Penulis: Ning Evi Ghozaly
“Duduk sini, Nak…dekat pada bapak. Jangan kau ganggu ibumu. Turunlah lekas dari pangkuannya. Engkau lelaki kelak sendiri…”.
Penggalan syair Iwan Fals ini saya baca pertama kali pada komen suami di status saya tahun 2009 lalu. Saat saya masih selalu bersama kedua anak kami, kemanapun. Ya, kemanapun.
Sejak menikah 1998 dan dikaruniai anak pertama tahun 1999, saya memutuskan untuk tinggal di rumah. Full menjadi emak rumahan dan meninggalkan semua kegiatan diluar. Memang saya dan suami sepakat, sejak lahir anak harus bersama kami orang tuanya saja. Terutama bersama saya, emaknya.
Kebetulan takdir mendukung rencana ini. Kami merantau jauh dari keluarga. Padahal cita-cita saya dulu ingin titip anak ke mbahnya lho. Kehidupan kami yang diawal pernikahan sangat miskin, membuat kami tak sanggup membayar asisten rumah tangga. Semua pekerjaan rumah kami selesaikan berdua.
Saya bersyukur mendapat suami yang tahu apa yang harus dilakukan. Tanpa saya meminta tolong, beliau selalu bersedia melakukan apapun. Menyapu, mencuci piring, mencuci baju dan setlika. Bahkan sejak punya anak, saya sangat jarang bangun malam. Kalau anak pipis, suami yang dengan sigap mengganti bedong dan popok, lalu membuatkan susu dan memegang botolnya hingga anak kembali tidur.
Sebelum berangkat kerja, beliau selalu memastikan semua beres. Karena, “Hamil dan melahirkan sudah sangat berat, Um. Menyusui, menggendong dan merawat anak juga tak ringan. Njenengan harus sehat ya, Um. Harus cukup istirahat. Maka hal teknis yang bisa ditinggal, jangan dipegang”. Duh, ini suami super keren. Terima kasih nggih, Ab 💖
::
Lima tahun pertama kami tidak pernah membeli baju karena tidak punya uang. Mudikpun, kalau benar-benar mampu beli tiket bis. Tiga hari dua malam dari pelosok Palembang menuju Malang. Setelah pindah ke Lampung, paling bisa mudik dua atau tiga tahun sekali.
Meski begitu setiap belanja, kebutuhan anak yang kami dulukan. Kedua anak kami harus makan bergizi, sesederhana apapun. Ikan dua ribu, bayam limaratus, direbus lalu dicampur bubur saring. Kadang hanya beli wortel satu diparut, pisang dilumat. Siapa yang melakukan semua untuk anak kami? Bapaknya. Saya sangat jarang membuatkan bubur saring anak.
Baru ketika anak mulai makan berat, semua saya yang menyiapkan. Tiap hari. Sampai anak bisa sholat dan khatam Al Quran, harus saya yang mengajar. Mengantar sekolah sejak play group, sampai kelas 1 SD saya lakukan sendiri. Berangkat pulang naik angkot, menuntun Mas Lavy sambil menggendong Dany lalu menunggu di masjid sekolah sambil mengajar ngaji ibu-ibu selama 5 tahun.
Tahun 2006 saya mulai ngajar beneran di sekolah formal, itupun berangkat dan pulang bersama anak-anak. Kemudian saya kuliah lagi, dan menjadi konsultan di beberapa sekolah, dengan tetap berangkat dan pulang berasama anak-anak.
Sampai dengan kelas dua SMA, mereka punya waktu yang sangat leluasa bersama kami, terutama bersama saya. L dan D sering ikut mengajar, mendampingi saya memberi materi seminar dan pelatihan bahkan kadang mereka saya libatkan memberi materi murid SMP atau SMA, atau jalan-jalan bersama kami dan curhat lama.
Tentang kedekatan saya dan anak-anak ini, seorang sahabat pernah berkomentar sinis, “Bagaimana kalau nanti L dan D merantau jika setiap hari selalu cerita apapun ke uminya, ngadu dan curhat. Kapan mereka mandiri? Masak tiap ada masalah, mereka langsung tilp dan minta dipeluk?”. Saya hanya terdiam.
Saya ingat, saat itu Mas L mengalami kasus bullying. Berat, hingga saya harus intens mendampinginya, setiap hari. Memberinya kesempatan menyampaikan perasaannya, membantunya mengatasi traumanya hingga menguatkannya ketika dia harus tiap hari bertemu pembullynya. Begitupun ketika adik D mengalami hal yang sama. Nyaris tiap hari saya harus mendengarkan tangisnya, menenangkan dan juga memeluknya.
Ya. Pelukan, kesempatan mengadu, ciuman, waktu curhat, penguatan dan doa terbaik. Jika tidak pada orang tuanya, pada siapa mereka mendapatkan itu untuk pertama kali?
Lalu apakah yang demikian akan membuat anak tidak mandiri dan tergantung? Tidak juga. Memang ntuk menumbuhkan simpati dan empati, kebiasaan silaturrahim, kesantunan, kepekaan, rutin sowan kyai dan ziarah, kedua anak kami lebih banyak belajar pada saya. Meski ini tidak pernah disengaja dan tanpa teori, ya semua berjalan otomatis saja.
::
Tapi kami juga berharap dia bisa menjadi lelaki yang tegas, bertanggungjawab dan berani. Untuk hal ini saya menyerahkan sepenuhnya pada bapaknya. Sejak kecil mereka melihat bagaimana bapaknya tetap berbicara lembut dengan bahasa Jawa kromo inggil pada saya. Maka mereka tak pernah meninggikan suaranya ketika bersama saya. Malah saya yang sering teriak-teriak nggak jelas 😅🤭
Sejak kecil mereka melihat bagaimana bapaknya mengerjakan pekerjaan rumah. Maka ketika mereka mendapat amanah nyapu, ngepel, cuci piring, masak nasi atau menjemur baju, ya dilakukan semua dengan baik. Meski saya sering mendengar mereka berdua nggrundel dan melihat mereka berantem minta gantian.
::
Satu lagi, tentang uang. Bapaknya sangat tegas mengajarkan pada L dan D untuk mencatat setiap pemasukan dan pengeluaran. Sampai saat ini, jatah bulanan Mas L dan adik D hanya seperempat dari uang saku teman-temannya. Kalau kurang? Mereka boleh minta asal jelas penggunaannya dan dicatat di aplikasi keuangan pada hapenya.
Mereka dilarang meminta uang tambahan pada saya. Dan sayapun dilarang memberi uang tanpa sepengetahuan bapaknya. Sepintas, terkesan kejem bin pelit ya. Tapi saya tahu ini untuk kebaikannya. Maka tiap ada undangan ngisi pelatihan di Jawa Timur, saya selalu berusaha mampir Malang. Disamping untuk ziarah makam orang tua dan sowan saudara atau guru, saya bisa melepas rindu pada Mas L. Saat itu saya bisa mengisi gopaynya, membayarkan laundrynya, titip uang pada warung pecel dan juice, juga memberi sekardus camilan harian.
Tuh kan, saya taat suami lho. Larangannya tidak boleh memberi uang langsung kan? Begitu.
::
Kemarin si kecil juga menyusul ke Malang. “Naik pesawat yang jam berapa Nak?”, tanya saya kalem.
“Naik bis saja Um. Kita antar hanya sampai poll Lorena ya”, kata bapaknya, tegas. Saya terdiam. Pengin nangis rasanya.
“Enak lho Um, bisa lihat laut dan menikmati jalan tol”, si kecil tertawa.
“Uang sakunya, Nak?”, saya bertanya lagi.
“Sudah, Um. Cukup insyaAllah. Paling sekali makan maksimal sepuluh ribu kan. Di Malang nanti mau puasa Senin Kamis lalu belajar puasa Daud aja kayak Mas”.
Saya tercekat. Dia mengatakan itu sambil tersenyum. Benar-benar siap tirakat. Saya nelangsa 😌
Diam-diam saya tilp kakaknya. Mengadukan kondisi adiknya dan menceritakan kekhawatiran saya.
“Tanang, Um. Kami sudah tahu apa yang harus kami lakukan. Kami kan lelaki. Nggak usah khawatir”, kata Mas L riang.
“Tapi, Nak…”
“Menjadi lelaki itu kayak Aby, Um. Berani, tegas, tanggung jawab dan mau berjuang. Tapi kami juga akan selalu ingat yang Umy ajarkan, menjadi penyayang, peka dan santun. Terima kasih ya sudah membuat Mas dan Adik merasa punya bekal cukup merantau, Um. Selebihnya, kami akan belajar pada para kyai dan kehidupan disini. Mohon doa ya Um”.
Saya mbrebes mili. Baiklah, sayang.
“….Jauh jalan yang harus kau tempuh. Mungkin samar bahkan mungkin gelap. Tajam kerikil setiap saat menunggu.
Engkau lelaki kelak sendiri…”.
Selamat belajar dan mengaji, L dan D. Selamat menjadi lelaki sejati. Selamat menjadi pemimpin buat diri sendiri, sebelum kelak memimpin orang lain. Allahu yarham. Kami menyayangimu, Nak 💖
- Bataranila, 07.07.2019 –
Comments