MENERIMA IJAZAH
3 mins read

MENERIMA IJAZAH

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Beberapa kali saya merasa “terjebak” untuk mengikuti maunya Abah, dulu sih. Tanpa ada prolog dan penjelasan detail, tiba-tiba saya diminta ngikut Umi ke masjid. Manut dengan senang, kirain mau khususiyah yang kadang pulang dengan membawa jajanan pasar. Eh ternyata hari itu ada bai’at thariqoh qodiriyah wan naqsabandiyah. Saya jadi peserta terkecil dong, usia 9 tahun haha. Mau protes kok udah kadung, maka ya selanjutnya “terpaksa” melakukan wirid paling minimal tiap usai sholat.

Kedua, tiap milih sekolah dan kampus. Meski sudah diterima dimana aja, kalau Abah ngendikan di situ ya Nak, ya udah kluning-kluning nunduk tadzim masuk pintu gerbang yang ditunjuk Abah. Jian shalihah bener saya ini haha.

Pernah juga nih. Pas silaturrahim lebaran sekian tahun silam. Kami diajak ke pesantren-pesantren dan sowan beberapa kyai sahabat Abah. Tujuan akhir ke Pondok Pesantren Al Quran Nurul Huda Singosari Malang. Usai Abah bisik-bisik dengan Romoyai Mannan, saya diantar ke satu kamar oleh ketua pengurus. Begitu mau balik ke ruang tamu ndalem, udah sepi. Lha ternyata saya ditinggal. Malamnya datang kiriman koper isi baju-baju dan alat mandi. Wuaaaah spontan saya merasa dibuang haha ampun dah.

Memang kok. Abah sangat jago dalam hal nekad memutuskan satu dua hal untuk anak-anaknya. Secara mendadak lagi, kayak tahu bulet digoreng dadakan lima ratus rupiah ngik ngek. Sampai menjodohkan anak-anaknya pun demikian. Pokok begitu istikharah oke, jalan mpun. Ndlujur. Untungnya saya dinikahkan dengan lelaki yang luar biasa baik, cerdas, sabar dan penuh cinta. Cie 😅

Mengapa pada akhirnya saya bisa menerima semua dengan legowo? Karena Umi yang yang selalu berhasil memberikan penjelasan dengan argumen logis dan masuk ke hati. Umi yang selalu menenangkan dan meyakinkan saya bahwa insyaAllah semua akan baik-baik saja. Lha mbok yuwakin yakin kin, sebelum ngajak bicara saya, pasti doa Umi udah panjang lebar kali tinggi. Kalau nggak, mana bisa semudah itu membuat tukang demo yang garang ini nglimpruk nggah nggih taat tanpa syarat, tanpa pertanyaan haha.

Dan sungguh meski awalnya hanya niat birrul walidain, toh tak lama kemudian hikmah indah berdatangan. Alhamdulillah. Matur nuwun Abah. Matur nuwun, Umi 😅

::

Tapi…tapi…saya dan suami nggak mau melakukan itu untuk anak-anak. Jamannya sudah beda kan?

Mengarahkan iya, tapi tidak akan memaksa. Mendampingi setiap anak-anak akan memutuskan hal terpenting dalam hidupnya, tanpa intervensi jauh. Banyakin diskusi aja, komunikasi yang baik, kasih contoh dan motivasi aja. Tapi mendoakan harus tetep kenceng. Tirakat harus notog semampu yang kami bisa, meski mungkin kualitasnya masih ecek-ecek.

Maka betapa lega dan semendalnya saya kemarin. Setelah sekian lama diskusi dengan bermbulet ria, tanya jawab panjang, bertahun nyicil ngobrol tentang alasan konsekuensi dan resiko, akhirnya…anak ragil mau menerima ijazah Dalailul Khairat dan Burdah. Bersama sepupu sebaya lainnya, di ndalem guru kyai sekaligus sesepuh dalam keluarga besar kami.

Saya grogi sejak pagi. Apalagi ketika menyaksikan Kyai menyerahkan kitab langsung padanya. Deg-degan luar biasa, saya mengarahkan kamera hape dengan menahan gemetar.

Dan begitu suara baritonnya mengucap, “Qobiltu…,” air mata saya tumpah.

Alhamdulillah. Terima kasih, Nak. Terima kasih. Semoga Allah memampukan panjenengan untuk istiqomah ya ❤️
.

  • PP. Miftahul Huda, 17 Pebruari 2023 –

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *