Risalah Cinta Ning Evi Ghozaly

NDOSEN

0

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Pak dosen muda ini sudah mengajar sejak 4 tahun lalu, sejak tingkat satu menjadi mahasiswa Univ Brawijaya. Awalnya volunteer saja, tanpa gajian. Alhamdulillah, sebagai emak saya bersyukur dia paham bahwa zakatnya ilmu ya mengajar. Itu pun, harus dimulai dengan pengabdian. Tanpa mikir bayaran. Begitulah yang dicontohkan para guru dan orang tua.

Dari merancang silabus, menyiapkan materi, memilih metode dan strategi, semua dilakukannya dengan serius. Mandiri. Setiap hari Sabtu, sulung kami ini menyiapkan semua. Ada 30 peserta belajar dari 10 negara yang rajin mengikuti programnya setiap Ahad malam. Perancis, Inggris, Jepang, Singapura, Philipina, Amerika, Austria, Turkey, Spanyol. Saya juga nggak tahu, dari mana dia dapat jaringan itu.

Beberapa kali saya mengikuti kelasnya, langsung. Di dekatnya, di hadapannya. Menyaksikan dia menggawangi proses belajar Bahasa Indonesia dengan pengantar Bahasa Inggris, bersama para profesional matang. Bahkan ada yang berusia sama dengan Abinya.

::

Nuwun sewu. Saya tahu banget, menerapkan andragogi itu tidak mudah. Saya telah mengalami mengajar orang dewasa dan sering menemui hambatan satu dua. Apalagi ini, dilakukan oleh anak muda umur delapan belas. Saya membayangkan betapa sulitnya dia menenangkan audiens, menyampaikan poin penting dan menggiring semua agar target tercapai.

Lha tibaknya alhamdulillah enteng. Enjoy banget dia. Santai kayak di pantai. Kesan sabar jelas terlihat. Pendekatan yang dipilih kereeen. Santun, tidak sok menggurui. Full senyum dan terus memotivasi. Riang. Gayanya menciptakan suasana belajar yang menyenangkan itu lho. Amboi. Saya aja seneng banget ngikutinya.

Tahun ketiga saya bertanya, “Nggak bosen, Nak?”

Enggaaaaak jawabnya, spontan. Apalagi setelah dia mendapat penghargaan apa gitu. Makin semangat. Dia punya tim sekarang. Ada dua sahabat yang membantunya dalam program ini, Kak Yohanna dan Kak Kevin.

“Mengajar itu asyik banget. Karena dituntut harus terus belajar sebelum masuk kelas. Harus sabar. Harus sepenuh hati. Berinteraksi dengan beragam orang dan karakternya. Ngapunten Um, bukannya pesan Mbah memang gini ya. Menjadi apapun kelak, kita tetap harus telaten mengajar kan? Saya ingin belajar banyak hal, beragam bidang, tapi tetap akan menyediakan waktu untuk mengajar. Profesi apapun nanti yang terpilih, saya tidak ingin meninggalkan amanah menjadi guru. Mohon doa nggih, Um.”

Maknyes hati saya. Dia telah menemukan jalan hidupnya, meneruskan perjuangan pendahulunya. Menjadi guru. Alhamdulillah.

::

Setelah dia wisuda, ketua STIT Darul Fattah Ust Langgeng Sutopo memintanya untuk mengajar. Khusus kelas mahasiswa penerima beasiswa KIP (Kartu Indonesia Pintar). Di semua kampus ada kan? Iya, dia dapat dua mata kuliah. Mengampu Teknologi Informasi dan Bahasa Inggris. Dua bidang yang sangat dicintainya, sejak dulu kalaaa.

Tentu online, karena dia berada di ibu kota yang berjarak ratusan mil dari kampusnya. Sepekan sekali, pada tiap wiken. Dua jam saja.

Ketika dia menerima tawaran ini, saya dan Abi oke saja. Yang penting tidak menggeser tanggung jawab utama. Trus saya sowan Ust Langgeng, mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan dan menitipkan dalam bimbingannya.

*Ngendikan emak dulu, bukan cuma ketika anak mau sekolah dan mondok, kita menitipkan pada guru. Pas mau kerja pun kita titipkan anak pada pimpinannya. Ya kalau tidak mungkin memasrahkan karena berbagai alasan, minimal kita akad sambil membayangkan saja. Sambil berdoa semoga dimana anak kita berada, selalu dipertemukan dengan orang baik.

::

Pertemuan pertama di kelas, dia membuat suasana krik krik. Penampilannya mbapak banget, pake kopyah dan batik haha. Udah gitu dia terus menggunakan Bahasa Inggris, padahal para mahasiswanya terbiasa berkomunukasi dengan Bahasa Arab. Ampun dah.

Pertemuan kedua dan selanjutnya alhamdulillah lancar. Menerangkan teori dengan analog ala pesantren, mengajak ngapalin tenses dengan lagu sholawat, memberi waktu praktik percakapan dengan sangat telaten. Jian emaknya kalah pokoknya. Alhamdulillah.

Tepat satu bulan, dia kaget pas nerima gaji. Sampai kosan dia tilp, “Umi, ini dapat transferan dari kampus. Banyak banget. Ya Allah alhamdulillah.”

Anak ini memang ekspresif. Rasa syukurnya tinggi. Penghargaan sekecil apapun, membuatnya berbinar. Apresiasi dalam bentuk apapun, membuatnya bahagia. Duit berapapun, selalu dianggapnya banyak. Alhamdulillah.

::

Bulan depan memasuki semester baru. Ganti kelas. Berbeda angkatan mahasiswa. Dia pasti bahagia.

Dia masih di Jakarta, belajar banyak hal baru yang pasti menyenangkan. Mungkin saja dia akan memantapkan profesi di bidang terakhir yang dia geluti. Bisa jadi, suatu saat akan belajar hal baru lagi. Atau kembali pada cita-cita semula, mengejar kesempatan studi Es Dua. Apapun pilihannya, kami mendukungnya. Selalu mendoakannya.

Terima kasih, Mas Lavy. Terima kasih untuk telah istiqomah belajar dan berbagi. Terima kasih, Nak. Panjenengan sudah menjadi contoh bagi kami bagaimana gigihnya berjuang, belajar dan mengabdi. Mohon maaf jika kami ada kurang nggih. Mohon berkenan terus menjadi sahabat dan guru kehidupan kami.

Hei, Mas Lavy masih suka nasi uduk gang Ratu kan? Atau pecel uleg warung Mbak Ndris? Pas pulang nanti, kita sempatkan nongki di sana ya, Nak 😀

  • Bataranila, 17 Juli 2023 –

📷 Nyuri-nyuri saya skrinsut di hari terakhirnya ngajar sebelum kampus liburan 😅

SENYUM SAPA

Previous article

Selamat Tahun Baru Islam 1445 H

Next article

You may also like

Comments

Comments are closed.