PEMBIAYAAN PENDIDIKAN
6 mins read

PEMBIAYAAN PENDIDIKAN

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Saya belum bisa menulis tentang manajemen pembiayaan pendidikan di tingkat sekolah. Saya juga belum bisa sharing tentang dampak pandemi terhadap banyak lembaga pendidikan. Tapi saya ingin bercerita pengalaman saya sebagai anak dan orang tua terkait pembiayaan pendidikan ini. Boleh ya?

Saya anak ke-enam dari sembilan bersaudara. Bapak saya kepala Kantor Urusan Agama (KUA), hanya ASN golongan II-B jaman itu. Selain ngantor, kegiatan bapak saya istiqomah mengaji dan mengajar mengaji, di rumah atau masjid-masjid. Ibu saya pyur di rumah, mendidik anak-anak dan mengajar mengaji. Kami memiliki sepetak dua sawah, tak banyak. Jadi, bisa dibayangkan berapa penghasilan orang tua saya nggih?

Herannya, bapak saya nekad menyekolahkan semua anaknya ples mondok. Sembilan anak. Benar-benar nekad.

Saya tahu betapa orang tua sering cemas tiap akan memasuki tahun ajaran baru. Satu anak masuk TK, kakaknya masuk SD, atasnya masuk SMP dan SMA, kakaknya lagi kuliah. Begitu terus, muter. Bukan hanya uang pendaftaran yang harus disiapkan, tapi juga seragam, buku, sepatu, tas dan alat tulis.

Saya paham bagaimana perasaan orang tua ketika awal bulan. Catatan jumlah SPP yang harus dibayar sudah berderet. Panjang.

“Besok tanggal satu, Nak. Tidak usah khawatir, Allah maha kaya. Ayo kita kencengin doa dan tirakat ya,” ngendikan umi, ibu kami.

Sering Abah, bapak kami, memberi motivasi, “Pendidikan sangat penting. Jadi mohon maaf, tak apa ya Nak, kebutuhan lain minggir dulu. Yang penting bisa mengaji dan sekolah.”

Mendengar ngendikan beliau, saya selalu menunduk dalam. Diam. Banyak hal yang dikorbankan orang tua demi agar anak-anaknya bisa menuntut ilmu. Jarang membeli baju, tak pernah bepergian jika tak benar-benar perlu, bahkan kadang harus menggadaikan sawah agar terhindar dari hutang yang tak akan mampu dibayar.

“Vie, panjenengan akan bisa mendapatkan apa yang panjenengan inginkan kelak. Keliling Indonesia, pergi ke luar negeri, punya banyak buku dan tanah kebun luas. InsyaAllah. Tapi sekarang sabar dulu nggih, Nduk. Pendidikan nomer satu.”

Sungguh. Kalimat yang penting ngaji dan sekolah, akhirnya menjadi semacam mantra dalam hidup saya. Konsep bahwa pendidikan nomer satu, menancap erat dalam otak dan hati saya. Sampai detik ini. Ini pula yang saya turunkan pada anak-anak dan selalu saya sampaikan pada adik-adik santri, dimanapun.

Sabar dan tirakat, tapi juga tetap harus merawat harapan dan cita-cita. Saya tak pernah berani bilang ingin buku ini. Saya tak pernah matur ingin ke kota itu. Apalagi untuk ke luar nageri. Tapi ngendikan Abah ternyata menjadi sugesti. Yang tanpa sadar melekat dalam hati, menjadi mimpi.

Sekian tahun kemudian, semua yang dikatakan Abah itu terwujud. Semua bisa saya nikmati. Semua, tanpa kecuali. Keliling Indonesia, berkali-kali ke luar negeri. Ribuan buku. Tanah dan kebun. Allah…saya menangis ketika menulis ini. Karena Abah tidak pernah sempat melihat doa indah itu dikabulkan Allah 😢

::

“Apakah Abah berkenan jika kami meminta keringanan ke sekolah?”, suatu hari saya memberanikan diri bertanya.

Abah, sosok yang sangat berwibawa. Untuk saya, dehem atau batuk beliau saja, mampu membuat makjleb. Bahkan kadang, saya langsung mlentiung ngiiiik begitu mendengar langkah kaki beliau mendekat. Momen kedekatan kami adalah tiap saya diminta menginjak-injak kaki atau mijiti tangan beliau. Sambil Abah bercerita masa perjuangan mengusir penjajah. Cerita yang sampai sekarang sangat saya hapal, karena berulang saya dengar. Nah, saat seperti itu saya berani curhat dan matur segala hal tak penting.

Berbeda dengan Umi, sosok ibu yang sangat hangat. Dekat dengan semua anaknya, lekas akrab dengan semua orang. Pendengar yang baik. Kesabaran Umi sundul langit. Selalu tenang, tanpa gelombang.

Jadi, wadul ke Umi akan dapat elusan di kepala, pelukan dan doa. Curhat ke Abah akan dapat tangan terkepal, sorot mata penuh nyala dan kata-kata penyemangat. Perpaduan yang sempurna. Jadinya ya kayak saya ini nih, alus lembut tapi juga bisa senggol bacok 🙈

“Maksud panjenengan, Nduk?”

“Meminta diskon uang SPP misalnya. Pareng nggih, Abah?”

“Enggak. Kalau bisa dapat beasiswa, bagus. Kalau minta keringanan, tidak. Diantara sumber pembayaran guru itu, ya dari SPP murid. Bayangkan bagaimana kalau separo murid minta keringanan, Nduk.”

Saya terdiam. Sekian puluh tahun kemudian, setelah saya menjadi konsultan pendidikan, saya baru ngeh, betapa hebatnya Abah. Sudah paham tentang manajemen sekolah di jaman rikolo bendu. Meski tak pernah kuliah.

“Lagi pula gini ya, Nduk. Membiayai pendidikan anak adalah jalan jihad orang tua. Kami juga ingin mendapat pahala lantaran membiayai anak menuntut ilmu. Kebaikan ini adalah hak kami, jadi bukan semata kewajiban.”

“Bukankah kita termasuk keluarga tidak mampu, Abah. Bisa minta surat keterangan dari kelurahan,” saya masih ngeyel.

“Mbok ya jangan punya mental begitu, Nduk. Percaya diri saja. Husnudlon pada Gusti Allah. Untuk kebutuhan lain mugkin sulit, tapi percayalah Nduk, kalau untuk menuntut ilmu, pasti ada rizki. Yakini ini, sampai kapanpun ya.”

Luar biasa. Motivasi yang dahsyat. Mario Teguh lewat.

::

Matematika Allah memang berbeda dengan matematika manusia. Itungan akal, sangat mustahil kami semua bisa lulus sekolah dan bisa mondok dengan penghasilan Abah yang hanya segitu.

Meski pada akhirnya sebagian besar anak Abah berhasil mendapat beasiswa atau hadiah lomba berupa tabungan, toh kalau ditritili ya tetep aja kurang. Nyatanya alhamdulillah, cukup. Cukup. Mungkin ini yang dinamakan barakah.

Anehnya, begitu kami semua selesai sekolah, harusnya uang Abah sisa kan? Ternyata ya tetap, cukup aja. Kemana sisanya?

“Artinya, yang kemarin-kemarin itu memang rizki anak menuntut ilmu. Untung aja kami salurkan dengan benar. Coba kalau kami gunakan untuk yang lain, apa nggak nyesel,” Abah terkekeh.

Kini Abah dan Umi telah tiada. Tapi cara beliau mendidik menjadi teladan bagi kami. Ilmu parenting beliau berdua kereeen tiada tara. Termasuk konsep pembiayaan pendidikan ini, sungguh uwuwuw.

::

Dua bulan lalu si sulung ijin ikut demo virtual, menuntut kampus memberikan pemotongan SPP dan subsidi quota.

“Lho, selama ini yang membayar SPP dan ngirim pulsa Mas Lavy siapa, hayooo?”

“Umi dan Abi”, jawabnya.

“Kami tidak keberatan kok, Nak.”

“Kan lumayan Um, untuk nambah uang saku. Bisa gofood, bisa beli helm baru.”

“Apakah kita butuh waktu untuk diskusi tentang ini, Nak?”

“Oh tidak Um. Tidak. Mas sudah paham. Menuntut ilmu itu bukan hanya kewajiabn, tapi juga hak. Membiayai anak mengaji dan sekolah itu jihad. Selalu ada rizki untuk mengaji dan sekolah. Keberkahan harus diperjuangkan. Sabar, tirakat dan terus merawat mimpi,”

Kami tertawa bersama. Anak pintaaaar. Terima kasih ya, Nak.

.

  • Bandar Lampung, 09 Oktober 2020 –

📷 Dapat hadiah uang ‘langka’ selembar 75 ribu berplakat dari Ibun Anggini dan Ayah Desta Mahendra. Maturnuwun sanget 🙏😊

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *