Risalah Cinta Ning Evi Ghozaly

MEDSOSMU, HARIMAUMU

0

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Kemarin, saya membaca statusnya Mbak Desi Natalia yang dahsyat. Mohon ijin saya copas sebagian ya:

“Gak sengaja mendengar percakapan tiga mahasiswa kedokteran (semua pake jas lab kedokteran) di parkiran pas samping mobil, sepertinya lagi menunggu seseorang.

Baju batik kuning: “Itu kan Shely?” sambil menunjuk gadis manis di seberang jalan.

Baju batik biru: “Ho oh,” langsung memalingkan mukanya.

Baju batik merah: “Kok gitu reaksi elo? Doi pernah cerita ke gua, doi suka banget ama elo, kan elo juga pernah cerita ke gua, kalau elo juga naksir ama doi. Cocoklah kalian berdua, elo asdos diidolakan cewek-cewek, dia cantik idola mahasiswa”.

Baju batik biru: “Gua suka ama dia, tapi gua pernah lihat akun medsosnya, ditag oleh emaknya, gilaaaaa Men. Isi akun emaknya parah. Beda pendapat ama tetangga, diunggah. Gak suka ama saudara, diunggah. Beda pilpres, apalagi. Enak kalau bahasanya santun, bahasanya caci maki, hujatan dan bully semua, gak ada benernya orang di tulisan beliau. Ngeri, Bro. Ganas banget. Kan gak lucu kalau nantinya gua atau keluarga gua juga ikutan diunggah kalau beliau gak suka.

Menjalin hubungan bagi gua itu suatu hal serius. Gua gak mau main-main. Daripada terlanjur cinta mati, lebih baik… aku mundur alon- aloon…(sambil nyanyi ) hahaaa,” ngakak.

Seorang sahabat saya, direktur utama sebuah perusahaan besar, bercerita, “Sejak beberapa tahun lalu, perusahaan kami mewajibkan pelamar menyertakan alamat akun medsosnya. Ada tim khusus yang akan skrol dan menyelidiki apa saja yang diunggahnya. Status, video, bahkan sampai sebagian komennya. Dan jika ditemukan beberapa hal yang dipastikan bertentangan dengan visi dan aturan kami, ya mohon maaf, kami tak akan menerimanya”.

Terakhir, saya dengar, perusahaannya juga mendata akun sosial media seluruh karyawan.

Seorang sahabat lain memindahkan anaknya dari sebuah sekolah negeri karena membaca efbi wali kelas dan beberapa gurunya sangat heboh menjelang pilpres April 2019 lalu.

“Tak masalah siapapun calon presiden yang didukung guru-guru di sana. Tapi, saya tak mau anak saya diajar oleh orang yang ringan mencaci, menghujat, dan memaki. Anak kami masih kelas 1 sekolah dasar. Apa jadinya kalau sering mendengar ujaran kebencian? Lima tahun lagi pilpres lagi. Bagaimana donk?!”

Begitulah. Jika dulu kita mengenal “mulutmu harimaumu”, kini ada “medsosmu harimaumu”.

Apa yang kita tulis dan share di medsos juga akan awet, bahkan masih bisa diskrinsut sebelum terhapus. Tadi pagi, saya melihat akun Husnun N Djuraid, pemimpin media dan salah satu guru jurnalistik saya. Beberapa waktu lalu, beliau yang sangat telaten mengajar menulis saat saya masih putih abu ini, wafat. Akun efbinya masih ada, dan saya bisa menyaksikan banyak kebaikan yang beliau posting. Ajakan sholat dhuha, cerita tentang kota, dan mengingatkan puasa sunnah.

Spontan saya nyekrol instagram dua anak saya. Aman. Foto dan captionnya manis. Bahkan storygramnya juga dewasa, saya aja kalah. Tuh kan, saya lupa mengawasi dan menilai diri sendiri.

Lalu saya otewe ke efbi kedua anak saya. Taraaa, ternyata nyaris semua isi akun efbi mereka adalah postingan saya.

Sampai di sini saya teringat ngendikan Dzun Nun Al-Mishri, “Tidak seorang pun yang menulis sesuatu, kecuali akan diuji. Yang ditulis kedua tangannya akan terus ada sepanjang masa. Maka, janganlah kau tulis dengan tanganmu, selain sesuatu yang akan membuatmu senang untuk kau lihat kelak di hari kiamat.”

Duh.

– Bataranila, 04 Oktober 2019 –

Wakili Banyuwangi, Az-Zuhroh Hadiri Training di Surabaya

Next article

You may also like

Comments

Comments are closed.