Penulis: Ning Evi Ghozaly
Saya sangat kagum sekaligus sering “iri” pada para guru kyai dan bunyai. Ratusan, ribuan, hingga puluhan ribu santri bisa selalu merasa dekat, meski tidak tiap hari bertatap muka langsung dengan beliau-beliau. Bahkan ada santri yang sowan dan sungkem hanya saat pertama datang mondok, lebaran dan ketika mau boyong saja. Di sela itu, paling hanya bisa menatap wajah teduh dari jauh dan mendengar suara adem beliau-beliau waktu mengaji bareng. Saking banyaknya santri.
Tapi mengapa semua santri bisa merasakan cinta dan tadzim pada para guru dengan kadar yang nyaris sama? Saya yakin karena doa dan tirakat beliau. Saya yakin karena sang guru lebih dulu mencintai semua bahkan mungkin sebelum kami benar-benar hadir menjadi santri beliau. Selalu ada cinta dan doa dari guru kyai untuk para santri, dimanapun berada. Ketika masih belajar pondok, pun setelah menjadi alumni. Saat santri baik dan anteng, atau ketika mereka berulah dan berbuat salah.
Ya. Doa. Tirakat. Cinta.
::
Saya memang belum sampai pada maqam itu. Jauh. Mungkin tidak akan sampai. Maka jika saya sering memohon pada Allah agar punya akses untuk menyapa langsung para ustadz dan santri, itu bukan untuk kepentingan mereka semata. Bukan karena saya ingin dikenal. Bukan agar saya dikenang.
Justru saya butuh untuk mendidik diri. Bertemu mereka, saya bisa menundukkan hati. Belajar tawadlu. Belajar sabar. Belajar mengakui kekurangan. Belajar memahami keistimewaan setiap orang. Belajar mengelola emosi. Belajar untuk selalu ridla dan ikhlas mencintai, tulus mendoakan.
Syukur jika diantara mereka kemudian mengingat satu dua kalimat saya. Gembira banget jika lantas getaran cinta saya jatuh ke hati mereka, dan saya mendapat balasan cinta yang sama. Alhamdulillah jika doa-doa kami sampai ke langit dan suatu saat terkabul dengan indah.
Maka bayangkan betapa bahagianya saya setiap menemu kesempatan untuk menyapa mereka, di kelas atau di luar kelas. Dalam kondisi apa pun.
::
Seperti hari ini. Sebelum supervisi dan rapat pimpinan saya menyempatkan keliling. Dari teras kantor saya melihat tiga anak berjemur di tengah lapangan futsal.
“Pelanggaran apa, Ust?” saya bertanya pada kepala pesantren. Alhamdulillah, pengabdian beliau dan semua ustadz sangat meringankan kami. Terima kasih ya untuk semua ustadz.
“Mengintimidasi dan memukul adik tingkat sampai bibir pecah dan kepala bagian belakang luka. Senioritas angkatan akhir. Bulliying. Sebelumnya ketahuan bla bla bla. Pernah kabur dan melanggar ini itu. Sudah menjalani pembinaan. Orang tua sudah hadir dua kali. Hasil komunikasi begitu. Komitmennya begini. Satu pelaku SP2, satu lagi SP3 dan satu sudden death…” Lengkap.
Saya menuju lapangan. Sambil merapal fatihah dan shalawat. Duh Gusti, ini anak-anak kami. Anugrah dan titipanMU. Apapun kesalahan mereka hari ini, ada peran kekhilafan kami.
Saya tidak lagi membatin tentang teori konsekuensi. Menggundul dan menjemur, salah satu poin dari dewan tahkim yang masih menjadi idola, justru jadi pilihan utama santri dan walinya tiap awal tahun. Menyadarkan atau tidak, tentu debatable. Tapi ada saatnya saya harus menghargai budaya lama, dengan segala catatannya.
“Assalamualaikum. Apa kabar, Nak? Sudah sarapan? Ada yang ingin kalian sampaikan, Nak?”
