Pendobrakan Jiwa Santri di Era Digital
Oleh: Ibnu Sulaim
Sebagaimana yang terjadi pada era-era sebelumnya, jiwa santri zaman sekarang mulai menipis akan niatnya sendiri. Bahkan, peminat santri mulai berkurang, entah dalam segi kurang aktifnya pengawasan orang tua dan juga dorongan untuk mengkaji Al-Qur’an dan beberapa kitab Salafus Salih. Karena itu, peran orang tua sangat dibutuhkan dalam mengukuhkan jiwa kesantrian anaknya. Bukan hanya menitipkan anaknya ke pesantren, tempat terdekatnya.
Lalu, bagaimana sikap dan peran orang tua untuk ikut andil dalam pengukuhan anaknya sebagai santri?
Ini sangat penting untuk dibahas kembali, meski ulasan tersebut sudah lazim bagi masyarakat setempat. Namun, yang menjadi kendala dalam pendidikan seorang anak, orang tua seakan sudah lepas sepenuhnya dalam tanggung jawab anaknya setelah dimasukkan ke pesantren-pesantren pada umumnya. Buktinya, masih banyak, ketika seorang santri menjelang liburan pesantren, tidak jarang kita temui kalau kesantriannya sudah tidak tertata seperti saat di pesantren. Sebagian besar telah dijajah di era digital ini. Semuanya fokus pada perkembangan zaman. Katanya, tidak mau ketinggalan zaman. Padahal, ikrar sebelumnya telah dikumandangkan dengan serentak bahwa jiwa santri tidak akan pernah tertinggal oleh zaman.
“Santri, kalau sudah pulang dari pondok harus mengistikamahkan amalan yang telah dilalui di pesantren.” Begitulah pesan yang disampaikan oleh Kh. Maimun Zubair. Atau dikenal dengan sebutan Mbah Moen.
Akan tetapi, yang terjadi saat ini, karena perkembangan zaman semakin amburadul, kebanyakan santri sudah berani menyepelekan hal-hal kecil yang telah dilalui sewaktu masih di pondoknya. Seakan (kebanyakan santri) merasa bebas dari aturan-aturan pesantren yang dianggapnya sebagai beban, padahal masih banyak di luar sana yang mempunyai keinginan agar menjadi seperti mereka, giat menuntut ilmu agama. Menjadi santri yang Ibadillah As-Salihin.
Karena itu, ayo, kita bangunkan lagi jiwa-jiwa santri untuk mengukuhkan pertahanan agama yang kian merosot, sedikit demi sedikit. Hidupnya bangsa ternilai dari hidupnya jiwa. Sementara jiwa akan bersinar, jikalau ibadah (lahir-batin) kian erat dalam kepribadian. Artinya, bagaimana kita menghidupkan jiwa-jiwa itu yang kian redup.
Memang benar, santri adalah sorotan utama dalam perkembangan agama. Karena dari santri, ribuan doa telah dilangitkan serentak, kapan pun dan di mana pun mereka berada. Mirisnya, hal itu giatnya hanya dalam lingkungan pesantren. Setelah keluar, baik liburan atau sudah lulusan, semuanya seakan tidak pernah dipelajari pada sebelum-sebelumnya. Beruntung, masih direalisasikan adanya Pengajian Alumni dari beberapa pesantren yang kerap dilaksanakan. Kalau seumpama hal itu tidak ada, maka, setelah menjadi alumni, selesai sudah masa mereka mengkaji.
Selain itu, kutipan pesan dari Mbah Moen yang disampaikan saat mengisi pengajian di pesantrennya, Tebu Ireng, beliau menjelaskan kelemahan jiwa santri yang mudah menyepelekan perkara kecil akan berdampak suatu musibah yang besar.
“Kelemahan pertama pada santri itu, ketika ia sudah kehilangan wadzifah wiridnya,” ucap Mbah Moen.
Artinya, kebiasaan wirid yang dilakukan selesai salat wajib jangan mudah dilalaikan, jangan terburu-buru kalau soal ibadah, santai tapi tujuannya jelas. Dan, ini pun semua santri sudah memahami apa faedah dan manfaat daripada membiasakan wirid seusai salat.
