Menyoal Tradisi Belin
2 mins read

Menyoal Tradisi Belin

Oleh : Ustd. Nur Hidayati*

Bulan walimah baru saja berlalu. Dalam Bulan Syawal sampai Bulan Dzulqo’dah biasa ramai walimah, seperti walimatul ‘ursy, walimatul khitan, walimatul hajj, dan walimah lainnya.

Masyarakat di sekitar kita masih kental banget dengan yang namanya belin ketika menghadiri suatu walimah. Belin adalah salah satu tradisi Masyarakat Madura untuk memberi atau mengembalikan pemberian ketika menghadiri sebuah walimah, sedangkan menurut Masyarakat Jawa disebut balen.

Entah siapa yang memulai sampai menjadi tradisi. Apabila seseorang punya belin pada shohibul hajat yang sedang mengadakan walimah maka ia setidak-tidaknya harus mengembalikan belin tersebut walau harus berhutang sekalipun. Sangat miris di hati.

Kebanyakan beranggapan bahwa hadiah, bingkisan, atau sembako (Sembilan bahan pokok) yang disumbangkan pada penyelenggara walimah menjadi belin yang harus dikembalikan pada saat si penyumbang mengadakan walimah. Hal ini menjadikan belin walimah tak ubahnya seperti arisan, yang menang lotre duluan harus mengembalikan dan yang belum keluar lotre-nya bisa “berinvestasi” (nembok) sebanyak-banyaknya. Padahal, hakikat sebuah walimah adalah sebuah bentuk tasyakuran dari penyelenggara walimah sebagai bentuk mensyukuri nikmat yang diterimanya bukanlah sebuah arisan belaka.

Hanya saja sebagai pihak yang diundang untuk merayakan kebahagiaan yang sedang berlangsung, mungkin saja mereka memberikan hadiah sebagai ucapan selamat. Hadiah ini tentunya sebatas kemampuan yang bisa diberikan tanpa ada unsur paksaan yang pasti berbeda kadarnya antara pemberian seseorang dengan seorang yang lain, bahkan hadiah tersebut dapat berupa untaian doa yang tulus dari hati tak harus berupa benda atau barang. Ini semua adalah sebuah kemuliaan yang di dalamnya hadir rasa saling menyayangi. Tanpa harus diberatkan dengan adanya belin.

Hari ini, banyak yang menyadari tentang beratnya belin. Hanya karena harus membayar belin-nya, seseorang berhemat bahkan berpuasa dengan keluarga, sibuk mencari pinjaman, dan lain-lain. Tidak sedikit yang membongkar uang tabungan karena punya belin. Akan tetapi, mereka tak kunjung bersuara apalagi bertindak karena takut akan anggapan dan gosip warga sekitar, padahal kebarokahan walimah dapat berkurang. Alih-alih bukannya mendatangkan kebahagian, belin justru menjadi beban.

Yang demikian itu tidaklah selaras dengan sebuah keterangan dalam Kitab Fathul Qorib Bab Munakahat bahwasanya haram mendatangi sebuah walimah yang diperuntuk untuk orang-orang kaya saja.

Lalu, bagaimana cara memutus mata rantai (tasalsul) tradisi belin  yang sudah mendarah daging di masyarakat? Mulailah dari diri sendiri. Saat memberikan hadiah jangan mengharap dikembalikan. Jika memungkinkan, selenggarakanlah walimah tanpa memungut pemberian undangan atau tak manabi. Cukuplah menyelenggarakan sebuah walimah dengan kadar kemampuan saja, tidak harus megah dan mewah. Kemudian, mulailah memberi pengertian kepada saudara, teman, dan tetangga sekitar agar tidak memberatkan para pihak yang diundang ketika menyelenggarakan sebuah walimah.[]

*Penulis adalah santri aktif Asrama Pondok Pesantren Miftahul Ulum asal Alasrejo Wongsorejo Banyuwangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *