MIMPI BERSUA NABI
Setiap muslim, termasuk kita, jika ditanya apakah mencintai Nabi Muhammad saw. dan merindukan pertemuan dengannya, kemungkinan besar bakal menjawab seragam: iya, sangat. Namun, pernahkah kita mimpi bertemu Nabi? Jika belum, kita patut curiga jangan-jangan sebenarnya kita tidak sungguh-sungguh mencintainya, tidak betul-betul merindukannya.
Dalam tradisi kaum sufi, mimpi bertemu Nabi adalah bagian tak terberai dari tahapan sang salik (penempuh jalan spiritual) dalam pengembaraan ruhaniahnya mendekati Allah Swt. Mereka sangat merindukan perjumpaan itu, kendati cuma berperantara mimpi. Bertemu Rasul menjadi impian mereka; cinta menjadi alasannya dan mimpi bersua adalah refleksinya.
Di banyak pesantren di Nusantara, para santri senior biasanya diajari riyadlah (ikhtiar spiritual) oleh sang kiai untuk dapat bersua Nabi, lewat mimpi. Ada amaliyah (laku spiritual) tertentu yang mesti diamalkan agar bisa bermimpi bertemu sang Musthafa. Mimpi bersua dengannya dikhidmati sebagai gerbang pembuka untuk menerima ilmu sekaligus salah satu pemantas bahwa mereka telah siap dilepas ke medan dakwah kehidupan nyata.
Nabi saw. sendiri, dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah, menegaskan bahwa jika kita bermimpi bertemu beliau, sosok dalam mimpi itu pastilah memang beliau karena setan tak akan mampu menyerupai. Penegasan senada dengan redaksi matan agak berbeda juga diriwayatkan Imam Tirmidzi melalui Abdullah ibn Mas’ud.
Mengutip Ibn Hajar al-‘Asqalany (Fathul Bari, XII, 384), frase “barangsiapa yang melihatku di saat tidur maka sungguh ia telah melihatku” pada hadits tersebut mengisyaratkan bahwa siapa pun yang bermimpi Nabi, melihat penampakannya di dalam mimpi, maka sungguh ia telah betul-betul melihat sosok sang Nabi dengan sempurna layaknya di alam nyata. Sama sekali itu bukan mimpi yang batil. Mimpi tersebut benar berasal dari Allah Swt. dan bukan hasil rekayasa setan karena mustahil setan bisa menyerupai sosok Nabi sekalipun dalam mimpi.
Dalam Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, pemaknaan serupa juga disebutkan. Sosok Nabi yang muncul dalam mimpi seseorang, kata Imam Nawawi, pada hakikatnya adalah sosok faktual dari sang Nabi itu sendiri. Jadi, mereka yang mengalami perjumpaan dengannya lewat mimpi tidak perlu sangsi karena setan mustahil bisa mengelabui dengan menyerupai diri sang Rasul.
Itulah mengapa mereka yang mengalaminya patut bersyukur. Bukan hanya karena tidak semua orang bisa mengalaminya, tapi lebih karena berkesempatan menikmati wajah mulia sang Nabi. Mungkin itu bukan penanda mereka hamba paling saleh hingga Nabi berkenan menyapa lewat mimpi, tapi setidaknya itu isyarat bahwa mereka sungguh-sungguh merindukan beliau yang saking beratnya rindu hingga terbawa ke dalam mimpi tidur mereka.
Mereka yang dijumpai Rasul lewat mimpi memang sudah sepatutnya bersyukur gembira. Tidak semua orang dapat berkesempatan menikmatinya. Apakah kesempatan itu hanya untuk orang-orang saleh? Tidak, demikian dimaklumkan dalam Fatawa al-Imam al-Nawawi. Mimpi bertemu Nabi adalah pengalaman spiritual yang bisa dialami oleh siapa saja, bukan eksklusif untuk hamba-hamba Allah Swt. yang saleh saja, tapi para pendosa bahkan juga berpeluang mengalaminya. Menurut Imam Nawawi, mimpi berjumpa Rasul adalah anugerah kegembiraan dari Allah bagi hamba yang Ia kehendaki, dari kalangan mana pun ia berasal dan bagaimanapun kualitas takwa dan kesalehannya.
Oleh karena itu, kunci mewujudkan mimpi berjumpa Nabi tiada lain ialah dengan memantaskan diri. Menguatkan kerinduan atas Nabi sekaligus menumbuhkan harapan bisa bersua denganya adalah modal yang memantaskan kita untuk disapa olehnya, kendati hanya lewat mimpi. Terus berharap, meski mungkin hidup kita kelewat kuyup bersimbah dosa. Perkenan Nabi untuk menyapa walau dalam mimpi boleh jadi adalah pembuka jalan bagi kita untuk bergerak pulang dari kegelapan menuju cahaya. Begitulah sering diajarkan kiai-kiai pesantren untuk membesarkan hati para santri yang mulai menempuh jalan spiritual.
Di Tarim negeri Yaman, mengutip penuturan sejumlah alumni, anak-anak selalu didorong berupaya untuk dapat bermimpi bersua Nabi sebelum mencapai usia baligh, fase usia pubertas. Untuk kepentingan itu, sedari kecil, anak-anak di sana dibiasakan mendengar cerita berulang-ulang tentang peri kehidupan Nabi. Diharapkan itu dapat menumbuhkan cinta mereka pada sosok Rasul sekaligus memunculkan kerinduan tak terperi padanya. Mimpi bertemu beliau adalah muara yang mereka tuju.
Lalu, bagaimana dengan kita? Seberapa sering kita membawakan cerita tentang Nabi kepada anak-anak kita guna menumbuhkan cinta mereka kepadanya? Dan kita sendiri, sudahkah bermimpi ketemu Nabi? Atau, minimal, pernahkah kita menginginkannya terjadi dalam tidur-tidur kita?
Selamat merayakan Maulid Nabi 1443 H.