Ubudiyah

MUTIARA HIDUP

0

Penulis : Ust. Syukriyanto, S.Pd. I*

Setiap sesuatu memiliki unsur. Unsur hidup merupakan rangkuman dari dzat, sifat, af’al, dan asma’. Asma’ berfungsi sebagai pengenal jati diri. Af’al berguna untuk aplikasi diri. Sifat berakumulasi dengan empunya hidup sedangkan dzat menyatakan kebenaran diri. Esensi dari ke-empat elemen itu berakar pada nur hidup yang dikenal sebagai “Nur Muhammad”. Nur cipta yang berstatus sebagai mutiara hidup yang diidamkan oleh jiwa-jiwa salik yang dirindukan oleh segenap nyawa rububiyah dari hamba terkasih.

Percikan dari mutiara hidup itu menampilkan berbagai elemen hidup yang memancarkan cahaya kehidupan, hal tersebut berdasar pada empat warna dasar yang muncul dari cahaya kehidupan. Warna hijau merupakan interaksi yang kuat dari elemen-elemen tersebut sehingga menampilkan warna-warna baru semisal biru, ungu, jingga, dan seterusnya. Cahaya-cahaya yang muncul dari warna-warna tersebut, merupakan infestasi sifat-sifat uluhiyah, sebelum mengalir pada sifat-sifat insaniyah.

Keempat cahaya itu melambangkan keagungan, keelokan, kesempurnaan, dan keperkasaan dari dzatil maula. Kemudian, lambang itu berubah pada tiap-tiap esensi yang ditempati. Misalnya, sifat keperkasaan berubah menjadi sifat kesombongan ketika masuk esensi iblis, sifat keelokan berubah buruk ketika masuk kepada esensi kedengkian, dan sifat dermawan menjadi sebuah kerakusan atau sifat sabar beralih kepada kemarahan dan seterusnya.

Penting bagi kita untuk menjaga esensi hidup dari mutiara hidup yang senyatanya merupakan hakikat nyawa insan, dengan cara menyuburkan perilaku santun dan damai dalam setiap langkah kehidupan kita sehingga terpancarlah esensi dari unsur hidup dengan sebaik-baiknya dan seagung-agungnya. Oleh karena itu, menjadi nyata rahasia kalamullah dalam surat An-nur ayat ke-35 :

 الله نور السموات و الارض

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.”

Pemancaran cahaya hidup dari mutiara hidup menjadi pengenalan identitas kemanusiaan yang memiliki tiga jenis ragam, yaitu al-basyar (البشر), an-naas ( الناس ) dan al-insan  .(الانسان)Untuk lebih efisien mari kita simak sedikit uraian alquran tentang ketiga jenis ragam tersebut.

  1. Al-basyar (البشر  )

Secarah harfiyah al-basyar berasal dari kata basyarah yang berarti kulit (luar). Manusia di level pertama disebut al-basyar, Karena setiap jasad manusia dilapisi kulit sebagai dinding jalali dzat suci. Al-laits mengartikanya sebagai permukaan kulit pada wajah dan tubuh manusia. Maka dari itu, kata basyarah diartikan mulamasah yang berarti persentuhan antara kulit laki-laki dan kulit perempuam. Disamping itu, kata mubasyarah diartikan sebagai al-wathi’ atau al-jima’ yang berati persetubuhan (Manzhur, 1968 : 124-126).

Ada satu ayat yang menyebutkan basyar dalam pengertian kulit manusia, yaitu (Neraka Sagar) akan membakar kulit manusia atau lawwahah lilbasyar (QS. al-mudassir : 27-29). Kulit manusia berasal dari tanah dengan mengenal asal jasad yang berupa kulit. Diharapkan manusia menyadari bahwa kelak ketika ia mati akan dikubur sebagai sarana pengembalian dan pertanggung jawaban atas kulit jasadnya.

2. An-naas (الناس )

An-naas berarti yang terlepas. Manusia di level kedua disebut sebagai an-naas. Bermula ketika bayi melantangkan suaranya dengan jeritan yang oleh kebanyakan manusia awam diartikan sebagai pertanda kelahirannya. Jeritan itu diasumsikan oleh para alim sebagai sebuah penyelasalan karena terlahir di kehidupan yang tidak seindah sewaktu ia (bayi) berada di kandungan rahim sang ibu. Sedangkan menurut para arif lagi bijak, jeritan bayi itu menyentuh dan menyayat relung hati.

Diantara ayat-ayat yang mengungkap tentang identitas dan kualitas an-naas terhantar sebagai berikut :

  • Butuh pada yang maha kuasa

يا ايها الناس انتم الفقراء الى الله                

“wahai manusia, kalianlah yang butuh kepada Allah.”

  • Kesadaran berketuhanan

يا ايها الناس اعبدوا ربكم الذى خلقكم و الذين من قبلكم لعلكم تتقون

 “Hai manusia, sembahlah tuhanmu yang telah menciptakan dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS. al-baqarah : 21).

  • Kesatuan hidup

يا ايها الناس اتقوا ربكم الذى خلقكم من نفس واحدة

“Wahai manusia, bertaqwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu.” (QS. an-nisa’ : 1)

  • Kedekatan tuhan dengan manusia.

قل اعوذ برب الناس. ملك الناس. اله الناس.  

“Katakanlah (Muhammad) aku berlindung dengan tuhan manusia. Dzat yang menguasai manusia. Tuhan manusia.”

Dari beberapa ayat tersebut, dapat ditarik pemahaman secara global bahwa manusia di level yang kedua disebut an-nas sebagai suatu peringatan dan kesadaran.

3. Al-insan ( الانسان )

Istilah al-insan dalam alquran untuk menggambarkan keistimewaan manusia. Manusia merupakan makhluk yang berilmu serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmunya, karena Allah memberi potensi untuk itu. Manusia diberikan oleh Allah kemampuan tersebut agar dapat memikirkan kebesaran-kebesaran-Nya. Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna.

Kesempurnaan rahasia itu menjadi kunci utama manusia mengenal dirinya dan mengenal hakikat tuhannya.  “يا ايها الانسان انك كادحا الى ربك كدحا فملاقية”(Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu maka pasti kamu akan menemui-Nya). (Qs. Al-insyiqaq : 6)

Daripada makhluk yang lain, terdapat pada segala aspek baik lahiriyah maupun bathiniyah. Keutamaan manusia daripada makhluk yang lain adalah akal, hati, dan rasa. Rahasia Allah yang ada pada diri manusia adalah rahasia ketuhanannya yang paling sempurna. Sebagaimana termaktub dalam kitab “Daqoiqul Akbar“, karya al-Imam Abdullah bahwa Allah telah mencipta nyatakan nur gemilang dari pohon yang diberkahi bernama “Syajaratul Yaqin” yang berarti pohon hidup dimana didalamnya bernaung mutiara hidup yang dikenal dengam sebutan “pelita didalam kaca”. Kaca itu adalah rasa dan yang bintang mutiara adalah sukma ning rasa. Uraian tentang “minyaknya saja hampir-hampir menerangi”, yang merupakan percikan nur gemilang dari pelita jiwa suci yang dikenal dengan “Cahyani Sukma” atau cahya nur urip atau cahya nur sejati.

Dikatakan oleh kaum arifin (pribadi-pribadi yang mengenal hakikat diri),  “من لم يذق لم يعرف”(Siapa yang tidak merasakan maka dia tidak mengenal). Ketika dikatakan siapa yang mengenal dan siapa yang dikenal adalah yang mengenal. Sederhananya, jiwa mengenal pribadinya dan pribadi mengenal jiwanya. Sebagaimana didawuhkan, ) “من عرف نفسه فقد عرف ربه “siapa yang telah mengenal dirinya maka sungguh dia telah mengenal tuhanya).

Untuk mengenal diri, perlu bagi kita memahami esensi diri dengan mengenal struktur diri, dimana diri itu terlapisi oleh dzat sedangkan dzat tertirai oleh hidup. Hidup terbingkai oleh nur dan nur tertutup oleh sir sedangkan sir itu terlingkupi oleh ruh. Ruh bertahta di dalam hati sedangkan hati menjadi tumpuan akal dan akal-pun bersentuhan dengan nafas serta nafas terbungkus oleh jasad dan terakhir jasad menjadi tameng jalali rabbi, yang maha sempurna lagi berdiri sendiri mengitari alam semesta dengan kokoh lagi perkasa bersama rahmat serta keagungan-Nya.

*) Penulis adalah guru Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah Miftahul Ulum.

MEMANFAATKAN WAKTU

Previous article

Simulasi Ujian MAMU Ditemani Kepala Kemenag

Next article

You may also like

Comments

Comments are closed.

More in Ubudiyah