Penulis: Ning Evi Ghozaly
Terlalu sering berbicara lama, membuat kemampuan “mendengar” saya berkurang. Bukan semata anteng diam saat orang lain bertutur sih, tapi saya jadi kagetan kalau ada yang berbeda pendapat dengan saya.
Terlalu sering mengoreksi orang lain, membuat saya kesulitan mengevaluasi diri sendiri. Kadang saya sok mengaku banyak kurang dan merendah, tapi sebel juga kalau dikritik orang lain. Ncen, humble bragging kok saya ini 😅
Maka ujung pelatihan budaya akademik biasa saya manfaatkan jadi momen muhasabah. Bagaimana saling ngetes diri, sebisa apa kita menghargai pendapat orang lain secara obyektif dan terukur. Kadang justru dapat bonus penilaian diri.
::
Tak critani tentang foto ini ya, Gaes. Setiap guru mendapat 4 kertas kotak kecil warna warni. Sticky note. Satu kertas, untuk menjawab satu pertanyaan.
“Komitmen apa yang paling sulit dilaksanakan?”
Ada yang menjawab jujur, “Tidak boleh mendaftar P3K atau ASN ketika masih terikat kontrak kerja.”
Gitu lho saya spontan pengin emosi, “Bukannya sejak awal pendaftaran, pas tes dan wawancara sudah dijelaskan poin ini? Kok setelah tanda tangan kontrak dan mulai aktif bekerja, anda menyesalinya sih?”
Untung kalimat itu tidak jadi keluar. Tahan lho saya menggigit lidah dan berganti senyuman menanggapinya. Iya. Saya tersenyum maniiiis sekali, sambil menggoyangkan kepala haha.
::
“Peraturan apa yang bapak ibu anggap berat dan belum bisa dilaksanakan sepenuhnya?”
“Membaca 3 buku dalam setahun, mengikuti pelatihan pendidikan rutin.”
Wuaaah. Bukankah membaca buku jadi kebutuhan kita ya. Literasi yang terus tumbuh ini bagian dari budaya akademik lho. Buku yang ingin bapak ibu baca sudah diajukan dan disediakan sekolah. Cuma 3 buku lho. Dipresentasikan bergantian, menyimak dan berdiskusi isi buku barengan. Menulis artikel atau karya tulis ilmiah sekali setahun. Eh ini juga, salah satu indikator sekolah bagus kan yang gurunya paling sering dapat pelatihan ya?
Ada lagi, “Menghapal juz amma dengan batas waktu, dan hasil murojaah jadi poin penilaian kinerja. Ini berat,” ada lagi yang menjawab begitu.
“Lho Gaes, homeroom teacher punya tanggung jawab menyimak hapalan murid kan? Bahkan ada murid kelas 1 yang sudah hapal An Nas sampai An Naba. Semua job description sudah dipahami rinci dan disepakati. Surat kesanggupan sudah ditandatangani. SK sudah diterima. Kok sekarang dianggap beban?”
Pengin langsung komen begitu sih, tapi untung urung. Apalagi yang menjawab seperti itu banyak. Saya kasih hadiah aja dengan dua jari tertaut memberi isyarah saranghaiyo ❤️😀
Karena apa gunanya saya kesel? Kadang mereka lupa apa yang sudah disepakati. Kadang mereka butuh waktu untuk curhat. Kadang mereka jenuh, lelah dan kesulitan mengelola waktu. Jadi lebih baik duduk bareng aja, membicarakan semua masalah dan mencari alternatif solusi, tanpa menurunkan standar. Begitu kan? Cieee, saya macak sobar ini 😅
::
Nah. Pas giliran ini, asli saya deg-degan.
“Kita jujur-jujuran lagi ya. Tolong beri tahu saya, apa sikap dan kebiasaan saya yang kurang baik.”
Andai saya sudah sempurna berpura-pura, toh tetap saja butuh keberanian tinggi untuk melontarkan pertanyaan itu. Yes, harus siap dikritik. Siap dievaluasi. Siap dikoreksi.
“Umi Evi sangat disiplin.” Setengah memuji ini mah. Saya suka ups.
“Selalu tepat waktu.” Yak, ini juga masih bagus.
“Suka dipotret candid tapi hasilnya harus terlihat langsing.” Lah mulai mlipir ini haha.
“Kalau menegur pake bahasa halus tapi makjleb. Nggak apa-apa, saya jadi sadar.” Waduh. Maksudnya, ada kalimat saya yang bikin tersinggung? Ada teguran saya yang bikin sakit hati? Ya Allah…saya jadi takut. Hooop. Saya stop. Mendengar penilaian orang lain tentang kita, ternyata mengerikan ya?
“Beneran saya mohon maaf ya jika selama ini ada kalimat atau tindakan saya yang membuat tidak berkenan. Sungguh saya hanya ingin semua baik sesuai seharusnya. Menegakkan komitmen dan mengawal peraturan demi kepentingan besar, yaitu…bla bla. Jika cara saya kurang tepat, mohon ridla ya. I luv you.”
Udah. Gitu aja. Makin tua, saya makin jiperan. Kadang mikir sih, jangan sampai anak saya dapat masalah lantaran emaknya suka nyakitin orang. Semoga Allah selalu melindungi anak kita. Semoga anak kita disayang makhluk di langit dan di bumi.
“Allahummaarzuqnii ‘izzan wa syarofan, waj’alnii mu’minan shaalihan mahbuuban ‘indaka wa ‘indan naasi jamii’aa.”
“Ya Allah, karuniakanlah kepadaku kemuliaan dan jadikanlah aku orang yang beriman, orang yang baik, dikasihi oleh-Mu, dan oleh sesama manusia.”
- Sekolah Pelangi, 20.07.2023 –
Comments