SURGA ADA DI RUMAH
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Banyak pasangan muda yang merasa kaget karena mendapati kenyataan berumah tangga tak seindah sangkaan. Ada yang akhirnya oleng, ada yang memilih menyimpan kecewa hingga menumpuk. Tertekan, lalu pelampiasannya ke anak.
Mohon maaf, saya belum bisa menjadi istri dan orang tua yang baik. Masih jauh. Masih harus terus belajar Tulisan ini saya buat dalam rangka menjawab pertanyaan beberapa peserta dalam kulwap parenting. Sinau bareng di beberapa group WhatsApp gitu.
Bagaimana agar suami istri kompak dalam mendidik anak? Bagaimana agar rumah damai sejahtera tanpa banyak drama?
Waduh, berat. Setahu saya, dalam rumah tangga ya selalu ada drama ya. Wong menyatukan dua orang berbeda, itu kan nggak mudah. Apalagi jika sebelumnya tak saling kenal, seperti saya dan suami.
Sebanyak apapun buku tentang pernikahan yang kita baca, kadang yang menguap begitu saja saat kita ketabrak masalah. Apalagi jika sudah sampai pada tahap mendidik anak. Mendidik anak itu bukan tugas ringan. Bahkan jika kita sudah berpengalaman mendidik ratusan anak di sekolah pun, ketika menghadapi dua anak kandung kita, patah deh. Kembali ke nol ya, mirip suara renyah di SPBU. Bisa dengan gagah menjadi ketua organisasi dengan puluhan anggota, begitu mendampingi suami dan sepasang mertua, tertatih. Ini saya lho ya.
::
Maka, betul. Menjadi istri dan ibu yang baik tak ada sekolahnya. Sekolah kita, ya rumah kita. Guru kita, ya suami dan anak-anak kita. Ujian kita, ya masalah-masalah yang ada. Kadang kita lulus, kadang harus remidi. Ada yang bahkan harus menjalani remidi berkali-kali. Ya nggak apa. Tak boleh menyerah.
Sebab pernikahan adalah proses penyesuaian diri terus menerus. Sebab mendidik anak adalah tugas orang tua seumur hidup. Tak boleh berhenti.
Karena itu, kita tidak bisa sendiri. Harus kompak. Jika ayah tidak berperan, bunda akan kehilangan sayap. Nah, ini. Harus ada komitmen sejak awal pernikahan ya.
Akan dibawa kemana rumah tangga ini? Pendidikan seperti apa yang akan diberikan untuk anak? Pola asuh bagaimana yang akan dijalankan di rumah? Idealnya sudah dibicarakan bersama.
Bahkan bagaimana cara kita menghormat orang tua, bagaimana jika ada kesalahpahaman dengan ipar, harus bagaimana saat mertua menegur, semua telah selesai. Pun dalam kaitan dengan pekerjaan, teman dan tetangga. Semua telah dibicarakan, meski tak harus dalam satu waktu.
::
Komunikasi menjadi kunci. Bisa dengan berbagai cara dan pilihan waktu. Asal saat mengajak bicara, suasana hati sama-sama enak ya. Dengan memilih kata dan menata kalimat, agar tak justru melukai.
Saat awal menikah dan pertama sowan rumah mertua, saya sempat kaget karena tak terbiasa mendengar pembicaraan dengan intonasi tinggi. Masuk kamar, menangis. Ketika anak pertama lahir, suami di PHK dari pekerjaan. Ketika mengandung anak kedua, rumah kontrakan yang kami huni, dijual pemiliknya tanpa pemberitahuan sebelumnya. Alhamdulillah, sebesar apapun masalah di luar, jika komunikasi dengan pasangan lancar, insyaAllah selanjutny akan baik-baik saja.
Coba dingat lagi Bunda, masalah besar apa yang pernah panjenengan hadapi selama berumah tangga? Pertolongan pertama dengan cara apa?
::
Dalam hal mendidik anak nih. Anak dua masih kecil, adiknya lahir. Tanpa ada yang membantu. Suami bekerja dari pagi hingga sore. Anak satu diam, yang satu rewel. Ditambah komentar orang lain pada kondisi kita, terus bertubi.
Maka stop. Fokus pada diri dan keluarga kita ya. Lakukan apa yang kita bisa. Utamakan mendampingi anak dan suami dengan cara terbaik yang kita bisa. Bukan harus mengikuti teori di media, apalagi menuruti kata tetangga. Hindari semua hal yang membuat hati baper, galau dan tak enak.
Sesekali ambil jeda. Tak mesti pergi jauh dan tak harus dalam waktu lama. Tidur siang sesaat. Membaca buku. Menanam sisa sledri dan daun bawang di satu pot kecil. Menyimak Gus Baha sebelum istirahat lama. Ini me time yang indah tiada tara.
Cari alasan sebanyak dan semurah mungkin untuk bahagia ya, Bunda. Melihat rumah berantakan dengan bedak bertabur, mainan pating slengkrah dan anak berantem, tarik nafas panjang. Senyum, istighfar. Syukuri semua masih sehat, masih bisa makan dan masih bersama. Jangan pernah merasa paling malang. Semua orang punya masalah masing-masing.
::
Surga itu ada di hati. Selalu bisa kita temukan di rumah kita. Pada sorot mata bening anak-anak. Ada di senyum tulus suami kita.
Surga ada di cangkir kopi yang tak lagi pekat karena tanggal tua. Ada di rengekan anak yang terus minta hape. Ada di tempe gosong karena kita menggoreng sambi menggendong anak, dan mengangkat jemuran. Ada di magic com yang lupa kita colokkan ke stop kontak. Ada di tumpukan pakaian yang belum disetlika, sementara baju kotor sudah menggunung. Ada di tutup kotak tupperware yang dikrikiti tikus padahal sudah kita simpen rapi, berharap suatu saat bisa menambah koleksi.
Surga ada di tulisan cakar ayam anak kita, saat anak tetangga menang lomba mengarang. Surga ada di lisan si kecil yang belepotan mengeja huruf, ketika temannya sudah lancar membaca. Surga ada saat jika jamaah sholat di rumah, si sulung naik punggung ayah dan si kecil menarik-narik mukena kita. Surga ada di knalpot motor butut suami kita, saat sahabat kita sudah mampu membeli mobil.
Surga ada di hati. Selama kita masih mampu tersenyum menerima apapun kondisi kita. Selama kita mampu bersyukur. Sambil terus berdoa dan berikhtiar agar semua menjadi lebih baik.
::
Maka yuk, kita jaga terus komunikasi dengan suami. Kompak. Jaga komitmen. Kita jaga hati. Kita tumbuhkan terus rasa syukur.
Sulit? Mungkin. Tapi insyaAllah kita bisa kok. Saya juga sedang terus berupaya kok.
- Bandar Lampung, 29 Oktober 2020 –