
PANGKAT
Penulis : Ning Evi Ghozaly
Saya bukan pegawai negri. Tak paham urusan pangkat dan golongan, tapi dalam bayangan saya IV/d itu pangkat dan golongan tinggi kan ya?
Nah, beberapa hari lalu saya mendapat undangan rapat sebuah organisasi profesi pendidikan. Anggotanya beragam: kepala sekolah, pengawas, pengelola lembaga pendidikan, kaprodi, dan rektor.
Saya yang jadi pengurus bagian ecek-ecek datang terlambat. Duduk mlipir di belakang. Kok ya pas nama saya dipanggil untuk menyampaikan saran tho.
“Terima kasih atas kesempatan ini. Mohon maaf ya…untuk tugas utama, saya belum melakukan banyak hal. Hanya ini dan ini. Tapi jika diperkenankan, saya akan menyampaikan saran terkait…”
Seseorang menoleh ke saya dengan spontan. Sreeet, lalu melengos. Saya ndredeg, Gaes. Apa saya salah bicara ya?
Tepat ketika saya salam menutup saran, beliau angkat tangan.
“Jangan sembarangan menyampaikan saran terkait poin ini. Pengalaman saya sudah lama dan banyak. Saya ini kepala sekolah pertama di kabupaten saya, yang sampai pada pangkat dan golongan empat D”.
Saya mlongo. Lama. Seorang sahabat di sebelah, nyenggol saya, “Njenengan golongan berapa, Diajeng. Jangan asal usul donk,” sambil tertawa meledek.
Sampai dengan sekian menit berikutnya, forum didominasi oleh beliau. Sedikit saja ada yang menimpali, bakal kesantab habis. Teruuus, beliau menjelaskan entah apa, saya roaming. Yang saya dengar, beliau berulang kali mengatakan “saya ini sudah empat dhe”. Suaranya lantang, pilihan katanya keras, kalimatnya tak pernah putus. ?
Krik krik. Semua diam, mendengarkan. Ada seorang sahabat yang cukup peka, langsung berdiri merekam haha.
Adzan. Saya berdiri, meletakkan jari telunjuk kanan di bawah telapak tangan kiri, memberi isyarah pada tiga pemimpin forum. Ah, betapa sabar guru-guru saya di depan ini. Skors. Sholat ashar.
Saya menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya pelan. Seperti usai ikut lomba lari mengelilingi lapangan bola lima kali. Menggeh-menggeh ngos-ngosan, Gaes.
Saya tak berani berkomentar apapun. Dua orang mendekat, “Boleh minta waktu konsultasi dan belajar istikharah?”. Saya menggeleng pelan, masih shock. Istighfar ya, sabar, tepuknya di pundak saya.
Saya baru ngeh ketika dosen saya mengatakan pelan, “Saya lelaki. Saya hanya membayangkan, betapa kasihannya suaminya ya”. Semua ngakak. Saya ikut tertawa, getir.
Betapa ternyata, banyak orang memilih diam untuk menjaga perasaan liyan. Jangan-jangan, saya yang kadang mendapat tepuk tangan tiap turun panggung, sebetulnya sangat pantas dicibir dan dicaci di belakang. Sangat mungkin, kan?
Saya memang tak punya pangkat dan jabatan, dulu, sekarang atau selamanya. Karena saya bukan pegawai negri.
Saya hanya ingin bahagia dan selamat dunia akhirat, bersama keluarga saya. Selamanya. Syukur-syukur jika dapat bermanfaat untuk sesama, dengan apapun yang saya bisa. Duh, receh banget ya cita-cita saya ?
Al-Imām al-Syāfi’i berkata: “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliaannya.” (Syu’ab al-Imān, Al-Baihaqī)
Tapi, awas, Vie. Jangan-jangan engkau menulis ini agar dianggap rendah hati? Duh, Gusti Allah ?
- Bataranila, 03.10.2019 –