Penulis: Ning Evi Ghozaly
Seseorang berkata kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA, “Ya Ali, kulihat sahabatmu sangat setia dan banyak sekali, berapakah sahabatmu itu?”
Sayyidina Ali menjawab, “Nanti akan kuhitung setelah aku tertimpa musibah”.
::
Menutup silaturrahim saya di Jakarta bulan ini, saya sowan ke rumah Ning Willawati, seorang sahabat santri perempuan yang tangguh dan berhati malaikat. Suatu saat kelak, saya akan menulis tentang beliau ya. Yang jelas, Ning Willa adalah pengusaha yang sukses. Dua puluh film telah dibuat, salah satunya berjudul Marlina Pembunuh Empat Babak, sebuah film yang berhasil meraih kemenangan untuk 21 kategori dalam penganugerahan piala Citra dan menjadi salah satu nominasi peraih piala Oscar.
Ning Willa juga malang melintang di dunia Engineering Procurement Construction atau tukang bangun dan Independent Power Producer atau Listrik Swastanergi sampai usaha kafe. Temannya sangat banyak, mulai mantri hingga mentri. Ringan menolong, rajin berbagi.
Suatu saat Ning Willa mendapat masalah. Siapa yang menolong? Tentu tak semua temannya yang banyak itu. Hanya satu dua. Lalu setelah bangkit lagi, apakah beliau berubah? Tidak. Bahkan makin banyak menolong orang, termasuk orang yang baru dikenalnya.
Mengapa? Sebab berbuat baik tak butuh alasan. Apalagi sekedar agar mendapat balasan.
::
Kemudian saya menuju kediaman Ning Obib, istri Mas Imam Nahrawi mantan mentri pemuda dan olah raga. Seperti biasa jika bertemu, kami berbincang tentang apa saja. Ngalor ngidul.
Sekian menit kemudian, saya bertanya, “Apa kabar Mas Imam Nahrawi, Ning?” Saya kira bakal langsung sunyi senyap krik krik. Ternyata tidak. Ning Obib bercerita tentang proses penetapan sebagai tersangka oleh KPK dari awal hingga akhir dengan intonasi dan senyum yang sama, manis. Binar matanya tetap indah. Kalimatnya tetap teduh.
“Saat ada kabar Mas Imam ditetapkan tersangka, saya sedang di Mekkah menunaikan ibadah haji. Saya langsung menuju Masjidil Haram, sesuai perintah Mas Imam. Saya sujud dan menyampaikan pada dzat yang maha kuasa, “Dalem ridlo, Gusti Allah. Kami ridlo dengan semua ketetapanmu”.
Meleleh saya mendengarnya.
“Karena apapun, apapun…pasti terjadi karena kehendak Allah. Termasuk jika ada orang yang berbuat baik atau dlolim pada kita. Juga jika ada sahabat yang bertahan dalam kondisi seperti ini, atau mereka yang tiba-tiba pergi. Tanpa ijinnya, tak akan terjadi”, ngendikannya. Tanpa gelombang.
::
Ah. Betapa banyak sahabat yang baik saat kita sedang dalam kondisi aman, tapi menghindar ketika kita butuh bantuan. Mendekat ketika kita kuat, dan menjauh saat kita rapuh.
Tapi percayalah, akan selalu tersedia sahabat berhati mulia. Sahabat seperti ini kadang tak terlihat. Tapi bukan berarti tak ada. Dia hanya tidak ingin mengganggumu, ketika engkau sedang harus konsentrasi pada yang lain. Tapi dia akan tetap menjagamu dari jauh. Dan saat engkau oleng atau jatuh, dia akan terburu datang memelukmu. Menjadi bahu untukmu bersandar, menjadi suluh ketika engkau butuh penerang. Memelukmu dengan segenap kehangatan dan doa tak putus.
Maka rizqi, bukan hanya yang bernama uang. Sahabat sejati, adalah harta yang tak ternilai harganya. Kita bisa belajar pada mereka, para sahabat sejati. Yang selalu ada kapanpun dibutuhkan, tapi tak sedih ketika harus terabaikan. Untuk sahabat seperti ini, pantaslah kita limpahkan cinta tak terhingga untuknya, juga doa terindah setiap saat.
Maka tepatlah ngendikan panutan kita ini,
“Apabila kalian memiliki teman -yang membantumu dalam ketaatan- maka genggam erat tangannya, karena mendapatkan seorang sahabat itu sulit sedangkan berpisah darinya itu mudah.”
~ Imam Syafii ~
- Bataranila, 22 Nopember 2019 –
Keterangan foto: saya bersama Ning Obib Nahrowi pekan lalu.
Comments