NILAI SEBUAH KEWASPADAAN
4 mins read

NILAI SEBUAH KEWASPADAAN

Penulis: Ust. Syukriyanto, S.Pd.I*

Suatu waktu ketika penulis lalai mengingat Allah dalam dzikir, Dia pun langsung menegur dengan menjatuhkan kotoran burung tepat di pinggir depan kopyah penulis. Dalam keadaan yang tidak mengenakkan itu terdengar suara yang tegas lagi mantap:

اَلذِّلَّةُ لِمَنْ نَسِيَ اللهُ وَلَوْ لَحْظَةً

Artinya: Kehinaan bagi siapa yang lupa kepada Allah walau sekejap ( 1-2-1423 H ).

Kejadian itu mengingatkan penulis pada sebuah ungkapan bahwa ”Allah Maha Pencemburu”. Dia tak rela bila orang yang dikehendaki melupakan-Nya. Dalam hal ini, kewaspadaan memiliki potensi nilai yang sangat berarti bagi kelestarian dzikir agar tak gampang terjangkit kealpaan. Kewaspadaan muncul dari rasa khasyyah (takut kehilangan eksistensi diri terhadap hubungan yang terjalin baik dengan Allah). Rasa takut akan menyebabkan seseorang mengikat dirinya agar hubungan yang sudah terbina dapat berjalan seiring dalam pusat kekuatan dzikir.

Saat itu, teguran Allah tersebut kurang memberi dampak yang kuat dimungkinkan kurangnya antusiasme penulis terhadap perenungan diri atas peritiwa yang terjadi yang tentunya hal ini terhubung dengan energi hidayah. Tanpa hidayah Allah kita tak dapat melangkah lebih maju dalam memperoleh hasil yang dituju termasuk dalam pencapaian kema’rifatan.

Dengan pemeliharaan kewaspadaan kita yang didorong oleh hidayah melalui berkobarnya api semangat untuk meraih cita-cita maka penyakit lupa tidak mudah hinggap dan melalaikan hati untuk berdzikir. Ada tiga jenis penyakit lupa yang dapat kita pelajari.

Pertama, An-Nisyan (النّسيان  ), yaitu lupa yang didorong oleh tabiat kemanusiaan. Jika dalam kelalaian ada indikasi kesengajaan seperti kita mendengar adzan kemudian kita tdak segera melaksanakannya maka lupa dalam posisi ini berpotensi tertirainya hati dari percepatan rahmat Allah. Lupa yang berbobot kedholiman adalah adanya unsur kesengajaan dalam perbuatan yang dilarang. Imbalan bagi pelakunya ialah Adz-dzillah (kehinaan).Begitu pula bagi pribadi yang telah memperoleh “celupan Ilahiyah”, sedetik kelalaian yang terjadi pada mereka berakibat diberikannya “kehampaan yang tak bernilai”, yaitu suatu kondisi jiwa yang kerdil lagi pengap. Setiap kelalaian yang timbul dari “nisyan” pasti akan memperoleh hukuman yang setimpal sebagai bukti keadilan Allah bagi jiwa yang masih terhalang dari kebenaran. Hal itu menjadi nasehat yang baik bagi kemaslahatan jiwa yang telah memperoleh sentuhan nur ilahiyah. Dalam sebuah hadits telah disebutkan:

اَلْإِنْسَانُ مَحَلُّ الْخَطَاءِ وَالنِّسْيَانِ

Artinya: Manusia itu adalah tempat kesalahan dan kelalaian.

Selagi manusia terlepas dari kesalahan dan kelalaian maka Allah menganugerahkan sifat ”kuasa-Nya” atas segala  makhluk. Disebutkan dalam Qs. Yasin ayat 71-72:

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِمَّا عَمِلَتْ أَيْدِينَا أَنْعَامًا فَهُمْ لَهَا مَالِكُونَ

وَذَلَّلْنَاهَا لَهُمْ فَمِنْهَا رَكُوبُهُمْ وَمِنْهَا يَأْكُلُونَ

Artinya: Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka, yaitu sebagian dari apa yang telah kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya; Dan kami tundukkan binatang binatang itu untuk mereka; maka sebagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebagian mereka makan.

Kedua, Al-Ghuflah (الغفلة), yakni lupa yang tak disengaja. Kepada pelakunya tak ditimpakan dosa karena tak ada unsur kesengajaan. Al-Ghafil adalah al-maghful, yang lupa adalah yang terlupakan dikarenakan kehendak Allah SWT. Maqam atau level al-ghuflah hanya berlaku bagi orang awam. Namun, ketika mereka tersadar akan kelalaian dan kemudian membaca istighfar itu lebih baik ketimbang mereka yang tidak menyadari kelalaiannya. Dalam Qs. An-Nashr ayat 1-3 disebutkan:

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1) وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (2) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (3

Itulah gambaran keutaman istighfar yang dilaksanakan dengan kesadaran akan banyaknya kesalahan berupa lalainya diri terhadap berbagai nikmat Allah Swt. Sementara itu, al-ghuflah juga mencerminkan pengokohan keimanan seperti isyarat makna dari Qs. Hud ayat 3 berikut ini;

وَّاَنِ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَّتَاعًا حَسَنًا اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى وَّيُؤْتِ كُلَّ ذِيْ فَضْلٍ فَضْلَهٗ ۗوَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنِّيْٓ اَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيْرٍ – ٣

Ada juga bentuk istighfar yang lebih akurat, yakni beralih  dari pengucapan lisan pada laku iman dan dakwah atas dasar keimanan. Dengan begitu, dosa-dosa pelakunya terampuni berkat ketulusan dan kemantapan imannya sebagaimana termaktub dalam Qs. Yasin ayat 20-27.

Terakhir, ketiga, As-Sahw (السهو), yaitu lupa karena terlalaikan oleh kesibukan akan suatu hal. Jika kelalaian disebabkan oleh asyiknya berdzikr maka kelalaian terhadap kewajiban yang lain tidak mendatangkan kemudlaratan atas diri dan kepribadiannya. Namun, jika kelalaikan dalam pelaksanaan kewajiban disebabkan berpindahnya ingatan kepada hal-hal yang berbau duniawi maka dosa sebagai imbalannya. Sejatinya as-Sahw adalah berubahnya nuansa nilai akhirat (kebaikan ) kepada perihal keduniawian (keburukan). Dalam Qs. Al-Ma‘un ayat 4-5 disebutkan:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ{4} الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ{5}

Artinya : Celakalah bagi orang-orang yang (mengerjakan) sholat; yaitu mereka yang di dalam shalatnya lalai.

Demikianlah, menjaga dan memelihara keutuhan dzikir amatah penting sebagai sarana diri meraih kewaspadaan yang bernilai agung dalam upaya mendapatkan ridla-Nya.[]

*) Penulis adalah Guru Madrasah Diniyah dan Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *