Penulis: Ning Evi Ghozaly
Santriwati bisa go internasional? Bisa mengelola banyak perusahaan bahkan di bidang yang dulu jauh dari bayangan kaum pesantren? Bisa memimpin puluhan ribu karyawan yang sebagian besar lelaki?
Bisa, donk. Alhamdulillah. Ini buktinya.
Ning Willawati, 45 tahun. Alumnus Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur ini sangat kalem. Cara bicaranya alus. Santun. Dan selalu tersenyum. Manis.
Tapi saat sudah mengenakan helm dan rompi proyek, celana jeans, sepatu sporty, satu tangan di pinggang, berdiri di ketinggian dan mata menyala menatap jauh…wuah, gahar!
Iya. Ning Willawati saat ini memimpin ribuan karyawan. Paling seru saat beliau bercerita tentang usaha di bidang energi yang termasuk dalam proyek strategis nasional lainnya. Proses tender yang hingga memakan waktu 3-8 tahun, jatuh bangun dengan segala permasalahannya. Bahkan terakhir, di proyek PLTU Menado, 4 Pekerja beliau terpapar virus covid-19. Hingga mengharusnya tracing dan ribuan pekerja di swab. Deg-degan nggak sih? Membayangkan proyek harus kelar tepat waktu, agar Januari Menado tak mati lampu.
“Banyak tantangan, sangat banyak. Orang hanya tahu Willawati enak ya, selalu menang tender, banyak proyek. Wah nggak tahu proses yang harus kami lewati”, sambil tersenyum beliau membagi pengalaman.
::
Bagaimana rasanya berada dalam dunia bisnis yang keras, Ning?
“Bismillah aja, Bunda Evi. Saya jalani. Saya nikmati. Untuk penyegaran, saya ambil jenis usaha entertaiment dan fashion”
Nah, ini asyik.
Karena hobi nonton, Ning Willawati mendirikan Kaninga Pictures. Baru 3 tahun, tapi sudah 12 film diproduksi. Salah satunya berjudul Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak yang berhasil meraih piala Citra, setelah masuk dalam 21 nominasi penganugerahan. Bahkan film ini juga masuk ke festival Film Cannes dan sempat lolos seleksi awal piala Oscar mewakili Indonesia Kereeeen.
Lebih keren lagi, saat saya diundang premier film The Man from The Sea tahun lalu, Ning Willawati mempersilakan (atau menyilakan sih?) saya untuk mengajak sebanyak mungkin teman santri. Usai penayangan film, Ning Willawati berdiri di panggung. Pidato singkatnya membuat saya maknyes, “Sengaja saya mengambil tema film yang bukan box office. Saya ingin berada di segmen film idealis dan festival. Saya santri, ini yang bisa saya persembahkan untuk dunia perfilman. Semoga bermanfaat.”
Keluar studio, kami diarahkan ke restoran dalam gedung yang sama, telah disiapkan meja khusus. Berdekatan dengan bintang film Adipati Dolken, artis dari Jepang, dan lainnya.
Saya kikuk. Malu. Tapi sikap Ning Willawati membuat suasana cair. Ning Willawati mengajak salim dengan badan membungkuk tadzim, memperkenalkan pada suami dan anak-anak, juga meminta para artis foto dengan saya.
“Monggo lho Ning, kalau mau menemui para tamu. Silakan,” saya merasa nggak enak karena sepanjang acara makan, beliau terus khurmat duduk di sisi saya. Sikap santrinya sangat kentara. Tawadlu. Rendah hati.
“Nggak apa, Bund. Sudah sering bersama mereka kok. Eh ini makanan sangat banyak, masih utuh. Dibungkus ya,”
Budaya khas ini, nawari santri bungkus makanan haha. Saya mau mengangguk, tapi isin je. Jadinya menggeleng, tapi abis itu nyesel 😅
Gitu lho ya, masih ditawari lain, “Setelah ini ke outlet Batik Alleira ya, Bund. Silakan milih dan ambil nggih.”
Saya melongo. Lalu tegas menggeleng. Saya tahu diri lah, masak diberi terus haha.
Eh ini saya mau nulis hasil wawancara, kok jadi ndongeng kejadian lama tho. Tapi masih ada hubungannya, kan? Kan.
::
Lanjut. Jadi Batik Alleira yang menjadikan Anissa Pohan menantu SBY sebagai modelnya itu, memang salah satu pemiliknya Ning Willawati juga lho. Ada puluhan outlet, di beberapa mall besar di Jakarta, Bali dan kota besar lainnya.
Usaha lain Ning Willawati?
“Seorang Guru dan sahabat pernah mengatakan, jenis usaha yang eksis ke depan adalah food, property and kids. Maka saya ambil makanan ini. Salah satunya, minuman prebiotik Yoyic dari China. Tapi Pabriknya ada di Bekasi. Sudah ada lebih dari 2000 outlet. Tahun ini, saya sebenarnya targetkan 1 juta outlet di seluruh Indonesia. Tapi karena Pandemi kami revisi menjadi tahun depan. Semoga bisa membantu pedagang lokal di daerah, karena harganya lebih murah daripada supply kami ke modern channel.”
Wuah. Nggak terdampak pandemi, Ning Willawati?
Tentu. Ada beberapa outlet Alleira yang terpaksa tutup. Tapi saya coba mencari lagi peluang baru.
“Saya buka Bukanagara Coffee & Roastery . Kafe dengan konsep Indonesia tapi modern. Saya belajar dari awal mengenal jenis kopi, meracik hingga seni menghidangkannya di meja, kami survey ke beberapa tempat termasuk ke Jepang, Shanghai, Singapore dan Amerika.”
::
Aha. Ini salah satu keistimewaan Ning Willawati. Selalu mengambil jenis usaha yang disukai. Lalu dipelajari semua mulai awal hingga akhir. Tuntas. Menjalani semua proses secara langsung, agar tahu detail setiap permasalahan.
Maka jangan heran kalau Ning Willawati sering terlihat mengelap meja atau mencuci cangkir ketika berada di Bukanagara. Bersama Gus Ova putra ragil Gus Mus, beliau membangun usaha ini, justru di masa pandemi.
“Saya juga lebih nyaman mengambil jenis usaha yang less competitor, Bund. Menciptakan rasa aman dan nyaman itu perlu.”
“Usaha saya di bidang Informasi dan Teknologi juga begitu.
Kemarin rekruitmen calon karyawan baru. Pelamar yang datang tes, semua dirapid terlebih dahulu. Kami beri makan, minum dan sangu pulang. Saya ingin tetap bisa memanusiakan manusia, menghormati setiap orang. Siapapun.”
Satu lagi, “Saya tidak pernah punya pinjaman di bank. Saya sangat menjaga ini. Mohon doa ya Bund.”
Lah. Ning Willawati ini lho. Berkali minta doa pada saya selama wawancara. Khas santri. Padahal sayalah yang butuh doa 😅
::
Tradisi pesantren apa yang terus dirawat selama menjadi pengusaha, Ning Willawati?
“InsyaAllah masih rutin mengaji. Sendiri atau bersama-sama. Masih menyimak pengajian Ihya Ulumiddin yang diampu Gus Ulil dan saya mengadakan pengajian Soul, Bunda.”
Pengajian untuk para eksekutif. Dilaksanakan di Gedung Kantor. Setiap bulan. Mengajak para sahabat pemimpin perusahaan lain untuk menyimak penjelasan kitab dari para kyai NU. Pengajian fiqh dan tasawuf yang dikemas modern, “Saya siapkan semua termasuk makan.” Semoga bermanfaat.”
::
Bisa menjadi pengusaha seperti ini, belajar dimana sih?
“Guru pertama saya orang pesantren. Pertama saya belajar bisnis dari Gus Irfan Yusuf dan Kyai Luqman Hakim Sufinews Tebu Ireng”.
Perusahaan pertama yang saya buat namanya PT. TWIQ Teknologi Informasi, nama TWIQ itu singkatan dari Tebuireng Willa Irfan Luqman.
Kemudian Allah mempertemukan saya dengan banyak pengusaha yang mau bekerja sama, tanpa hitung-hitungan. Saya hanya berusaha bekerja dengan baik, ini yang membuat mereka percaya.
“Bidang energi, saya belajar dari Pak Hilal, belajar sabar dan tekun dari Pak Dahlan dan masih banyak sekali Guru saya yang lain.”
Masih ada usaha Ning Willawati di bidang media, retail dan distribution channel . Lima segmen yang tersedia sampai nggak cukup mengulas semua. Wis angel ini 😅
::
Apa rahasia kesuksesan ini, Ning Willawati?
Dengan suara bergetar beliau menjawab, “Doa orang tua dan para guru saya.”
Juga Ridho, support, do’a dari Suami dan Anak-Anak
Saya terdiam. Selalu. Selalu itu yang saya dengar dari orang-orang sukses. Doa orang tua dan guru memang dahsyat.
Maka tak heran jika kini, Ning Willawati mengabdikan diri di Muslimat dan NU, berhidmah di beberapa pesantren dan segala hal bidang kemanusiaan. Termasuk, nderek fokus mitigasi covid-19 di pesantren lewat RMI, GAM dan Satgas.
Gitu lho, beliau masih sempat masak rawon atau pecel. Dan…masih aktif di group Panser yei.
Sukses nggih Ning Willawati. Semoga selalu sehat dan terus bermanfaat untuk sesama.
- Bandar Lampung, 11 Oktober 2020 –
Comments