SELENDANG UNTUK KEKASIH
Penulis: Ning Evi Ghozaly
.
Ini masih gladi bersih. Hanya 10 perwakilan mahasiswa yang wajib hadir, dengan protokol kesehatan sangat ketat. Gedung serba guna yang mampu menampung hingga dua ribu orang ini terlihat sangat lengang. Sunyi.
Ini masih gladi bersih, untuk acara virtual yang harus diikuti 787 wisudawan lainnya, dari rumah. Saya duduk diam sambil membaca shalawat. Sesekali melantun doa agar dikuatkan mengikuti seremonial yang bisa berjalan lama ini. Iya, saya tak pernah tahan berada dalam ruangan dengan banyak orang, apalagi jika tidak bisa leluasa bergerak. Kecuali saat saya harus pegang microphone pada seminar atau pelatihan, dengan banyak peserta pun insyAllah kuat. Tapi kalau harus diam menjadi patung, saya bisa pingsan. Entah ya, saya memang lemah sejak gegar otak dulu.
::
Nama saya dipanggil pertama, “Wisudawan terbaik program S3 dengan IPK tertinggi…”.
Makdeg. Musik pengiring tiba-tiba terdengar syahdu. Setengah grogi, saya melangkah. Untuk pertama kali saya ikut wisuda. Gagap. Gugup. Berhenti tepat depan panggung. Mengangguk. Proses pemindahan tali toga, penyerahan ijazah dan…pengalungan selendang.
Satu dua detik jantung saya berhenti berdetak. Rasa haru menyeruak, merambati dinding hati, melewati sekujur alir darah, dan menetap pada kedua mata. Lantas ada air bening yang menetes, tanpa bisa saya tahan.
Sesungguhnya saya tak berhak mendapat predikat apapun. Selendang hitam berukir tulisan perak ini seharusnya untuk suami dan kedua buah hati kami. Mereka yang setengah memaksa agar saya melanjutkan sekolah. Mereka yang senantiasa ikhlas saya tinggal dua hari dalam sepekan, sejak pagi hingga menjelang maghrib. Mereka yang selalu tersenyum menyambut wajah kusut saya karena kelelahan. Mereka yang selalu merentang tangan siap memeluk terutama saat saya patah. Mereka yang selalu memaklumi ketika saya ndremimil tak jelas akibat stress melihat tumpukan tugas.
“Ab, kalau dalem nggak bisa lulus nggak apa, nggih? Ini berat sanget”.
“Nak, Umi ingin memberi contoh bahwa di usia senja pun, kita masih harus terus mencari ilmu. Tapi kalau Umi tidak kuat, dan berhenti di tengah jalan, boleh kan, Nak?”
Istirahat aja kalau lelah, Um. Tapi jangan putus asa nggih. Ayo semangat, insyaAllah bisa. Semampunya aja. Kami temani yuk. Kami doakan terus. Itu yang selalu mereka katakan.
::
Berkali saya melambaikan bendera putih. Ini sangat berat. Sangat berat. Saya bahkan tak mau lagi mengingat saat saya jatuh bangun selama sekolah. Sampai saat ini, saya masih ingin melupakan proses berdarah-darah yang saya lewati, terutama ketika harus menyusun disertasi.
Buat orang lain mungkin biasa saja. Buat orang lain, mungkin ini ringan. Saya? Usia saya sudah sepuh saat mendaftar. Terkadang adik bungsu saya memberi bantuan, tapi toh saya tak boleh mengandalkan siapapun. Saya juga harus tetap menjalankan semua kewajiban dan amanah, meski tentu ada yang tak optimal. Sementara otak dan fisik saya tak sekuat dulu. Waktu saya tak seleluasa sebelumnya.
Selama sekolah, 3 kali saya opname. Justru di saat genting. Maka wajar jika saya sering menyatakan give up. Menyerah.
Tapi ketiga lelaki terkasih ini tak pernah lelah memberi semangat. Tak henti melantunkan doa terindah. Terus membersamai setiap saat.
“Istirahatlah Um, ini sudah sangat larut. Mahasiswa tak boleh sering begadang nggih”, sering si sulung tiba-tiba mengirim WA. Ish, padahal dia juga tukang begadang. Kali lain dia menemani saya dengan bercerita tentang apa saja, sampai saya menutup laptop.
Si kecil menyiapkan sepatu, tas atau apapun yang saya butuhkan sebelum saya pamitan. Suami saya menyapu, mencuci piring atau melakukan apa saja, tanpa perlu saya minta tolong. Sering saya dilarang masak, dan diminta tidur lagi ba’da subuh. Ah, maturnuwun sanget Ab. Maturnuwun, Nak.
::
Panjenengan bertiga adalah alasan terbesar saya untuk terus menjalani proses jedug-jedug dan ngepot-ngepot ini. Panjenengan bertiga adalah alasan terbesar saya agar menuntuskan semua dalam waktu 2 tahun 8 bulan. Disamping agar saya tak perlu bayar SPP lagi sih.
Panjenengan bertiga adalah alasan terbesar saya untuk mengikuti gladi bersih hari ini, dan wisuda esok hari. Kerena panjenengan bertiga yang paling berhak mendapatkan semua hal terbaik yang bisa saya persembahkan. Ya, selendang ini untuk panjenengan, kekasih 💖
.
- Bandar Lampung, 28 September 2020 –
Subhanallah.. 😍