gusar dalam nada bicara saya. Lumayan glodhak. Berakhir dengan saya terbang ke Malang, saya puter arah kamera CCTV, dan saya bangun tembok pembatas samping rumah. Supaya jelas bahwa rumah kami terpisah dengan pesantren.

Duh Gusti Allah, kalau ingat peristiwa itu saya malu. Ternyata saya ganas kalau sedang membela anak. Pokok nggak mau anak saya disakiti. Saya juga nggak mau mbak-mbak santri mahasiswi itu piket nyapu teras rumah saya atau sliwar sliwer samping dan belakang rumah saya lagi, nanti dimata-matai. Dih asli saat itu saya jadi kayak pemeran antagonis di sinetron adzab. Untuk pertama kalinya, suami saya aja nggak sanggup menjinakkan saya. See? Bagi panjenengan yang menganggap saya super sabar, pasti menyesal ya 🙈

::

Usai kejadian hawer-hawer itu, berkali saya merenung (glek). Dengan saya marah ketika ada yang mengingatkan anak saya, apakah bener saya sedang membelanya? Bukannya saya justru sedang mengajarkan keburukan? Dengan memberi sanksi pada anak saya malam itu, apakah budhe dan pakdhenya berniat menyakiti atau justru mendidiknya? Memang caranya kurang tepat sih, tapi niat dan tujuannya benar. Harusnya saya berterima kasih dulu, baru nanti ngoreksi metodenya. Nggak boleh donk saya malah mutung gitu.

Semakin tahun akhirnya saya semakin arif dan bijak bestari. Cie. Iya, kita tidak akan bisa mendidik anak kita sendirian. Apalagi ketika kita sudah tidak serumah dengan anak-anak. Sejauh apa sih mata kita bisa mengawasi anak-anak kita? Sedetail apa kita mampu memenuhi kebutuhan pendidikan ruhiyah dan karakter anak-anak kita?

Dulu saja, setiap liburan SD kami antar anak-anak ke pesantren. Nggak ketang mondok sepekan atau 10 hari dalam satu semester. Pada akhir pekan, kami ajak silaturrahim ke sahabat, kerabat dan para guru. Sesekali kami ijinkan bermain ke rumah temannya, atau menginap di rumah keluarga yang inspiratif di pelosok atau daerah lain. Tidur beralas tikar, ikut nyari rumput atau banyak bertanya dan mengamati tuan rumah yang profesinya beragam. Kami juga ngoyo mencarikan lembaga tempat belajar dengan sistem dan guru-guru terbaik. Saat kuliah, kami menitipkannya pada guru kyai, saudara dan tetangga. Semua itu dalam rangka apa, coba? Ya karena kami ingin anak-anak mendapat teladan dari banyak orang dan belajar pada berbagai sumber. Semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah kan? Agar anak-anak mendapat cinta dari banyak hati yang mulia. Agar anak-anak juga mendapat limpahan doa dari banyak lisan.

Maka seharusnya saya bersyukur dan berterima kasih jika ada yang mengingatkan dan membimbing anak saya. Karena mendidik anak, tak bisa sendirian.

::

Nah, sekarang saya bisa sangat legowo dan bahagia para sesepuh mengkhawatirkan konsistensi beribadah anak-anak kami. Mencemaskan bagaimana bertahan di ibu kota yang metropolitan. Padahal ya dimana pun, hitam putih dan abu-abu selalu ada kan.

Sungguh saya sangat berterima kasih pada semua yang telah memperhatikan, mendidik dan mendoakan anak-anak saya. Para guru, saudara, sahabat dan panjenengan semua. Matur nuwun sanget nggih.

Yang pasti, siapapun tak akan tahu apa yang akan terjadi nanti. Hal indah yang terlihat dari saya atau anak saya saat ini, semata karena Allah menutupi aib-aib kami. Mohon pangestu nggih, agar kami istiqomah. Semoga yang Maha Penyayang terus menuntun kita dan anak-anak kita menjadi baik. Semoga kita selalu dalam maghfirah dan ridla-Nya. Semoga. Senantiasa. Amin.

.

  • Rajabasa saat antri di Dental Beauty Care, 16 April 2022 –
    .

📷 Foto di bawah ini saya candid pekan lalu saat saya di Jakarta, dalam perjalanan menuju undangan bukber dari Ning Evy di Grand Indonesia. Selama dalam kendaraan, saya nyekrol IG sampai notog dan sesekali ngomen di fesbuk, eh anak ini malah nderes Al Quran. Bertahanlah, Nak. Jangan tiru emakmu yang mbuh ini ya 🙈

@ Evi Ghozaly
@ M Haris Sukamto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *