SELAMAT HARI GURU
Penulis: Ning Evi Ghozaly
“Yang paling hebat bagi seorang guru adalah mendidik dan rekreasi yang paling indah adalah mengajar. Ketika melihat murid-murid yang menjengkelkan dan melelahkan, terkadang hati teruji kesabaran. Namun, hadirkanlah gambaran bahwa kelak mereka akan menarik tangan kita ke surga”.
- KH. Maimoen Zubair –
::
Tahun 2017.
Suatu hari, saya memberi materi pelatihan guru tiga kecamatan di kabupaten Tanggamus. Saya berangkat pkl 04.00 mruput, melewati sungai besar dan harus memutar karena jembatan rusak. Sampai di lokasi, saya lihat 20 kursi kosong. Hanya ada ibu camat yang kemudian memberi penjelasan, “Kami harus melewati laut dengan menaiki kapal kecil untuk sampai sini, Bu. Sekali jalan bisa 5 hingga 7 jam, pulang pergi 14 jam. Belum jalan daratnya. Para guru sudah siap berangkat sejak tadi, tapi tak ada kapal yang berani mengantar. Mohon ijin kecamatan kami absen ya, Bu. Semoga tahun depan kami bisa hadir, atau ibu yang berkenan mengunjungi kami?”
Lima hingga tujuh jam lewat laut, belum jalan daratnya. Setiap hari mereka juga harus menempuh perjalanan panjang berliku untuk mencerdaskan anak bangsa. Engkau tahu gaji guru honorer itu? Paling banyak, sebulan tak lebih dari 400 ribu ?
::
Pada pelatihan saya tahun berikutnya, hanya ada satu guru yang hadir dari kecamatan tersebut, berangkat sejak dua hari sebelumnya. Sisanya bersiap sejak subuh, katanya. Saya tunggu. Hingga 15 menit sebelum saya menutup materi, mereka baru datang. Gedubrakan. Terburu mereka masuk kelas, semua bersimbah keringat dengan nafas ngos-ngosan, “Ombak tak besar, Bu. Tapi mobil kami mengalami ban pecah”. Saya tersenyum maklum. Membayangkan betapa berat perjuangan mereka setiap hari saja saya tak sanggup, apalagi untuk menggambarkan beratnya perjalanan mereka menuju ke sini. Hanya untuk mendengarkan dongeng saya yang kadang tak bermutu. Duh, Gusti ?
Seseorang menubruk saya, memeluk erat, “Tolong materi Bu Evi diulang ya. Kami mohon, Bu. Kami menunggu setahun untuk kesempatan ini. Tolong diulang, Bu”, matanya basah.
Saya tercekat. Saya ingin mengulang materi, tapi ada jadwal lagi siang itu. Guru honorer untuk tiga kecamatan yang lain sudah menunggu. Tatapan mata mereka seperti mengiris saya. Permohonan sederhana yang tak bisa saya penuhi. Ah, hati saya berlubang.
Spontan saya mengucap janji, “Baik, Ibu. Bulan depan insyaAllah saya yang akan ke pulau ya”, mereka menangis histeris. Berkali mengucap syukur tak henti. Mata saya gerimis.
Beberapa setelah kejadian tersebut, saya menuliskannya di efbi:
::
Awal bulan Nopember, 2019.
Salah satu kegiatan dalam rangkaian “Pekan Cinta” saya di Yayasan Pondok Pesantren Miftahul Ulum Banyuwangi ialah berkunjung ke sekolah cabang. Tiga sekolah terjadwal. Sekolah pertama, MI (sederajat SD) Darul Faizin MU. Untuk sampai ke sana harus melewati berhektar kebun randu, sungai yang tak ada setetes pun air sebab telah tujuh bulan tak hujan, dan jalan batu berdebu. Jauh.
Sampai lokasi saya terhenyak. Dua lokal bangunan telah rusak. Gentengnya berjatuhan, tembok berlubang, reng lapuk dan sebagian patah, jatuh. Saya tak berani mendekat, khawatir menangis. Saya langsung menuju ruang pertemuan. Ada banyak makanan rebusan. Sederhana, tapi saya yakin pasti enak. Ah, dalam keterbatasan, mereka masih menyambut tamu dengan sangat baik.
Kemudian saya menuju kelas. Keliling. Murid kelas 1 MI digabung dengan murid kelas 2. Kelas 3 dijadikan satu dengan kelas 4, dan kelas 5 jadi satu dengan kelas 6. Semua, menggunakan lokal milik TK Islam MU, beberapa meter dari bangunan MI. Mengapa? Karena bangunan MI mereka nyaris roboh.
::
“Apa cita-cita kalian, Nak?”
Bergantian mereka menjawab, dokter, guru, perawat. Usai mengajak mereka bernyanyi dan tepuk tangan, saya meminta mereka menuliskan mimpi mereka.
Seorang anak menulis lambat, pensilnya sangat pendek. Tak lebih panjang dari kelingking saya. Saya mendekat. Sendeku di sebelahnya. Bukunya lecek. Seragam atasnya tak lagi bisa dikatakan putih. Sepatunya mangap di ujung, terbuka. Celana bagian lututnya robek. Tanpa ikat pinggang. Berkopyah hitam yang pinggirnya menguning. Saya lungkrah. Gemetar tangan saya saat mengusap punggungnya. Susah payah saya menyembunyikan air mata.
Dia menoleh. Tatapan matanya teduh. Senyumnya manis. Tak ada muram sama sekali dalam binarnya. Ah, engkaulah bintang, Nak. Tiba-tiba saya merasa malu, sangat.
“Kapan ke sini lagi, ibu?”, bisiknya lirih. Air mata saya benar-benar jatuh sekarang.
::
Perjalanan pulang menuju sekolah cabang kedua, saya terdiam. Lama. Membayangkan berapa gaji guru di pelosok ini dan berapa pendapatan para pemimpin kita. Berapa harga satu tupperware saya dan berapa harga pensil anak-anak tadi. Berapa harga… ah, saya menepis segera. Membandingkan kehidupan kita dengan yang lain hanya akan mengurangi rasa syukur. Padahal selalu saya sampaikan pada semua saat saya turun, “Rizqi tak hanya uang ya. Kesehatan dan keluarga yang tenang, itu rizqi. Kesempatan menjadi guru dan murid yang baik adalah juga rizqi”. Kalimat yang sebenarnya untuk menguatkan diri saya sendiri.
“Apa pesan Kyai Djazari pada para guru MU, Gus?”, saya bertanya pada Gus Fawaizul Umam salah satu pengasuh MU.
“Menjadi guru di MU jangan diniatkan untuk bekerja, kamu tidak akan mendapatkan apa-apa. Niatkanlah untuk berkhidmah, mengabdi. Allah pasti akan mencukupi semua kebutuhanmu”. Ah, betapa dalam pesan beliau yang mulia.
::
Maka kepada Mas Nadiem Makarim, terima kasih untuk pidato indah panjenengan di Hari Guru ini. Tekad panjenengan untuk meringankan guru dari tugas administrasi adalah hadiah terkeren. Penghormatan yang luar biasa pada pahlawan tanpa tanda jasa yang panjenengan berikan sungguh membuat bahagia. Lima pesan panjenengan memberi harapan baru. Untuk pertama kalinya seorang menteri pendidikan tak hanya bicara tentang kebijakan menye-menye dan instruksi kaku. Panjenengan mengupas akar masalah, menyelesaikan pelahan.Terima kasih ya.
Tapi, tolong, jangan mengubah kurikulum dulu, Mas Nadiem. Setidaknya, jangan terburu. Kasihanilah kami yang di pelosok ini. Sesekali, turunlah saja ke sekolah-sekolah ujung ya. Lihatlah pijar terang mata anak-anak kami. Lihatlah semangat dan keceriaan guru kami. Lihatlah bangku kayu kami, rak buku kami, pagar ilalang dan juga segala keindahan di sekolah kami. Keindahan di hati kami.
Datanglah. Kami akan menghadiahi panjenengan dengan selaksa doa dan sekeranjang cinta.
Selamat hari guru ??
- Bataranila, 25 Nopember 2019 –
.
Keterangan foto: saya bersama sang bintang itu.