“Kami punya alasan melakukan ini, Umi. Kami mohon waktu,” satu anak berbicara dengan ekspresi datar. Tak nampak rasa bersalah di wajahnya. Saya sangat tahu anak ini. Salah satu santri yang sangat terkenal.
Saya mendengarkan. Menyimak. Lalu memberi semangat dan mendoakan. Cukup. Tak ada nasehat, apalagi ancaman. Saya tak tahu apa yang ada dalam hatinya, tapi masak sih mereka tidak merasa “terhukum” dengan hitungan dampaknya? Jika orang tua korban marah, bisa memanjangkan urusan ini. Penilaian akhir semester tinggal tiga hari, dan dia “bunuh diri.” Ssst ayo Vie, jangan geram. Ini juga anakmu.
::
“Saya tidak ingin intervensi. Semua sudah ada aturannya ya. Silakan ditindaklanjuti. Keputusan akhir pada Mudir yang bijaksana, sesuai prosedur,” saya menghela napas panjaaaang. Antara kesal dan menyesal.
Rasanya belum terima. Ini anak baik, sangat berprestasi. Hapalan Al Quran dan Hadistnya bagus, baca kitab kuning pinter, pernah menjadi juara 1 olimpiade matematika tingkat nasional. Ingin kuliah di Mesir. Empat tahun sangat lempeng, tak ada pelanggaran. Menjadi mudabbir yang kereeen. Hobinya membaca dan menulis. Tapi…lalu semua berubah setelah ibunya wafat. Banyak duka, beragam masalah. Caranya meminta perhatian sang ayah agak salah, lalu kebablasan.
Saya tahu karena pernah duduk bareng. Dua atau tiga kali, di masjid dan lapangan bola. Awal bertemu, sambil ngapurancang dan senyum manis dia matur, “Umi Evi, saya lihat nama Umi di gugel. Umi pinter, saya ingin seperti Umi.” Saya tertawa, “InsyaAllah kamu akan menjadi lebih hebaaat melebihi kami, Nak.”
Lalu saya mengirim buku-buku untuknya lewat kepala sekolah. Juga ipad bekas. Setelah itu, kami tak pernah bertemu lagi. Mungkin dia yang menghindar, atau saya yang lupa menanyakan kabar.
Sampailah hari ini. Nyaris enam tahun, tapi berakhir pada batas yang kami harus menerima dengan lapang. Sedih, prihatin. Mengembalikan amanah pada orang tua mereka, ada rasa sesal dan gagal. Tapi harus. Saya menahan tangis. Satu anak yang keluar, masih ada sekian anak…toh tetap ada yang hilang. Dan kehilangan ini tetap menyisakan lubang. Saya berusaha menekan kecewa, menelan emosi. Saya tetap harus mencintainya, apapun adanya.
“Mohon semua guru dan musyrif ridla pada ananda ya. Agar langkahnya ringan. Tetap kita doakan, tetap kita sayang,” saya berpesan di forum. Pesan yang harusnya lebih tepat untuk diri saya sendiri.
::
Esok paginya saya mengejar sang bintang ini. Mruput bertemu di tepi jalan, singkat. Menghadiahi Al Quran kecil dan tasbih untuknya, “Semangat, Nak. Kejar cita-cita. Cinta dan doa kami selalu menyertaimu. Semoga selalu bahagia dan berlimpah berkah ya.”
Ya. Saya memang belum bisa menjadi guru dan orang tua yang baik. Tapi saya ingin tetap bisa bertemu dan menyapa anak-anak yang dititipkan pada kami. Berusaha mencintai mereka, setulus cinta pada anak kandung saya. Mendoakan mereka, sesering saya berdoa untuk diri saya. Seperti yang dicontohkan para guru kyai dan bunyai mulia. Semoga bisa. Bismillah.
- Bandar Lampung, 01 Desember 2022 –
Comments