PDNU DAN MITIGASI COVID-19
Penulis: Ning Evi Ghozaly
“Bagaimana dengan tuduhan dari satu dua orang bahwa dokter sengaja memvonis pasien positif C-19 agar…”, saya menyampaikan pertanyaan keempat.
Gus dokter Niam yang humoris ini tiba-tiba sangat serius. Wajahnya tegang, suaranya bergetar, “Demi Allah. Tak ada dokter yang sengaja mengovidkan pasien agar dapat uang. Saya jamin, nggak ada. Demi Allah”.
Saya klakep. Terdiam. Sebagai host, saya tak tahu harus memberi reaksi seperti apa. Rasa empati membuncah. Tiba-tiba saya merasa ngilu.
“Kami sudah berjuang melakukan yang terbaik. Semua kemampuan kami kerahkan. Bahkan dokter yang harusnya sedang tidak bertugas, semua bahu membahu. Keluar. Mengapa masih ada yang tega menuduh kami melakukan hal tak bermartabat itu?”
Saya masih speechles. Hanya bisa mengangguk. Rasa haru menyeruak. Host nggak boleh baper, saya ketuk kepala saya. Beruntung produser memberi kode lewat suami saya. Cut.
Alhamdulillah. Saya clossing segmen kedua.
Iklan.
::
Dokter Muhammad S. Niam adalah ketua Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama. PDNU ini terbentuk atas inisiatif PCNU Malang dan dikukuhkan Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj pada 15 April 2017.
“Sebagai organisasi profesi bagi para sejawat dokter NU yang semakin banyak jumlahnya. Semoga PDNU segera dapat menjadi badan otonom di bawah PBNU dan bisa memberi manfaat optimal bagi masyarakat Indonesia”.
Saya berhasil nylimur, menanyakan tentang PDNU, Gus dokter praktik dimana saja, dan pertanyaan ringan lain.
Tapi saat perbincangan kami sampai pada poin PDNU dan mitigasi covid, suasana kembali entah. Gus dokter putra KH. Masduqi Mahfud allah yarham, pengasuh PP Nurul Huda Mergosono Malang dan ketua Syuriah PBNU 2010-2015 ini menjelaskan berbagai fakta miris. Bahwa upaya PDNU mengedukasi masyarakat lewat berbagai cara, sering terbentur pada berita hoax, issue dan pernyataan beberapa tokoh yang justru tak percaya virus C-19 atau abai pada protokol kesehatan.
“Ayolah. Garda terdepan itu panjenengan semua. Masyarakat. Kami, dokter dan tenaga kesehatan ini justru menjadi gawang terakhir. Maka ayo jaga kesehatan. Jika semua kompak saling menjaga, insyaAllah semua selamat”.
::
Ya. Selama pandemi, saya sudah kedatangan dua dokter sebagai nara sumber. Selalu membuat saya baper. Baper tingkat poll notog. Saya bahkan pernah menangis tersedu saat memandu acara tahlil akbar untuk para dokter, nakes dan ulama yang wafat selama pandemi. Saya juga selalu migring-migring tiap akan membuka group WA yang fokus pada upaya mitigasi C-19. Karena di WAG itu, nyaris tiap hari ada kabar tokoh ini wafat atau di pesantren itu ada santri terpapar. Duh.
Maka saya tak sampai hati membayangkan bagaimana kondisi semua dokter yang tiap hari berjuang mendampingi para pasien. Mengenakan APD lengkap selama 8 jam tanpa bisa makan dan minum, bahkan usai melepas APD kadang baju bisa diperas karena keringat membanjir. Selalu waspada agar tak tertular virus karena mereka juga memiliki keluarga, tapi harus tetap sabar megobati pasien.
Ngunu kie lho, kok ya masih ada yang kewetu menuduh dokter macam-macam. Jian, mentolo tenan kok.
Sebelum saya menulis ini, saya sempat menghubungi Gus dr. Niam lagi. Menanyakan tentang statemen Cak Moeldoko agar rumah sakit tidak mencari untung dari data kematian covid.
“Pernyataan Bapak Moeldoko itu urusannya bukan hanya di dunia. Tapi akan dipertanggungjawabkan sampai ke akhirat. Kalau memang ada yang melanggar, silakan segera diproses. Gunakan pedoman Kemenkes. Tapi mbok jangan sembrono membuat pernyataan”.
::
Woke. Ikuti perbincangan yang sempat mengacak-ngacak emosi ini ya, Gaes. Kiswah Interaktif di Ahad, 04 Oktober 2020, pkl 16.30.
Selamat berjuang untuk PDNU, seluruh dokter dan tenaga kesehatan. Semoga pandemi segera berlalu.