Penulis: Ning Evi Ghozaly
Ini malam Jumat. Tadi siang anak sulung ijin meliput demo mahasiswa depan kantor DPRD Malang. Rencana hanya sejam dengan protokol ketat, tak lepas masker dan faceshield, jauh dari kerumunan. Saya percaya, aktifis pers bisa mencari tempat dimana saja untuk berdiri nyari gambar, ambil jarak lumayan dengan para pendemo. Saya tenang, karena saya yakin dia sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk menjalankan tugas sekaligus menjaga diri.
Beberapa saat kemudian tan tung tang tung notif di group WA berkejaran. Kiriman video bertubi. Kondisi mulai mbuh. Gas air mata disemprotkan.
“Mas L, ini sudah tidak kondusif, Nak. Segera pulang nggih”, tanpa celah negosiasi.
“Ini berita seru, Um”
“Mantuk, Nak. Pulang. Sekarang ya”, saya menekan kalimat.
Anak-anak paham gaya bicara saya. Dia juga tahu, emaknya ini mantan demonstran sekaligus aktifis pers kampus. Jadi, mau berkelit bagaimana hayo 😅
“Nggih, Um. Tapi mohon maaf kalau agak lama sampai rumah. Semua akses diblokir. Macet”, dia menyerah.
::
Jujur, saya deg-degan. Saya sangat sulit memahami undang-undang dan segala hal yang berpasal-pasal. Tapi kali ini saya memaksa diri untuk membaca tuntas. Meski ya tetep aja banyak yang ngezonk.
Terus merapal shalawat. Nggak konsen lagi membaca, tiap sekian menit tilp rumah, “Mas L sudah sampai, Dik?”
“Mas L sampun mantuk, Ust? Ami?”
Duh gini amat ya jadi emak. Senekad apapun saya dulu, tetap aja nggak mau anak saya nabrak resiko. Apalagi pas saya terima video bakar-bakar, lempar-lempar dan mulai banyak mahasiswa yang main dorong lalu melompat pagar. Tanpa masker. Duh Gusti Allah…semoga panjenengan semua sehat selamat, Nak.
::
“Mas sudah sampai rumah, Um. Mandi kramas dulu ya.”
“Oke, Nak. Sholat. Makan, lalu kita cerita ya.”
Bla bla, panjang. Saya bahagia anak-anak memiliki banyak teman dan pengalaman, insyaAllah bermanfaat kelak. Menjadi tidak kaku, bisa melihat fakta apapun dari berbagai sisi. Tapi saya harus mengingatkan prioritas hidupnya.
Sejak awal sudah ada komitmen, tujuan utama ke Malang adalah mengaji dan kuliah. Yang lain nomer sekian. Organisasi harusnya hanya sampai semester IV, tapi khusus untuk jurnalistik, dia nawaaaar terus. Jian persis emaknya.
::
Ini malam Jumat. Saya lalu mengingatkan, “Siap-siap jamaah maghrib. Yasin tahlil nggih, Nak.”
“Boleh ijin nggak, Um. Libur yasin tahlil.”
“Enggak, Nak.”
“Disingkat aja boleh?”
Saya hanya tertawa. Kode jawaban tidak. Apalagi saya baru tahu kalau ternyata, semua ustadznya diliburkan sendiri sejak pekan lalu. Ampun dah.
Entah ini parenting model apa. Menurut saya, anak memang harus merdeka, tapi ada kalanya kudu siap tanpa pilihan. Ada banyak kesempatan untuk berkreasi dan berinisiasi. Ada hal yang bisa dinego, tapi ada yang benar-benar harus ditaati. Tanpa tawar menawar. Termasuk jadwal mengaji dan ritual kirim doa ini.
Telah selesai diskusi tentang jamaah, yasin dan tahlil, sejak sekian tahun lalu. Telah selesai kesepakatan tentang beberapa pilihan. Saatnya menjalankan komitmen nggih, Nak.
::
Ini malam Jumat. Bahagia ketika menerima foto L dan D makan bersama usai berdoa, yasin tahlil dan jamaah Isya. Bersama para ustadznya. Tersenyum sumringah.
Terima kasih, Nak. Terima kasih untuk telah berkenan mendokan seluruh keluarga dan para guru, Nak. Semoga kami tidak menjadi orang tua durhaka, agar berhak mendapat bakti dan doa indah dari anak cucu. Selamanya.
::
Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah Saw. bersabda :
٢٧/٣٦ تُرْفَعُ لِلْمّيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ دََرجَتُهُ فَيَقُوْلُ: أَيْ رَبَّ! أَيُّ شَيْءٍ هَذِهِ؟ فََيُقَالُ: وَلَدُكَ اسْتَغْفَرَ لَكَ
Diangkat derajat mayat seseorang setelah meninggalnya, lalu berkata, ” Wahai Tuhanku apa yang terjadi ? Lalu dikatakan, ” Anakmu memohonkan ampunan untukmu.
( H.R. Bukhari )
- Bandar Lampung, 08 Oktober 2020 –
Comments