Bukan hanya itu, santri zaman dulu menjadi peran utama dalam perkembangan agama, bangsa, dan juga negara. Sebagaimana tokoh pahlawan Indonesia yang kebanyakan dari mereka termasuk salah satu jiwa santri yang kuat dan mampu mengibarkan bendera sang merah putih.
Contohnya, Abdul Hamid, yang selama perjalanan hidupnya pernah menyantri di salah satu pesantren yang bertempat tinggal di Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Lebih tepatnya, di pesantren Kh. Hasan Besari. Di sana Abdul Hamid mengkaji beberapa ilmu agama, salah satunya Kitab Tafsir Jalalain yang diasuh oleh Kh, Baidhowi Bagelen.
Di mana selama perjalanannya, Abdul Hamid berhasil memperjuangkan bendera merah putih dari penjajah Belanda selama lima tahun lamanya. (1825-1830 M). Tidak heran jika beliau dalam perjalanannya bisa ditempuh dengan kekuatan yang tertanam dalam jiwanya untuk berkorban demi Negara Indonesia yang mayoritasnya kebanyakan beragama Islam.
Siapa Abdul Hamid itu? Abdul Hamid adalah putra Sultan Hamengkubuwono ke-III dari istri Pacitan, Jawa Timur. Dia pejuang yang populer disebut Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro, wafat dan dikebumikan di Makassar, dekat Pantai Losari. Akibat perjuangannya yang gigih melawan penjajah, sosok Abdul Hamid diabadikan dalam bentuk patung dengan memakai jubah dipasang di Alun-alun kota Magelang.
Bahkan nama Pangeran Diponegoro, menjadi nama Kodam dan Universitas di Jawa Tengah. Akibat sosoknya yang pemberani, Belanda dibuat resah menghadapi perang Diponegoro.
Nah, di era digital ini, harapan terbesar dari negara kita Indonesia, yaitu, jiwa santri harus mempunyai tekad untuk maju dan lebih mengedepankan kebangkitan Indonesia yang akhir-akhir ini bisa dirasakan sendiri, betapa hambarnya ribuan jiwa manusia pada umumnya. Menegakkan semangat baru demi kemerdekaan bangsa kita, Indonesia.
Sebagaimana sejarah Nabi Muhammad SAW ketika membela Agama Islam, para tokoh kepahlawanan Indonesia. Semuanya bisa menjadi suri teladan dalam pembangkitan jiwa-jiwa yang perlahan kian layu, lebih-lebih jiwa yang telah mati.
Karena itu, dimulai dari sekarang, sebelum nanti puncak pendobrakan jiwa santri untuk menyadarkan kembali di bulan Oktober, yang biasanya dimeriahkan dengan slogan Hari Santri Nasional. Mari bangunkan kembali semangat-semangat yang kebanyakan telah terjajah dengan sendirinya. Entah, mungkin dari kebiasaan (yang kurang apik) atau memang kurangnya bimbingan yang menarik.
Mari menjadi santri untuk kemajuan negeri, bukan hanya menjadi santri yang setelahnya menjadi alumni. Kembangkan semangat baru, jangan lengah mengunyah motivasi yang disampaikan para guru. Santri tanpa kiai, tidak akan menemukan jati diri. Kiai tanpa membimbing santri, semuanya tak akan berarti. Jadi, marilah bergerak bersama-sama tanpa terkecuali. Karena santri, bukan hanya dia yang menuntut ilmu di beberapa pesantren, tetapi juga dia yang mempunyai sikap sebagaimana santri pada umumnya. Dengan artian, sebagaimana pernyataan Mbah Moen, ‘siapa pun yang menekunkan diri ber-akhlakul karimah, meski tidak bernaung di pesantren, dia juga santri yang telah menancapkan peradaban dalam jiwanya’.
Kenapa hal itu terjadi? Ya, karena kunci dari kemajuan Agama Islam adalah menanamkan peradaban dalam jiwanya. Sehingga oleh sebab itu, Agama Islam semakin maju, Indonesia pun akan lebih maju. Karena, bangkitnya negara bisa dilihat dari seberapa berkembangnya peradaban dalam agamanya.
Semangat berjuang!
Santri Pejuang Agama Allah
Selamat Hari Santri