SELAMAT BERJUANG, DOKTER
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Entah sudah berapa kali kita terhenyak mendengar kabar dokter atau tenaga kesehatan terpapar virus cov*d. Bahkan beberapa diantaranya telah mendahului kita.
Sedih, sangat. Garda terdepan dalam menghadapi wabah pandemi ini, satu persatu berguguran. Salah satu profesi mulia yang didapat melalui proses pendidikan panjang berliku, yang dalam pengabdiannya memiliki resiko terbesar saat cor*na melanda, satu persatu mulai tumbang.
Saya bersahabat dengan beberapa dokter, bahkan pada tiga group kecil kami bercanda tiap hari. Setiap terposting kabar duka, selalu saya tercekat lama. Semendal ini tak pernah bisa terungkap. Sungguh. Inilah yang membuat saya memaksa diri untuk berdoa khusus bagi semua sahabat dokter dan tenaga kesehatan. Setiap hari. Sejak awal Maret lalu. Selain doa rutin saya yang lain. Sebab hanya itu yang bisa saya lakukan.
::
Dan kini, sahabat terdekat saya pun positif terpapar virus dahsyat ini. Dokter Heri Munajib, santri dan pengurus Persatuan Dokter Nahdlatul Ulama Jawa Timur.
Pada beliau, saya sering bertanya tentang kesehatan atau gejala sakit keluarga. Biasanya saat saya harus memberi materi seminar yang nyrempet ilmu otak atau ketika anak saya mengeluh gerah.
“Dok, besok saya harus memberi materi tentang bullying dan berita hoax. Menurut ilmu kesehatan dan pengaruhnya ke otak dospundi, nggih?”
“Dok, tiba-tiba ada ruam di kulit punggung anak saya. Juga ada satu dua bintik berair”.
Semalam apapun, dr.Heri akan mengangkat tilp saya. Membalas WA saya dengan baik.
“Panas, Ning? Mulai kapan? Ada alergi? Bisa saya lihat kondisinya?”, lalu kami video call sebentar. Dr. Heri akan mendiagnosa, dan mengirimkan resep. Atau menyarankan memberi pertolongan pertama, sebelum besok kami diminta ke dokter terdekat. Pernah saya mendapat resep obat yang di Bandar Lampung sedang kosong. Beliau spontan menawarkan, “Saya kirim dari Surabaya nggih, Ning”. Duh.
::
Setiap tahu saya ke Surabaya, beliau menyempatkan bertemu. Kadang saya yang datang ke tempat tugasnya di RSUD dr. Soetomo. Pasti, beliau akan menraktir makan.
Bahkan jika panitia acara seminar mengharuskan saya menginap di hotel pun, dr. Heri dengan gercep mengirim saya Nasi Krawu khas Gresik. Lewat gosend. Dua bungkus, selalu, karena tahu saya pasti bersama anak saya atau sahabat perempuan saya.
::
Dok, saya menulis ini sambil menahan tangis. Saya tahu banget bagaimana beratnya perjuangan panjenengan untuk bisa menjalani pendidikan spesialis.
Saya tahu betapa tulusnya panjenengan mengabdi untuk kesehatan masyarakat, untuk pesantren, untuk NU. Selelah apapun, jika sudah bicara tentang tiga hal tersebut, pasti semangat panjenengan kembali menyala.
“Bayar saja saya dengan doa dan fatihah ya”, selalu itu yang panjenengan sampaikan sambil tertawa lebar.
Panjenengan juga sahabat yang penuh humor dan menyenangkan, Dok. Selalu menyegarkan group WA kita. Meski jika bertemu orang yang megelno, panjenengan juga bisa galak.
::
Dokter Heri, istirahatlah sejenak nggih. Kondisi panjenengan saat ini yang tidak sampai sesak, tidak panas dan tidak batuk, semoga pertanda virus cov*id ini tak terlalu lama menyerang. Segera sehat nggih, Dok. Keluarga, sahabat dan para santri menunggu keceriaan panjenengan kembali.
Pada semua dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia, siapapun panjenengan, salam sayang dan cinta dari saya. Selamat berjuang, Dokter.
Selamat melaksanakan pengabdian suci demi kemanusiaan. Semoga semua dokter dan tenaga kesehatan senantiasa dalam lindungan Yang Maha Kuasa. Semoga semua selamat, dan mampu melewati masa tersulit dalam kasih sayang Allah. Semoga wabah pandemi segera berakhir, dan kita kembali hidup normal seperti sebelumnya. Tetap semangat ya.
.
Bandar Lampung, 03 Juli 2020