Penulis: Ning Evi Ghozaly
Ini foto tadi pagi. Anak sulung kami Mas Lavy, sedang membersihkan luka (semacam) kebakar di leher dan punggung adiknya, Adik Dany. Baru tahu kalau ternyata adik alergi koyo’. Lukanya melepuh, sebagian bernanah. Lebar. Luas.
Kami menyaksikan Mas dengan telaten menyiramkan cairan steril, mengelap pelaaaan, mengoleskan salep, kemudian membungkus dengan kasa. Tanpa sedikitpun merasa jijik. Sambil lirih membaca sholawat.
Selanjutnya badan adiknya dilap, diminta gosok gigi dan bersih-bersih. Lalu disiapkan makan minum dan obatnya. Tiga kali sehari lho. Sangat sabar. Sesekali adiknya meringis, kadang menangis menahan perih, “Niatnya dari Malang mau liburan, kok malah sakit gini.”
“Sabar ya, Adik. Jangan mengeluh. Ini takdir. Masih ada waktu untuk liburan, nanti bareng Mas ya,” kakaknya menghibur.
::
Alhamdulillah, alhamdulillah. Matur nuwun, Gusti Allah. Dua anak ini memang rukun sejak kecil. Teori ngatasi sibling rivalry yang saya pelajari nyaris nggak kepake. Tidak pernah ada cemburu atau persaingan berbumbu iri dengki. Nggak pernah berantem babar blas selama serumah dengan kami. Bahkan kalau salah satu ditegur, ya diam aja menunduk dulu. Lalu berargumen seperlunya dan minta maaf. Tidak lama kemudian, yang satu datang minta ijin bicara. Ngapain coba? Membela habis-habisan. Bahkan pernah pembelaan diberikan secara tertulis, surat panjaaang haha.
Pas mereka sudah hidup di Malang aja, baru ngalami berantem. Tapi ya sewajarnya. Seingat saya dua kali berantem agak hebaaat, sampai banting pintu dan satru nggak ngomong sekian waktu. Nggak wawuh haha.
Setelah itu mereka disatukan oleh kucing. Sebagai penggemar anabul, keduanya sempat sembunyi-sembunyi ngadopsi kucing kecil. Saling menutupi dan membela. Baru setelah dapat ijin dari Abinya, mereka rajin posting foto. Sampai sekarang, adik dengan senang hati ngrawat Tsuki, buang kotoran, kasih makannya sampai bawa ke salon. Tentu saja dana dari kiriman kakaknya. Jian kompak.
::
Kemarin kami datang menjemput sang adik. Rencana sebentar aja, langsung balik. Kakaknya biar di kosan dulu, menyelesaikan urusan packing. Ternyata adik menolak, “Maaf Umi Abi. Adik nggak mau pulang ke Lampung tanpa Mas. Kasihan Mas sendirian repot. Adik mau bantu.”
“Nggak apa-apa, adik pulang aja dulu. Mas bisa kok menyelesaikan semua sendiri. Yang penting adik sehat, sembuh…” sang kakak menyela.
“Nggak mau. Adik nggak mau ninggalin Mas. Kasihan Mas. Adik sayang Mas…”
Idih kok ndrama. Lebay banget ya haha. Jadilah kami menginap di kosan ini. Membantu mengemas pakaian, mengantarkan ke tempat paket, mengirim motor lewat stasiun, pokok jadi rempong. Demi petisi kasih sayang dua anak ini haha.
::
Ada yang pernah bertanya, kok bisa nak kanak serukun ini? Saya juga nggak tahu. Tapi sebagai emak bapak, kami memang selalu mengupayakan agar selalu adil. Mengajarkan agar saling menyayangi. Dulu saat umur si sulung setahun, saya sudah hamil lagi. Kami siapkan mentalnya, kami mengajak adiknya kalau mau melakukan satu dua kegiatan, meski masih dalam kandungan. Yuk makan bareng Mas ya Dik. Ayo kita beli buku kesukaan Mas, Dik. Pokok ngajak bicara aja barengan.
Kami yakinkan sang kakak bahwa meski nanti ada adik, cinta dan perhatian kami tidak berkurang. Bahkan setelah adik lahir dan banyak teman saya mau datang nengok, saya kirim pesan agar bawa kado untuk kakaknya aja. Si adik masih kecil, nggak ngerti apa-apa. Kado buat adik secukupnya, justru perhatian untuk kakak harus berlimpah agar tidak merasa kehadiran adik nih sebagai ancaman.
Setelah kami mulai cukup rizki, tiap membelikan barang selalu sama. Pernah beda warna sprei aja, mereka nawar minta kembaran. Kalau salah satu ulang tahun, yang lain dapat hadiah sama. Mei lalu kami transfer pas adiknya ulang tahun. Eh doi malah nanya, “Mas juga ditransfer sama kan, Umi? Kami mau ke panti asuhan. Terima kasih ya.”
Nah kemarin pas kakaknya ultah, adiknya juga dapat bagian yang sama persis. Pleg. Begitulah.
::
Ikhtiar lain, sebisa mungkin kami jadi model kerukunan. Saya sangat menghindari perdebatan nggak penting dengan Abi, apalagi di depan anak-anak. Saling ngademi aja kalau mulai anget, meski tentu Abi lah yang sering ngalah. Eits Abi yang selalu ngalah ding, saya selalu menang haha.
Memberi contoh terbaik sampai batas maksimal yang kami mampu. Selalu enteng mengucap maaf. Ringan memberi. Menghindari berkata dan melakukan apapun yang bisa melukai. Biaunillah.
Terkadang mereka melakukan perjalanan berdua saja. Saling curhat bisa tiap malam, ngobrol panjang. Jika salah satu punya rencana besar apa, kami mendiskusikannya bersama. Ketika salah satu punya masalah, yang lain kami ajak membantu dan mencari solusi. Cerita tentang sahabat, teman kerja dan apa yang dialami kakaknya di kampus atau kantor pun, kami semua tahu. Bahkan ketika Abi memutuskan memberi “gaji” adik yang bekerja pada kami, sang adik pun minta dibagi dua dengan kakaknya haha. Jian ampun.
::
Yang tak kalah penting agar anak rukun adalah, doa. Doa yang selalu kami baca, ijazah dari emak bapak dan guru kyai kami,
Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wadurriyyatinaa qurrota ‘ayyuun waj’alnaa lil muttaqiina imama”
Artinya “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.
Alhamdulillah, matur nuwun Gusti Allah. Terima kasih pada Abi yang selalu menjadi teladan terbaik kami. Terima kasih pada kedua anak kami Mas Lavy dan Adik Dany. Terima kasih, tiga lelaki terbaik yang dianugrahkan Allah. Matur nuwun sanget.
::
Allahumma sholli alaa sayyidina Muhammad.
Mohon doa ya agar kami sekeluarga dan panjenengan semua selalu sehat, bahagia, panjang usia, beruntung dan berlimpah berkah.
- Jakarta Selatan, 13 Agustus 2023 –
.
Comments